Fonetik
Pendahuluan
Fonologi merupakan cabang
ilmu linguistik yang mempelajari sistem dan pola bunyi dalam bahasa. Sebagai
disiplin ilmu yang fundamental dalam studi bahasa, fonologi memainkan peran
krusial dalam memahami struktur dan fungsi bahasa manusia. Dua aspek utama dalam
fonologi yang akan menjadi fokus pembahasan kita adalah fonetik dan fonemik.
1.1 Definisi Fonologi
Fonologi merupakan cabang
ilmu linguistik yang mempelajari sistem dan pola bunyi dalam bahasa. Menurut
Kridalaksana (2008), fonologi adalah "bidang dalam linguistik yang
menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya" (p. 62). Definisi ini menekankan
pada aspek fungsional bunyi dalam sistem bahasa, yang membedakannya dari
fonetik yang lebih fokus pada aspek fisik bunyi.
Odden (2005) memberikan
definisi yang lebih komprehensif:
"Phonology is the
study of the sound systems of languages. It is a huge field, and this book
provides only a brief overview of some of the main ideas. Phonology is not
simply the description of the sounds used in a language. While phonology
includes the study of the sound inventory of a language, it is also concerned
with the rules for combining sounds into larger units, the effect of
morphological structure on phonological form, and variability in phonological
structure depending on context" (p. 2).
Definisi ini memperluas
cakupan fonologi tidak hanya pada inventaris bunyi, tetapi juga pada aturan
kombinasi bunyi, pengaruh struktur morfologis terhadap bentuk fonologis, dan
variabilitas struktur fonologis berdasarkan konteks.
1.2 Sejarah Singkat
Fonologi
Studi tentang bunyi
bahasa memiliki sejarah panjang yang dapat ditelusuri kembali ke peradaban
kuno. Namun, fonologi sebagai disiplin ilmu yang sistematis mulai berkembang
pada awal abad ke-20.
Menurut Anderson (1985):
"The history of
phonology as a discipline really begins with the work of the Kazan school
linguists, especially Baudouin de Courtenay and Kruszewski, in the last quarter
of the nineteenth century" (p. 3).
Baudouin de Courtenay dan
Kruszewski memperkenalkan konsep fonem, yang menjadi dasar bagi pengembangan
fonologi modern. Mereka membedakan antara bunyi fisik (yang kemudian menjadi
objek studi fonetik) dan representasi mental bunyi (yang menjadi fokus fonologi).
Perkembangan signifikan
berikutnya terjadi dengan munculnya Lingkaran Linguistik Praha pada tahun 1926.
Tokoh-tokoh seperti Nikolai Trubetzkoy dan Roman Jakobson mengembangkan teori
fonologi struktural yang menekankan pada konsep oposisi distingtif dan sistem
fonologis.
Chomsky dan Halle (1968)
dalam karya monumental mereka "The Sound Pattern of English"
memperkenalkan fonologi generatif, yang melihat fonologi sebagai sistem aturan
yang menghasilkan representasi fonetik dari representasi fonologis yang lebih abstrak.
Sejak saat itu, berbagai
pendekatan teoretis telah berkembang dalam fonologi, termasuk fonologi
autosegmental, fonologi metrik, teori optimalitas, dan fonologi laboratorium.
1.3 Hubungan Fonologi
dengan Cabang Linguistik Lainnya
Fonologi memiliki
hubungan yang erat dengan cabang-cabang linguistik lainnya. Beberapa di
antaranya adalah:
- Fonetik: Fonetik dan fonologi sering
dianggap sebagai dua sisi dari mata uang yang sama. Menurut Ladefoged dan
Johnson (2011), "Phonetics is concerned with describing the speech
sounds that occur in the languages of the world. Phonology is concerned
with describing the systems and patterns of speech sounds in a
language" (p. 2). Fonetik menyediakan data fisik yang menjadi dasar
bagi analisis fonologis.
- Morfologi: Fonologi dan morfologi
berinteraksi dalam proses pembentukan kata. Fenomena seperti asimilasi,
penghilangan, dan penyisipan bunyi sering terjadi pada batas morfem.
Kenstowicz (1994) menyatakan, "The interaction between phonology and
morphology is intimate and pervasive" (p. 5).
- Sintaksis: Struktur sintaksis dapat
mempengaruhi pola intonasi dan penekanan dalam ucapan. Selain itu,
fenomena fonologis tertentu dapat terjadi pada batas-batas konstituen
sintaksis.
- Semantik dan Pragmatik: Intonasi dan
penekanan dapat mengubah makna dan fungsi pragmatis sebuah ujaran.
Misalnya, perbedaan intonasi dapat mengubah sebuah kalimat deklaratif
menjadi interogatif.
- Psikolinguistik: Studi tentang
persepsi dan produksi bunyi bahasa melibatkan both fonologi dan
psikolinguistik. Menurut Cutler dan Clifton (1999), "The mental
representation and processing of the sound structure of language has been
a central concern of psycholinguistics since its inception" (p. 123).
- Sosiolinguistik: Variasi fonologis
sering berkorelasi dengan faktor-faktor sosial seperti kelas, usia,
gender, dan latar belakang regional.
- Tipologi Linguistik: Studi komparatif
tentang sistem fonologis berbagai bahasa memberikan wawasan tentang
universalitas dan variasi dalam struktur bunyi bahasa manusia.
Pemahaman tentang
hubungan-hubungan ini penting untuk memperoleh gambaran yang komprehensif
tentang peran dan fungsi fonologi dalam studi bahasa secara keseluruhan.
2. Fonetik
2.1 Definisi Fonetik
Fonetik adalah cabang
linguistik yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa secara fisik, tanpa
mempertimbangkan fungsi atau makna bunyi tersebut dalam sistem bahasa. Crystal
(2008) mendefinisikan fonetik sebagai:
"The science which
studies the characteristics of human sound-making, especially those sounds used
in speech, and provides methods for their description, classification and
transcription" (p. 363).
Definisi ini menekankan
pada aspek ilmiah dari studi bunyi bahasa, meliputi karakteristik, deskripsi,
klasifikasi, dan transkripsi bunyi.
Ladefoged dan Johnson
(2011) memberikan definisi yang lebih rinci:
"Phonetics is the
study of the physical properties of speech sounds. It describes how speech
sounds are produced by the human vocal apparatus, how they are transmitted
through the air as sound waves, and how they are perceived by the human ear and
brain" (p. 2).
Definisi ini mencakup
tiga aspek utama fonetik: produksi, transmisi, dan persepsi bunyi bahasa.
2.2 Sejarah Perkembangan
Fonetik
Studi tentang bunyi
bahasa memiliki sejarah yang panjang dan beragam. Berikut adalah beberapa
tonggak penting dalam perkembangan fonetik:
- Peradaban Kuno: Studi bunyi bahasa
dapat ditelusuri kembali ke peradaban India kuno. Menurut Allen (1953),
"The phonetic analysis of Sanskrit reached a high degree of
development more than two thousand years ago" (p. 3). Panini, seorang
tata bahasawan India abad ke-4 SM, telah memberikan deskripsi rinci
tentang artikulasi bunyi bahasa Sanskrit.
- Abad Pertengahan: Di dunia Arab,
sarjana seperti Al-Khalil ibn Ahmad (abad ke-8) dan Sibawayh (abad ke-8)
memberikan kontribusi signifikan terhadap deskripsi fonetik bahasa Arab.
- Renaisans: Pada abad ke-16, tata
bahasawan Inggris John Hart dan William Bullokar mulai mengembangkan
sistem untuk merepresentasikan bunyi bahasa Inggris secara akurat.
- Abad ke-19: Alexander Melville Bell,
ayah dari Alexander Graham Bell, mengembangkan sistem "Visible
Speech" pada tahun 1867, yang menjadi dasar bagi banyak sistem
transkripsi fonetik modern.
- Awal Abad ke-20: Daniel Jones,
seorang fonetisian Inggris, mengembangkan konsep "cardinal
vowels" dan berkontribusi signifikan terhadap pengembangan Alfabet
Fonetik Internasional (IPA).
- Pertengahan Abad ke-20: Pengembangan
teknologi seperti spektrograf suara memungkinkan analisis akustik bunyi
bahasa yang lebih rinci.
- Akhir Abad ke-20 hingga Sekarang:
Kemajuan dalam teknologi pencitraan seperti MRI dan ultrasound
memungkinkan studi yang lebih rinci tentang artikulasi bunyi bahasa.
Perkembangan dalam bidang komputasi dan kecerdasan buatan juga telah
membuka peluang baru dalam analisis dan sintesis bunyi bahasa.
2.3 Jenis-jenis Fonetik
Fonetik sebagai disiplin
ilmu dapat dibagi menjadi tiga cabang utama: fonetik artikulatoris, fonetik
akustik, dan fonetik auditoris. Masing-masing cabang ini berfokus pada aspek
yang berbeda dari produksi, transmisi, dan persepsi bunyi bahasa.
2.3.1 Fonetik
Artikulatoris
Fonetik artikulatoris
mempelajari bagaimana bunyi bahasa diproduksi oleh alat ucap manusia. Menurut
Ladefoged dan Johnson (2011):
"Articulatory
phonetics is the study of how speech sounds are made. It involves studying the
movements of the various parts of the vocal tract, such as the tongue, lips,
and vocal folds" (p. 1).
Fonetik artikulatoris
berfokus pada:
- Studi tentang anatomi dan fisiologi
alat ucap manusia.
- Deskripsi posisi dan gerakan
organ-organ artikulasi saat memproduksi bunyi bahasa.
- Klasifikasi bunyi berdasarkan cara
dan tempat artikulasinya.
Salah satu konsep penting
dalam fonetik artikulatoris adalah konsep "tempat artikulasi" dan
"cara artikulasi". Tempat artikulasi mengacu pada lokasi di mana
aliran udara dimodifikasi untuk menghasilkan bunyi, sedangkan cara artikulasi
mengacu pada bagaimana aliran udara dimodifikasi.
2.3.2 Fonetik Akustik
Fonetik akustik
mempelajari properti fisik bunyi bahasa sebagai gelombang suara. Menurut Kent
dan Read (2002):
"Acoustic phonetics
is the study of the physical properties of speech sounds, such as their
frequency, amplitude, and duration" (p. 1).
Fonetik akustik
melibatkan:
- Analisis spektrografis bunyi bahasa.
- Pengukuran frekuensi fundamental dan
formant bunyi.
- Studi tentang durasi, intensitas, dan
karakteristik akustik lainnya dari bunyi bahasa.
Salah satu alat utama
dalam fonetik akustik adalah spektrogram, yang memberikan representasi visual
dari frekuensi, intensitas, dan durasi bunyi bahasa.
2.3.3 Fonetik Auditoris
Fonetik auditoris
berfokus pada bagaimana bunyi bahasa diterima dan diproses oleh sistem
pendengaran manusia. Menurut Raphael, Borden, dan Harris (2011):
"Auditory phonetics
is concerned with how speech sounds are perceived by the human auditory system,
including both the ear and the brain" (p. 3).
Fonetik auditoris
melibatkan:
- Studi tentang anatomi dan fisiologi
sistem pendengaran manusia.
- Penelitian tentang bagaimana otak
memproses dan menginterpretasikan sinyal akustik.
- Investigasi tentang persepsi
kategorikal bunyi bahasa.
Salah satu temuan penting
dalam fonetik auditoris adalah fenomena "persepsi kategorikal", di
mana pendengar cenderung mempersepsi bunyi bahasa dalam kategori-kategori
diskrit, meskipun ada variasi akustik yang kontinu.
Ketiga cabang fonetik ini
saling terkait dan saling melengkapi. Pemahaman yang komprehensif tentang bunyi
bahasa memerlukan integrasi pengetahuan dari ketiga perspektif ini.
2.4 Alat Ucap Manusia
2.4.1 Struktur Anatomi
Alat Ucap
Alat ucap manusia terdiri
dari berbagai organ yang bekerja sama untuk menghasilkan bunyi bahasa. Berikut
adalah komponen-komponen utama alat ucap manusia:
- Paru-paru: Sumber utama aliran udara
untuk produksi bunyi bahasa.
- Laring: Struktur yang berisi pita
suara. Menurut Catford (1988), "The larynx is the 'voice-box',
containing the vocal folds which are the main source of voice" (p.
7).
- Faring: Rongga yang terletak di atas
laring dan di belakang rongga mulut dan hidung.
- Rongga mulut: Ruang di mana sebagian
besar artikulasi terjadi.
- Rongga hidung: Berperan dalam
produksi bunyi nasal.
- Lidah: Organ yang sangat penting
dalam artikulasi. Ladefoged dan Maddieson (1996) menyatakan, "The
tongue is the most important articulator in the production of speech
sounds" (p. 10). Lidah dapat dibagi menjadi beberapa bagian:
- Ujung lidah (apex)
- Daun lidah (lamina)
- Punggung lidah (dorsum)
- Akar lidah (radix)
- Bibir: Berperan penting dalam
produksi bunyi labial dan labiodental.
- Gigi: Berfungsi sebagai titik
artikulasi untuk beberapa bunyi konsonan.
- Alveolar ridge (gusi): Area di
belakang gigi atas yang menjadi tempat artikulasi untuk banyak konsonan.
- Langit-langit keras (palatum): Bagian
keras dari atap mulut.
- Langit-langit lunak (velum): Bagian
lunak dari atap mulut yang dapat dinaikkan atau diturunkan untuk
mengontrol aliran udara melalui hidung.
- Uvula: Tonjolan kecil di ujung
belakang langit-langit lunak.
- Epiglotis: Katup tulang rawan yang
menutupi laring saat menelan.
2.4.2
Fungsi Alat Ucap dalam Produksi Bunyi
Setiap
komponen alat ucap memiliki peran spesifik dalam produksi bunyi bahasa. Berikut
adalah penjelasan singkat tentang fungsi masing-masing:
- Paru-paru: Berfungsi sebagai sumber
energi utama dalam produksi bunyi. Udara yang dihembuskan dari paru-paru
menyediakan aliran udara yang diperlukan untuk menghasilkan bunyi.
- Laring dan Pita Suara: Menurut
Cruttenden (2014), "The vocal folds can be adjusted to vibrate,
producing voice, or to allow air to pass freely between them, producing
voicelessness" (p. 26). Vibrasi pita suara menghasilkan bunyi
bersuara, sementara tidak adanya vibrasi menghasilkan bunyi tak bersuara.
- Faring: Berfungsi sebagai resonator
yang dapat dimodifikasi untuk mengubah kualitas bunyi.
- Rongga Mulut: Merupakan ruang utama
di mana sebagian besar artikulasi terjadi. Bentuk dan volume rongga mulut
dapat diubah untuk menghasilkan berbagai bunyi vokal dan konsonan.
- Rongga Hidung: Berperan dalam
produksi bunyi nasal. Ketika velum diturunkan, udara dapat mengalir
melalui rongga hidung, menghasilkan bunyi nasal.
- Lidah: Memiliki peran sentral dalam
artikulasi. Berbagai bagian lidah dapat bergerak untuk membentuk berbagai
konfigurasi yang menghasilkan bunyi yang berbeda.
- Bibir: Dapat membentuk berbagai
bentuk untuk menghasilkan bunyi labial dan untuk memodifikasi bunyi
lainnya.
- Gigi dan Alveolar Ridge: Berfungsi
sebagai titik artikulasi untuk berbagai bunyi konsonan.
- Langit-langit Keras dan Lunak:
Berfungsi sebagai titik artikulasi dan juga mengontrol aliran udara
melalui hidung.
- Uvula: Berperan dalam produksi bunyi
uvular yang ada dalam beberapa bahasa.
- Epiglotis: Meskipun fungsi utamanya
bukan untuk produksi bunyi, dalam beberapa bahasa, epiglotis dapat
berperan dalam produksi bunyi epiglotal.
Ladefoged
dan Johnson (2011) menekankan pentingnya koordinasi antara berbagai komponen
alat ucap ini:
"Speech
production involves the coordinated action of several different anatomical
structures. The respiratory system provides the airstream. The larynx is the
source of much of the acoustic energy in speech. And the vocal tract acts as a
variable resonator, shaping the sound produced by the larynx into the
individual speech sounds" (p. 4).
Pemahaman
tentang struktur dan fungsi alat ucap ini sangat penting dalam studi fonetik
artikulatoris dan menjadi dasar untuk memahami bagaimana bunyi bahasa
diproduksi.
2.5
Klasifikasi Bunyi Bahasa
Bunyi
bahasa dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori utama berdasarkan cara
produksinya. Berikut adalah penjelasan detail tentang klasifikasi bunyi bahasa:
2.5.1
Vokal
Vokal
adalah bunyi yang diproduksi tanpa adanya hambatan signifikan pada aliran udara
dari paru-paru. Menurut Ladefoged dan Johnson (2011), "Vowels are sounds
in which there is no obstruction to the flow of air as it passes from the
larynx to the lips" (p. 20).
Vokal
diklasifikasikan berdasarkan beberapa parameter:
- Tinggi Lidah: Mengacu pada posisi
vertikal lidah saat memproduksi vokal. Vokal dapat dikategorikan sebagai
tinggi (seperti [i] dan [u]), sedang (seperti [e] dan [o]), atau rendah
(seperti [a]).
- Posisi Lidah: Mengacu pada posisi
horizontal lidah. Vokal dapat dikategorikan sebagai depan (seperti [i] dan
[e]), tengah (seperti [ə]), atau belakang (seperti [u] dan [o]).
- Bentuk Bibir: Vokal dapat diproduksi
dengan bibir bundar (seperti [u] dan [o]) atau tidak bundar (seperti [i]
dan [e]).
- Ketegangan: Beberapa bahasa
membedakan antara vokal tegang (seperti [i] dalam "beat") dan
vokal kendur (seperti [ɪ] dalam "bit").
- Panjang: Beberapa bahasa membedakan
antara vokal panjang dan pendek.
- Nasalisasi: Vokal dapat dinasalisasi
jika velum diturunkan, memungkinkan udara mengalir melalui hidung serta
mulut.
IPA
(International Phonetic Alphabet) menyediakan simbol untuk merepresentasikan
berbagai vokal yang ada dalam bahasa-bahasa di dunia. Diagram vokal kardinal,
yang dikembangkan oleh Daniel Jones, memberikan representasi visual dari ruang
vokal dan membantu dalam klasifikasi dan deskripsi vokal.
2.5.2
Konsonan
Konsonan
adalah bunyi yang diproduksi dengan adanya hambatan pada aliran udara di suatu
titik dalam saluran vokal. Ladefoged dan Maddieson (1996) mendefinisikan
konsonan sebagai "sounds that involve a radical constriction in the vocal
tract" (p. 9).
Konsonan
diklasifikasikan berdasarkan beberapa parameter:
- Tempat Artikulasi: Mengacu pada
lokasi di mana hambatan terjadi. Beberapa tempat artikulasi utama
meliputi:
- Bilabial: Melibatkan kedua bibir
(contoh: [p], [b], [m])
- Labiodental: Melibatkan bibir bawah
dan gigi atas (contoh: [f], [v])
- Dental: Melibatkan lidah dan gigi
(contoh: [θ], [ð])
- Alveolar: Melibatkan lidah dan gusi
(contoh: [t], [d], [s], [z])
- Postalveolar: Melibatkan lidah dan
area di belakang gusi (contoh: [ʃ], [ʒ])
- Palatal: Melibatkan lidah dan
langit-langit keras (contoh: [c], [ɟ])
- Velar: Melibatkan lidah belakang dan
langit-langit lunak (contoh: [k], [g])
- Uvular: Melibatkan lidah belakang
dan uvula (contoh: [q], [ʁ])
- Glottal: Melibatkan pita suara
(contoh: [ʔ], [h])
- Cara Artikulasi: Mengacu pada jenis
hambatan yang terjadi. Beberapa cara artikulasi utama meliputi:
- Plosif: Hambatan penuh yang diikuti
pelepasan mendadak (contoh: [p], [t], [k])
- Frikatif: Hambatan parsial yang
menghasilkan gesekan (contoh: [f], [s], [ʃ])
- Afrikat: Kombinasi plosif dan
frikatif (contoh: [tʃ], [dʒ])
- Nasal: Aliran udara melalui hidung
(contoh: [m], [n], [ŋ])
- Lateral: Aliran udara di sisi lidah
(contoh: [l])
- Tril: Getaran cepat artikulator
(contoh: [r])
- Flap atau Tap: Kontak singkat antara
artikulator (contoh: [ɾ])
- Aproksiman: Artikulator mendekat
tanpa menyebabkan turbulensi (contoh: [w], [j])
- Bersuara atau Tak Bersuara: Mengacu
pada ada tidaknya vibrasi pita suara. Konsonan bersuara diproduksi dengan
vibrasi pita suara (seperti [b], [d], [g]), sementara konsonan tak
bersuara diproduksi tanpa vibrasi pita suara (seperti [p], [t], [k]).
- Aspirasi: Beberapa bahasa membedakan
antara konsonan yang diaspirasi (diikuti hembusan udara yang kuat) dan
yang tidak diaspirasi.
- Palatalisasi, Velarisasi, dan
Faringalisasi: Artikulasi sekunder yang dapat ditambahkan pada artikulasi
utama konsonan.
IPA
menyediakan simbol untuk merepresentasikan berbagai konsonan yang ada dalam
bahasa-bahasa di dunia. Tabel konsonan pulmonik IPA memberikan representasi
visual dari berbagai jenis konsonan berdasarkan tempat dan cara artikulasinya.
2.5.3
Diftong
Diftong
adalah bunyi vokal yang melibatkan pergerakan dari satu posisi vokal ke posisi
vokal lainnya dalam satu suku kata. Cruttenden (2014) mendefinisikan diftong
sebagai "a glide from one vowel to another" (p. 140).
Diftong
biasanya diklasifikasikan berdasarkan arah pergerakan lidah:
- Diftong Naik: Pergerakan dari vokal
yang lebih rendah ke vokal yang lebih tinggi (contoh: [aɪ] seperti dalam
"time", [aʊ] seperti dalam "house")
- Diftong Turun: Pergerakan dari vokal
yang lebih tinggi ke vokal yang lebih rendah (contoh: [ɪə] seperti dalam
"here", [ʊə] seperti dalam "poor" dalam beberapa aksen
bahasa Inggris)
- Diftong Pusat: Pergerakan menuju
vokal pusat [ə] (contoh: [eə] seperti dalam "hair" dalam
beberapa aksen bahasa Inggris)
Jumlah
dan jenis diftong bervariasi antar bahasa. Bahasa Inggris, misalnya, memiliki
delapan diftong dalam aksen Received Pronunciation: [eɪ], [aɪ], [ɔɪ], [əʊ], [aʊ],
[ɪə], [eə], [ʊə].
2.5.4
Kluster
Kluster
konsonan, juga dikenal sebagai gugus konsonan, adalah urutan dua atau lebih
konsonan yang muncul tanpa vokal di antaranya dalam satu suku kata. Menurut
Yavaş (2006), "Consonant clusters are sequences of two or more consonants
at the beginning of a syllable (onset) or at the end of a syllable (coda)"
(p. 131).
Kluster
konsonan dapat diklasifikasikan berdasarkan posisinya dalam suku kata:
- Kluster Awal (Onset Clusters): Muncul
di awal suku kata (contoh: "st" dalam "stop",
"spr" dalam "spring")
- Kluster Akhir (Coda Clusters): Muncul
di akhir suku kata (contoh: "lp" dalam "help",
"kst" dalam "text")
Bahasa-bahasa
berbeda dalam hal kompleksitas kluster konsonan yang diizinkan. Beberapa
bahasa, seperti bahasa Jepang, cenderung memiliki struktur suku kata yang
sederhana dan tidak mengizinkan kluster konsonan, sementara bahasa-bahasa lain,
seperti bahasa Polandia, memungkinkan kluster konsonan yang sangat kompleks.
Pemahaman
tentang kluster konsonan penting dalam studi fonologi karena mereka sering
menjadi subjek proses fonologis seperti penyederhanaan kluster atau epentesis.
Klasifikasi bunyi bahasa ini memberikan kerangka untuk memahami dan mendeskripsikan inventaris bunyi dalam berbagai bahasa. Ini juga menjadi dasar untuk analisis fonologis lebih lanjut, termasuk studi tentang pola distribusi bunyi, proses fonologis, dan struktur suku kata.
3. Jenis-jenis Perubahan
Bunyi
Perubahan bunyi adalah
fenomena yang umum terjadi dalam bahasa, baik secara diakronis (perubahan
historis) maupun sinkronis (variasi dalam penggunaan kontemporer). Menurut Hock
(1991), "Sound change is the most regular and in many ways the most important
type of language change" (p. 34). Pemahaman tentang jenis-jenis perubahan
bunyi sangat penting dalam studi fonologi karena hal ini membantu menjelaskan
variasi dalam pengucapan dan evolusi bahasa.
Berikut adalah beberapa
jenis perubahan bunyi yang umum:
3.1 Asimilasi
Asimilasi adalah proses
di mana satu bunyi menjadi lebih mirip dengan bunyi lain di sekitarnya. Menurut
Carr (2008), "Assimilation is a process whereby one sound becomes more
like another sound in its environment" (p. 26).
Asimilasi dapat dibagi
menjadi beberapa jenis:
- Asimilasi Regresif: Bunyi dipengaruhi
oleh bunyi yang mengikutinya. Contoh: Dalam bahasa Inggris, [n] dalam
"in" menjadi [m] ketika diikuti oleh bunyi bilabial seperti
dalam "impossible" [ɪmˈpɒsəbl̩].
- Asimilasi Progresif: Bunyi
dipengaruhi oleh bunyi yang mendahuluinya. Contoh: Dalam bahasa Inggris,
sufiks plural "-s" diucapkan [s] setelah konsonan tak bersuara
(cats [kæts]), tetapi [z] setelah konsonan bersuara (dogs [dɒgz]).
- Asimilasi Resiprokal: Dua bunyi
saling mempengaruhi. Contoh: Dalam beberapa dialek bahasa Inggris, frasa
"Don't you" dapat diucapkan [dəʊntʃu], di mana [t] dan [j]
berubah menjadi afrikat [tʃ].
3.2 Disimilasi
Disimilasi adalah proses
di mana satu bunyi menjadi kurang mirip dengan bunyi lain di sekitarnya. Odden
(2005) menyatakan, "Dissimilation is a process whereby similar sounds
become less similar" (p. 241).
Contoh: Dalam bahasa
Latin, kata "peregrinus" berubah menjadi "pelegrinus" dalam
beberapa bahasa Romawi, di mana salah satu [r] berubah menjadi [l] untuk
menghindari pengulangan bunyi [r].
3.3 Penghilangan
(Deletion)
Penghilangan adalah
proses di mana satu bunyi dihilangkan dalam konteks tertentu. Menurut
Kenstowicz (1994), "Deletion is the most extreme form of weakening, where
a segment is removed entirely" (p. 79).
Contoh:
- Dalam bahasa Inggris informal, [t]
sering dihilangkan di akhir kata setelah konsonan tak bersuara, seperti
dalam "kept" [kep].
- Dalam bahasa Indonesia, huruf 'h'
sering dihilangkan dalam pengucapan kata-kata seperti "tahu"
[tau] atau "lihat" [liat].
3.4 Penyisipan
(Epenthesis)
Penyisipan adalah proses
di mana satu bunyi ditambahkan ke dalam kata. Hall (2011) mendefinisikan
epenthesis sebagai "the addition of a segment to a word in a position
where there was no segment before" (p. 1576).
Contoh:
- Dalam bahasa Inggris, beberapa
penutur menyisipkan [p] antara [m] dan [t] dalam kata
"something" [sʌmpθɪŋ].
- Dalam bahasa Indonesia, penyisipan
bunyi glotal stop [ʔ] antara dua vokal yang berdekatan, seperti dalam kata
"saat" [saʔat].
3.5 Metatesis
Metatesis adalah proses
di mana urutan dua bunyi dalam sebuah kata ditukar. Menurut Hume (2001),
"Metathesis refers to the process whereby in certain languages, under
certain conditions, sounds appear to switch positions with one another"
(p. 1).
Contoh:
- Dalam perkembangan historis bahasa
Inggris, kata "third" berasal dari bentuk kuno
"thrid".
- Dalam bahasa Indonesia informal, kata
"sabtu" sering diucapkan sebagai "sabut".
3.6 Lenisi dan Fortisi
Lenisi (pelemahan) adalah
proses di mana bunyi menjadi lebih lemah atau lebih mudah diucapkan, sementara
fortisi (penguatan) adalah proses sebaliknya.
Lass (1984) menyatakan,
"Lenition is a 'weakening' of consonant articulations, typically in
intervocalic position or word-finally" (p. 177).
Contoh Lenisi:
- Dalam bahasa Spanyol, [p] Latin
berubah menjadi [b] di antara vokal, seperti dalam "lupus"
menjadi "lobo".
Contoh Fortisi:
- Dalam beberapa dialek bahasa Inggris,
[v] di awal kata dapat diperkuat menjadi [b], seperti "very"
diucapkan [beri].
3.7 Nasalisasi
Nasalisasi adalah proses
di mana bunyi non-nasal menjadi nasal. Menurut Ladefoged dan Maddieson (1996),
"Nasalization is the production of a sound while the velum is lowered, so
that air can escape through the nose as well as the mouth" (p. 298).
Contoh:
- Dalam bahasa Prancis, vokal sebelum
konsonan nasal sering dinasalisasi, seperti dalam kata "bon" [bɔ̃].
- Dalam bahasa Indonesia, beberapa
dialek menasalisasi vokal sebelum konsonan nasal, seperti dalam kata
"makan" [mãkan].
3.8 Netralisasi
Netralisasi adalah proses
di mana perbedaan fonologis antara dua atau lebih fonem hilang dalam konteks
tertentu. Trubetzkoy (1939/1969) mendefinisikan netralisasi sebagai "the
suspension of an opposition in certain positions" (p. 78).
Contoh:
- Dalam bahasa Jerman, perbedaan antara
/d/ dan /t/ dinetralisasi di akhir kata, keduanya diucapkan sebagai [t].
- Dalam bahasa Indonesia, perbedaan
antara /e/ dan /ə/ sering dinetralisasi dalam suku kata tertutup, seperti
dalam kata "nenek" dan "pendek".
3.9 Palatalisasi
Palatalisasi adalah
proses di mana bunyi non-palatal menjadi palatal atau mendekati palatal. Bhat
(1978) menyatakan, "Palatalization refers to a set of assimilatory sound
changes in which a consonant acquires a secondary palatal articulation or shifts
its primary place of articulation towards or close to the palatal region"
(p. 47).
Contoh:
- Dalam bahasa Inggris, [s] dan [z]
sering dipalatalisasi menjadi [ʃ] dan [ʒ] sebelum [j], seperti dalam frasa
"miss you" [mɪʃju].
- Dalam perkembangan bahasa Romawi dari
bahasa Latin, [k] sebelum vokal depan sering berubah menjadi [tʃ] atau
[s], seperti Latin "centum" menjadi Italia "cento" [tʃento].
3.10 Aspirasi
Aspirasi adalah proses di
mana sebuah bunyi, biasanya konsonan plosif, diikuti oleh hembusan udara yang
kuat. Menurut Ladefoged dan Johnson (2011), "Aspiration is the puff of air
that occurs after the release of a stop and before the start of the following
vowel" (p. 57).
Contoh:
- Dalam bahasa Inggris, plosif tak
bersuara [p], [t], [k] biasanya diaspirasi di awal suku kata yang mendapat
tekanan, seperti dalam "pin" [pʰɪn], "tin" [tʰɪn],
"kin" [kʰɪn].
- Dalam bahasa Mandarin, aspirasi
bersifat fonemis, membedakan makna seperti dalam "pā" (takut)
dan "bā" (delapan).
Pemahaman tentang
jenis-jenis perubahan bunyi ini sangat penting dalam analisis fonologis.
Perubahan bunyi tidak hanya menjelaskan variasi dalam pengucapan dalam suatu
bahasa, tetapi juga membantu kita memahami bagaimana bahasa berevolusi dari
waktu ke waktu. Selain itu, pengetahuan tentang perubahan bunyi juga penting
dalam bidang-bidang terapan seperti pengajaran bahasa asing, terapi wicara, dan
teknologi pemrosesan bahasa alami.
Post a Comment