Sunday, October 6, 2024

Fonetik

 Pendahuluan

Fonologi merupakan cabang ilmu linguistik yang mempelajari sistem dan pola bunyi dalam bahasa. Sebagai disiplin ilmu yang fundamental dalam studi bahasa, fonologi memainkan peran krusial dalam memahami struktur dan fungsi bahasa manusia. Dua aspek utama dalam fonologi yang akan menjadi fokus pembahasan kita adalah fonetik dan fonemik.

1.1 Definisi Fonologi

Fonologi merupakan cabang ilmu linguistik yang mempelajari sistem dan pola bunyi dalam bahasa. Menurut Kridalaksana (2008), fonologi adalah "bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya" (p. 62). Definisi ini menekankan pada aspek fungsional bunyi dalam sistem bahasa, yang membedakannya dari fonetik yang lebih fokus pada aspek fisik bunyi.

Odden (2005) memberikan definisi yang lebih komprehensif:

"Phonology is the study of the sound systems of languages. It is a huge field, and this book provides only a brief overview of some of the main ideas. Phonology is not simply the description of the sounds used in a language. While phonology includes the study of the sound inventory of a language, it is also concerned with the rules for combining sounds into larger units, the effect of morphological structure on phonological form, and variability in phonological structure depending on context" (p. 2).

Definisi ini memperluas cakupan fonologi tidak hanya pada inventaris bunyi, tetapi juga pada aturan kombinasi bunyi, pengaruh struktur morfologis terhadap bentuk fonologis, dan variabilitas struktur fonologis berdasarkan konteks.

1.2 Sejarah Singkat Fonologi

Studi tentang bunyi bahasa memiliki sejarah panjang yang dapat ditelusuri kembali ke peradaban kuno. Namun, fonologi sebagai disiplin ilmu yang sistematis mulai berkembang pada awal abad ke-20.

Menurut Anderson (1985):

"The history of phonology as a discipline really begins with the work of the Kazan school linguists, especially Baudouin de Courtenay and Kruszewski, in the last quarter of the nineteenth century" (p. 3).

Baudouin de Courtenay dan Kruszewski memperkenalkan konsep fonem, yang menjadi dasar bagi pengembangan fonologi modern. Mereka membedakan antara bunyi fisik (yang kemudian menjadi objek studi fonetik) dan representasi mental bunyi (yang menjadi fokus fonologi).

Perkembangan signifikan berikutnya terjadi dengan munculnya Lingkaran Linguistik Praha pada tahun 1926. Tokoh-tokoh seperti Nikolai Trubetzkoy dan Roman Jakobson mengembangkan teori fonologi struktural yang menekankan pada konsep oposisi distingtif dan sistem fonologis.

Chomsky dan Halle (1968) dalam karya monumental mereka "The Sound Pattern of English" memperkenalkan fonologi generatif, yang melihat fonologi sebagai sistem aturan yang menghasilkan representasi fonetik dari representasi fonologis yang lebih abstrak.

Sejak saat itu, berbagai pendekatan teoretis telah berkembang dalam fonologi, termasuk fonologi autosegmental, fonologi metrik, teori optimalitas, dan fonologi laboratorium.

1.3 Hubungan Fonologi dengan Cabang Linguistik Lainnya

Fonologi memiliki hubungan yang erat dengan cabang-cabang linguistik lainnya. Beberapa di antaranya adalah:

  1. Fonetik: Fonetik dan fonologi sering dianggap sebagai dua sisi dari mata uang yang sama. Menurut Ladefoged dan Johnson (2011), "Phonetics is concerned with describing the speech sounds that occur in the languages of the world. Phonology is concerned with describing the systems and patterns of speech sounds in a language" (p. 2). Fonetik menyediakan data fisik yang menjadi dasar bagi analisis fonologis.
  2. Morfologi: Fonologi dan morfologi berinteraksi dalam proses pembentukan kata. Fenomena seperti asimilasi, penghilangan, dan penyisipan bunyi sering terjadi pada batas morfem. Kenstowicz (1994) menyatakan, "The interaction between phonology and morphology is intimate and pervasive" (p. 5).
  3. Sintaksis: Struktur sintaksis dapat mempengaruhi pola intonasi dan penekanan dalam ucapan. Selain itu, fenomena fonologis tertentu dapat terjadi pada batas-batas konstituen sintaksis.
  4. Semantik dan Pragmatik: Intonasi dan penekanan dapat mengubah makna dan fungsi pragmatis sebuah ujaran. Misalnya, perbedaan intonasi dapat mengubah sebuah kalimat deklaratif menjadi interogatif.
  5. Psikolinguistik: Studi tentang persepsi dan produksi bunyi bahasa melibatkan both fonologi dan psikolinguistik. Menurut Cutler dan Clifton (1999), "The mental representation and processing of the sound structure of language has been a central concern of psycholinguistics since its inception" (p. 123).
  6. Sosiolinguistik: Variasi fonologis sering berkorelasi dengan faktor-faktor sosial seperti kelas, usia, gender, dan latar belakang regional.
  7. Tipologi Linguistik: Studi komparatif tentang sistem fonologis berbagai bahasa memberikan wawasan tentang universalitas dan variasi dalam struktur bunyi bahasa manusia.

Pemahaman tentang hubungan-hubungan ini penting untuk memperoleh gambaran yang komprehensif tentang peran dan fungsi fonologi dalam studi bahasa secara keseluruhan.

2. Fonetik

2.1 Definisi Fonetik

Fonetik adalah cabang linguistik yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa secara fisik, tanpa mempertimbangkan fungsi atau makna bunyi tersebut dalam sistem bahasa. Crystal (2008) mendefinisikan fonetik sebagai:

"The science which studies the characteristics of human sound-making, especially those sounds used in speech, and provides methods for their description, classification and transcription" (p. 363).

Definisi ini menekankan pada aspek ilmiah dari studi bunyi bahasa, meliputi karakteristik, deskripsi, klasifikasi, dan transkripsi bunyi.

Ladefoged dan Johnson (2011) memberikan definisi yang lebih rinci:

"Phonetics is the study of the physical properties of speech sounds. It describes how speech sounds are produced by the human vocal apparatus, how they are transmitted through the air as sound waves, and how they are perceived by the human ear and brain" (p. 2).

Definisi ini mencakup tiga aspek utama fonetik: produksi, transmisi, dan persepsi bunyi bahasa.

2.2 Sejarah Perkembangan Fonetik

Studi tentang bunyi bahasa memiliki sejarah yang panjang dan beragam. Berikut adalah beberapa tonggak penting dalam perkembangan fonetik:

  1. Peradaban Kuno: Studi bunyi bahasa dapat ditelusuri kembali ke peradaban India kuno. Menurut Allen (1953), "The phonetic analysis of Sanskrit reached a high degree of development more than two thousand years ago" (p. 3). Panini, seorang tata bahasawan India abad ke-4 SM, telah memberikan deskripsi rinci tentang artikulasi bunyi bahasa Sanskrit.
  2. Abad Pertengahan: Di dunia Arab, sarjana seperti Al-Khalil ibn Ahmad (abad ke-8) dan Sibawayh (abad ke-8) memberikan kontribusi signifikan terhadap deskripsi fonetik bahasa Arab.
  3. Renaisans: Pada abad ke-16, tata bahasawan Inggris John Hart dan William Bullokar mulai mengembangkan sistem untuk merepresentasikan bunyi bahasa Inggris secara akurat.
  4. Abad ke-19: Alexander Melville Bell, ayah dari Alexander Graham Bell, mengembangkan sistem "Visible Speech" pada tahun 1867, yang menjadi dasar bagi banyak sistem transkripsi fonetik modern.
  5. Awal Abad ke-20: Daniel Jones, seorang fonetisian Inggris, mengembangkan konsep "cardinal vowels" dan berkontribusi signifikan terhadap pengembangan Alfabet Fonetik Internasional (IPA).
  6. Pertengahan Abad ke-20: Pengembangan teknologi seperti spektrograf suara memungkinkan analisis akustik bunyi bahasa yang lebih rinci.
  7. Akhir Abad ke-20 hingga Sekarang: Kemajuan dalam teknologi pencitraan seperti MRI dan ultrasound memungkinkan studi yang lebih rinci tentang artikulasi bunyi bahasa. Perkembangan dalam bidang komputasi dan kecerdasan buatan juga telah membuka peluang baru dalam analisis dan sintesis bunyi bahasa.

2.3 Jenis-jenis Fonetik

Fonetik sebagai disiplin ilmu dapat dibagi menjadi tiga cabang utama: fonetik artikulatoris, fonetik akustik, dan fonetik auditoris. Masing-masing cabang ini berfokus pada aspek yang berbeda dari produksi, transmisi, dan persepsi bunyi bahasa.

2.3.1 Fonetik Artikulatoris

Fonetik artikulatoris mempelajari bagaimana bunyi bahasa diproduksi oleh alat ucap manusia. Menurut Ladefoged dan Johnson (2011):

"Articulatory phonetics is the study of how speech sounds are made. It involves studying the movements of the various parts of the vocal tract, such as the tongue, lips, and vocal folds" (p. 1).

Fonetik artikulatoris berfokus pada:

  1. Studi tentang anatomi dan fisiologi alat ucap manusia.
  2. Deskripsi posisi dan gerakan organ-organ artikulasi saat memproduksi bunyi bahasa.
  3. Klasifikasi bunyi berdasarkan cara dan tempat artikulasinya.

Salah satu konsep penting dalam fonetik artikulatoris adalah konsep "tempat artikulasi" dan "cara artikulasi". Tempat artikulasi mengacu pada lokasi di mana aliran udara dimodifikasi untuk menghasilkan bunyi, sedangkan cara artikulasi mengacu pada bagaimana aliran udara dimodifikasi.

2.3.2 Fonetik Akustik

Fonetik akustik mempelajari properti fisik bunyi bahasa sebagai gelombang suara. Menurut Kent dan Read (2002):

"Acoustic phonetics is the study of the physical properties of speech sounds, such as their frequency, amplitude, and duration" (p. 1).

Fonetik akustik melibatkan:

  1. Analisis spektrografis bunyi bahasa.
  2. Pengukuran frekuensi fundamental dan formant bunyi.
  3. Studi tentang durasi, intensitas, dan karakteristik akustik lainnya dari bunyi bahasa.

Salah satu alat utama dalam fonetik akustik adalah spektrogram, yang memberikan representasi visual dari frekuensi, intensitas, dan durasi bunyi bahasa.

2.3.3 Fonetik Auditoris

Fonetik auditoris berfokus pada bagaimana bunyi bahasa diterima dan diproses oleh sistem pendengaran manusia. Menurut Raphael, Borden, dan Harris (2011):

"Auditory phonetics is concerned with how speech sounds are perceived by the human auditory system, including both the ear and the brain" (p. 3).

Fonetik auditoris melibatkan:

  1. Studi tentang anatomi dan fisiologi sistem pendengaran manusia.
  2. Penelitian tentang bagaimana otak memproses dan menginterpretasikan sinyal akustik.
  3. Investigasi tentang persepsi kategorikal bunyi bahasa.

Salah satu temuan penting dalam fonetik auditoris adalah fenomena "persepsi kategorikal", di mana pendengar cenderung mempersepsi bunyi bahasa dalam kategori-kategori diskrit, meskipun ada variasi akustik yang kontinu.

Ketiga cabang fonetik ini saling terkait dan saling melengkapi. Pemahaman yang komprehensif tentang bunyi bahasa memerlukan integrasi pengetahuan dari ketiga perspektif ini.

2.4 Alat Ucap Manusia

2.4.1 Struktur Anatomi Alat Ucap

Alat ucap manusia terdiri dari berbagai organ yang bekerja sama untuk menghasilkan bunyi bahasa. Berikut adalah komponen-komponen utama alat ucap manusia:

  1. Paru-paru: Sumber utama aliran udara untuk produksi bunyi bahasa.
  2. Laring: Struktur yang berisi pita suara. Menurut Catford (1988), "The larynx is the 'voice-box', containing the vocal folds which are the main source of voice" (p. 7).
  3. Faring: Rongga yang terletak di atas laring dan di belakang rongga mulut dan hidung.
  4. Rongga mulut: Ruang di mana sebagian besar artikulasi terjadi.
  5. Rongga hidung: Berperan dalam produksi bunyi nasal.
  6. Lidah: Organ yang sangat penting dalam artikulasi. Ladefoged dan Maddieson (1996) menyatakan, "The tongue is the most important articulator in the production of speech sounds" (p. 10). Lidah dapat dibagi menjadi beberapa bagian:
    • Ujung lidah (apex)
    • Daun lidah (lamina)
    • Punggung lidah (dorsum)
    • Akar lidah (radix)
  1. Bibir: Berperan penting dalam produksi bunyi labial dan labiodental.
  2. Gigi: Berfungsi sebagai titik artikulasi untuk beberapa bunyi konsonan.
  3. Alveolar ridge (gusi): Area di belakang gigi atas yang menjadi tempat artikulasi untuk banyak konsonan.
  4. Langit-langit keras (palatum): Bagian keras dari atap mulut.
  5. Langit-langit lunak (velum): Bagian lunak dari atap mulut yang dapat dinaikkan atau diturunkan untuk mengontrol aliran udara melalui hidung.
  6. Uvula: Tonjolan kecil di ujung belakang langit-langit lunak.
  7. Epiglotis: Katup tulang rawan yang menutupi laring saat menelan.

2.4.2 Fungsi Alat Ucap dalam Produksi Bunyi

Setiap komponen alat ucap memiliki peran spesifik dalam produksi bunyi bahasa. Berikut adalah penjelasan singkat tentang fungsi masing-masing:

  1. Paru-paru: Berfungsi sebagai sumber energi utama dalam produksi bunyi. Udara yang dihembuskan dari paru-paru menyediakan aliran udara yang diperlukan untuk menghasilkan bunyi.
  2. Laring dan Pita Suara: Menurut Cruttenden (2014), "The vocal folds can be adjusted to vibrate, producing voice, or to allow air to pass freely between them, producing voicelessness" (p. 26). Vibrasi pita suara menghasilkan bunyi bersuara, sementara tidak adanya vibrasi menghasilkan bunyi tak bersuara.
  3. Faring: Berfungsi sebagai resonator yang dapat dimodifikasi untuk mengubah kualitas bunyi.
  4. Rongga Mulut: Merupakan ruang utama di mana sebagian besar artikulasi terjadi. Bentuk dan volume rongga mulut dapat diubah untuk menghasilkan berbagai bunyi vokal dan konsonan.
  5. Rongga Hidung: Berperan dalam produksi bunyi nasal. Ketika velum diturunkan, udara dapat mengalir melalui rongga hidung, menghasilkan bunyi nasal.
  6. Lidah: Memiliki peran sentral dalam artikulasi. Berbagai bagian lidah dapat bergerak untuk membentuk berbagai konfigurasi yang menghasilkan bunyi yang berbeda.
  7. Bibir: Dapat membentuk berbagai bentuk untuk menghasilkan bunyi labial dan untuk memodifikasi bunyi lainnya.
  8. Gigi dan Alveolar Ridge: Berfungsi sebagai titik artikulasi untuk berbagai bunyi konsonan.
  9. Langit-langit Keras dan Lunak: Berfungsi sebagai titik artikulasi dan juga mengontrol aliran udara melalui hidung.
  10. Uvula: Berperan dalam produksi bunyi uvular yang ada dalam beberapa bahasa.
  11. Epiglotis: Meskipun fungsi utamanya bukan untuk produksi bunyi, dalam beberapa bahasa, epiglotis dapat berperan dalam produksi bunyi epiglotal.

Ladefoged dan Johnson (2011) menekankan pentingnya koordinasi antara berbagai komponen alat ucap ini:

"Speech production involves the coordinated action of several different anatomical structures. The respiratory system provides the airstream. The larynx is the source of much of the acoustic energy in speech. And the vocal tract acts as a variable resonator, shaping the sound produced by the larynx into the individual speech sounds" (p. 4).

Pemahaman tentang struktur dan fungsi alat ucap ini sangat penting dalam studi fonetik artikulatoris dan menjadi dasar untuk memahami bagaimana bunyi bahasa diproduksi.

2.5 Klasifikasi Bunyi Bahasa

Bunyi bahasa dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori utama berdasarkan cara produksinya. Berikut adalah penjelasan detail tentang klasifikasi bunyi bahasa:

2.5.1 Vokal

Vokal adalah bunyi yang diproduksi tanpa adanya hambatan signifikan pada aliran udara dari paru-paru. Menurut Ladefoged dan Johnson (2011), "Vowels are sounds in which there is no obstruction to the flow of air as it passes from the larynx to the lips" (p. 20).

Vokal diklasifikasikan berdasarkan beberapa parameter:

  1. Tinggi Lidah: Mengacu pada posisi vertikal lidah saat memproduksi vokal. Vokal dapat dikategorikan sebagai tinggi (seperti [i] dan [u]), sedang (seperti [e] dan [o]), atau rendah (seperti [a]).
  2. Posisi Lidah: Mengacu pada posisi horizontal lidah. Vokal dapat dikategorikan sebagai depan (seperti [i] dan [e]), tengah (seperti [ə]), atau belakang (seperti [u] dan [o]).
  3. Bentuk Bibir: Vokal dapat diproduksi dengan bibir bundar (seperti [u] dan [o]) atau tidak bundar (seperti [i] dan [e]).
  4. Ketegangan: Beberapa bahasa membedakan antara vokal tegang (seperti [i] dalam "beat") dan vokal kendur (seperti [ɪ] dalam "bit").
  5. Panjang: Beberapa bahasa membedakan antara vokal panjang dan pendek.
  6. Nasalisasi: Vokal dapat dinasalisasi jika velum diturunkan, memungkinkan udara mengalir melalui hidung serta mulut.

IPA (International Phonetic Alphabet) menyediakan simbol untuk merepresentasikan berbagai vokal yang ada dalam bahasa-bahasa di dunia. Diagram vokal kardinal, yang dikembangkan oleh Daniel Jones, memberikan representasi visual dari ruang vokal dan membantu dalam klasifikasi dan deskripsi vokal.

2.5.2 Konsonan

Konsonan adalah bunyi yang diproduksi dengan adanya hambatan pada aliran udara di suatu titik dalam saluran vokal. Ladefoged dan Maddieson (1996) mendefinisikan konsonan sebagai "sounds that involve a radical constriction in the vocal tract" (p. 9).

Konsonan diklasifikasikan berdasarkan beberapa parameter:

  1. Tempat Artikulasi: Mengacu pada lokasi di mana hambatan terjadi. Beberapa tempat artikulasi utama meliputi:
    • Bilabial: Melibatkan kedua bibir (contoh: [p], [b], [m])
    • Labiodental: Melibatkan bibir bawah dan gigi atas (contoh: [f], [v])
    • Dental: Melibatkan lidah dan gigi (contoh: [θ], [ð])
    • Alveolar: Melibatkan lidah dan gusi (contoh: [t], [d], [s], [z])
    • Postalveolar: Melibatkan lidah dan area di belakang gusi (contoh: [ʃ], [ʒ])
    • Palatal: Melibatkan lidah dan langit-langit keras (contoh: [c], [ɟ])
    • Velar: Melibatkan lidah belakang dan langit-langit lunak (contoh: [k], [g])
    • Uvular: Melibatkan lidah belakang dan uvula (contoh: [q], [ʁ])
    • Glottal: Melibatkan pita suara (contoh: [ʔ], [h])
  2. Cara Artikulasi: Mengacu pada jenis hambatan yang terjadi. Beberapa cara artikulasi utama meliputi:
    • Plosif: Hambatan penuh yang diikuti pelepasan mendadak (contoh: [p], [t], [k])
    • Frikatif: Hambatan parsial yang menghasilkan gesekan (contoh: [f], [s], [ʃ])
    • Afrikat: Kombinasi plosif dan frikatif (contoh: [tʃ], [dʒ])
    • Nasal: Aliran udara melalui hidung (contoh: [m], [n], [ŋ])
    • Lateral: Aliran udara di sisi lidah (contoh: [l])
    • Tril: Getaran cepat artikulator (contoh: [r])
    • Flap atau Tap: Kontak singkat antara artikulator (contoh: [ɾ])
    • Aproksiman: Artikulator mendekat tanpa menyebabkan turbulensi (contoh: [w], [j])
  3. Bersuara atau Tak Bersuara: Mengacu pada ada tidaknya vibrasi pita suara. Konsonan bersuara diproduksi dengan vibrasi pita suara (seperti [b], [d], [g]), sementara konsonan tak bersuara diproduksi tanpa vibrasi pita suara (seperti [p], [t], [k]).
  4. Aspirasi: Beberapa bahasa membedakan antara konsonan yang diaspirasi (diikuti hembusan udara yang kuat) dan yang tidak diaspirasi.
  5. Palatalisasi, Velarisasi, dan Faringalisasi: Artikulasi sekunder yang dapat ditambahkan pada artikulasi utama konsonan.

IPA menyediakan simbol untuk merepresentasikan berbagai konsonan yang ada dalam bahasa-bahasa di dunia. Tabel konsonan pulmonik IPA memberikan representasi visual dari berbagai jenis konsonan berdasarkan tempat dan cara artikulasinya.

2.5.3 Diftong

Diftong adalah bunyi vokal yang melibatkan pergerakan dari satu posisi vokal ke posisi vokal lainnya dalam satu suku kata. Cruttenden (2014) mendefinisikan diftong sebagai "a glide from one vowel to another" (p. 140).

Diftong biasanya diklasifikasikan berdasarkan arah pergerakan lidah:

  1. Diftong Naik: Pergerakan dari vokal yang lebih rendah ke vokal yang lebih tinggi (contoh: [aɪ] seperti dalam "time", [aʊ] seperti dalam "house")
  2. Diftong Turun: Pergerakan dari vokal yang lebih tinggi ke vokal yang lebih rendah (contoh: [ɪə] seperti dalam "here", [ʊə] seperti dalam "poor" dalam beberapa aksen bahasa Inggris)
  3. Diftong Pusat: Pergerakan menuju vokal pusat [ə] (contoh: [eə] seperti dalam "hair" dalam beberapa aksen bahasa Inggris)

Jumlah dan jenis diftong bervariasi antar bahasa. Bahasa Inggris, misalnya, memiliki delapan diftong dalam aksen Received Pronunciation: [eɪ], [aɪ], [ɔɪ], [əʊ], [aʊ], [ɪə], [eə], [ʊə].

2.5.4 Kluster

Kluster konsonan, juga dikenal sebagai gugus konsonan, adalah urutan dua atau lebih konsonan yang muncul tanpa vokal di antaranya dalam satu suku kata. Menurut Yavaş (2006), "Consonant clusters are sequences of two or more consonants at the beginning of a syllable (onset) or at the end of a syllable (coda)" (p. 131).

Kluster konsonan dapat diklasifikasikan berdasarkan posisinya dalam suku kata:

  1. Kluster Awal (Onset Clusters): Muncul di awal suku kata (contoh: "st" dalam "stop", "spr" dalam "spring")
  2. Kluster Akhir (Coda Clusters): Muncul di akhir suku kata (contoh: "lp" dalam "help", "kst" dalam "text")

Bahasa-bahasa berbeda dalam hal kompleksitas kluster konsonan yang diizinkan. Beberapa bahasa, seperti bahasa Jepang, cenderung memiliki struktur suku kata yang sederhana dan tidak mengizinkan kluster konsonan, sementara bahasa-bahasa lain, seperti bahasa Polandia, memungkinkan kluster konsonan yang sangat kompleks.

Pemahaman tentang kluster konsonan penting dalam studi fonologi karena mereka sering menjadi subjek proses fonologis seperti penyederhanaan kluster atau epentesis.

Klasifikasi bunyi bahasa ini memberikan kerangka untuk memahami dan mendeskripsikan inventaris bunyi dalam berbagai bahasa. Ini juga menjadi dasar untuk analisis fonologis lebih lanjut, termasuk studi tentang pola distribusi bunyi, proses fonologis, dan struktur suku kata.

3. Jenis-jenis Perubahan Bunyi

Perubahan bunyi adalah fenomena yang umum terjadi dalam bahasa, baik secara diakronis (perubahan historis) maupun sinkronis (variasi dalam penggunaan kontemporer). Menurut Hock (1991), "Sound change is the most regular and in many ways the most important type of language change" (p. 34). Pemahaman tentang jenis-jenis perubahan bunyi sangat penting dalam studi fonologi karena hal ini membantu menjelaskan variasi dalam pengucapan dan evolusi bahasa.

Berikut adalah beberapa jenis perubahan bunyi yang umum:

3.1 Asimilasi

Asimilasi adalah proses di mana satu bunyi menjadi lebih mirip dengan bunyi lain di sekitarnya. Menurut Carr (2008), "Assimilation is a process whereby one sound becomes more like another sound in its environment" (p. 26).

Asimilasi dapat dibagi menjadi beberapa jenis:

  1. Asimilasi Regresif: Bunyi dipengaruhi oleh bunyi yang mengikutinya. Contoh: Dalam bahasa Inggris, [n] dalam "in" menjadi [m] ketika diikuti oleh bunyi bilabial seperti dalam "impossible" [ɪmˈpɒsəbl̩].
  2. Asimilasi Progresif: Bunyi dipengaruhi oleh bunyi yang mendahuluinya. Contoh: Dalam bahasa Inggris, sufiks plural "-s" diucapkan [s] setelah konsonan tak bersuara (cats [kæts]), tetapi [z] setelah konsonan bersuara (dogs [dɒgz]).
  3. Asimilasi Resiprokal: Dua bunyi saling mempengaruhi. Contoh: Dalam beberapa dialek bahasa Inggris, frasa "Don't you" dapat diucapkan [dəʊntʃu], di mana [t] dan [j] berubah menjadi afrikat [tʃ].

3.2 Disimilasi

Disimilasi adalah proses di mana satu bunyi menjadi kurang mirip dengan bunyi lain di sekitarnya. Odden (2005) menyatakan, "Dissimilation is a process whereby similar sounds become less similar" (p. 241).

Contoh: Dalam bahasa Latin, kata "peregrinus" berubah menjadi "pelegrinus" dalam beberapa bahasa Romawi, di mana salah satu [r] berubah menjadi [l] untuk menghindari pengulangan bunyi [r].

3.3 Penghilangan (Deletion)

Penghilangan adalah proses di mana satu bunyi dihilangkan dalam konteks tertentu. Menurut Kenstowicz (1994), "Deletion is the most extreme form of weakening, where a segment is removed entirely" (p. 79).

Contoh:

  • Dalam bahasa Inggris informal, [t] sering dihilangkan di akhir kata setelah konsonan tak bersuara, seperti dalam "kept" [kep].
  • Dalam bahasa Indonesia, huruf 'h' sering dihilangkan dalam pengucapan kata-kata seperti "tahu" [tau] atau "lihat" [liat].

3.4 Penyisipan (Epenthesis)

Penyisipan adalah proses di mana satu bunyi ditambahkan ke dalam kata. Hall (2011) mendefinisikan epenthesis sebagai "the addition of a segment to a word in a position where there was no segment before" (p. 1576).

Contoh:

  • Dalam bahasa Inggris, beberapa penutur menyisipkan [p] antara [m] dan [t] dalam kata "something" [sʌmpθɪŋ].
  • Dalam bahasa Indonesia, penyisipan bunyi glotal stop [ʔ] antara dua vokal yang berdekatan, seperti dalam kata "saat" [saʔat].

3.5 Metatesis

Metatesis adalah proses di mana urutan dua bunyi dalam sebuah kata ditukar. Menurut Hume (2001), "Metathesis refers to the process whereby in certain languages, under certain conditions, sounds appear to switch positions with one another" (p. 1).

Contoh:

  • Dalam perkembangan historis bahasa Inggris, kata "third" berasal dari bentuk kuno "thrid".
  • Dalam bahasa Indonesia informal, kata "sabtu" sering diucapkan sebagai "sabut".

3.6 Lenisi dan Fortisi

Lenisi (pelemahan) adalah proses di mana bunyi menjadi lebih lemah atau lebih mudah diucapkan, sementara fortisi (penguatan) adalah proses sebaliknya.

Lass (1984) menyatakan, "Lenition is a 'weakening' of consonant articulations, typically in intervocalic position or word-finally" (p. 177).

Contoh Lenisi:

  • Dalam bahasa Spanyol, [p] Latin berubah menjadi [b] di antara vokal, seperti dalam "lupus" menjadi "lobo".

Contoh Fortisi:

  • Dalam beberapa dialek bahasa Inggris, [v] di awal kata dapat diperkuat menjadi [b], seperti "very" diucapkan [beri].

3.7 Nasalisasi

Nasalisasi adalah proses di mana bunyi non-nasal menjadi nasal. Menurut Ladefoged dan Maddieson (1996), "Nasalization is the production of a sound while the velum is lowered, so that air can escape through the nose as well as the mouth" (p. 298).

Contoh:

  • Dalam bahasa Prancis, vokal sebelum konsonan nasal sering dinasalisasi, seperti dalam kata "bon" [bɔ̃].
  • Dalam bahasa Indonesia, beberapa dialek menasalisasi vokal sebelum konsonan nasal, seperti dalam kata "makan" [mãkan].

3.8 Netralisasi

Netralisasi adalah proses di mana perbedaan fonologis antara dua atau lebih fonem hilang dalam konteks tertentu. Trubetzkoy (1939/1969) mendefinisikan netralisasi sebagai "the suspension of an opposition in certain positions" (p. 78).

Contoh:

  • Dalam bahasa Jerman, perbedaan antara /d/ dan /t/ dinetralisasi di akhir kata, keduanya diucapkan sebagai [t].
  • Dalam bahasa Indonesia, perbedaan antara /e/ dan /ə/ sering dinetralisasi dalam suku kata tertutup, seperti dalam kata "nenek" dan "pendek".

3.9 Palatalisasi

Palatalisasi adalah proses di mana bunyi non-palatal menjadi palatal atau mendekati palatal. Bhat (1978) menyatakan, "Palatalization refers to a set of assimilatory sound changes in which a consonant acquires a secondary palatal articulation or shifts its primary place of articulation towards or close to the palatal region" (p. 47).

Contoh:

  • Dalam bahasa Inggris, [s] dan [z] sering dipalatalisasi menjadi [ʃ] dan [ʒ] sebelum [j], seperti dalam frasa "miss you" [mɪʃju].
  • Dalam perkembangan bahasa Romawi dari bahasa Latin, [k] sebelum vokal depan sering berubah menjadi [tʃ] atau [s], seperti Latin "centum" menjadi Italia "cento" [tʃento].

3.10 Aspirasi

Aspirasi adalah proses di mana sebuah bunyi, biasanya konsonan plosif, diikuti oleh hembusan udara yang kuat. Menurut Ladefoged dan Johnson (2011), "Aspiration is the puff of air that occurs after the release of a stop and before the start of the following vowel" (p. 57).

Contoh:

  • Dalam bahasa Inggris, plosif tak bersuara [p], [t], [k] biasanya diaspirasi di awal suku kata yang mendapat tekanan, seperti dalam "pin" [pʰɪn], "tin" [tʰɪn], "kin" [kʰɪn].
  • Dalam bahasa Mandarin, aspirasi bersifat fonemis, membedakan makna seperti dalam "pā" (takut) dan "bā" (delapan).

Pemahaman tentang jenis-jenis perubahan bunyi ini sangat penting dalam analisis fonologis. Perubahan bunyi tidak hanya menjelaskan variasi dalam pengucapan dalam suatu bahasa, tetapi juga membantu kita memahami bagaimana bahasa berevolusi dari waktu ke waktu. Selain itu, pengetahuan tentang perubahan bunyi juga penting dalam bidang-bidang terapan seperti pengajaran bahasa asing, terapi wicara, dan teknologi pemrosesan bahasa alami.

 

Post a Comment

avatar
Admin Purwarupalingua Online
Welcome to Purwarupalingua theme
Chat with WhatsApp