Semantik, Pragmatik dan Semiotik
SEMANTIK DAN PRAGMATIK
Keduanya bertalian dengan ekspresi linguistik. Semantik bertalian dengan makna kata dan kalimat, sedang pragmatik berhubungan dengan maksud ujaran. Pragmatiks menyangkutkan makna dengan pihak-pihak penutur (interlocutors), yakni penutur dan mitra tutur. Sementara semantik berfokus kepada ekspressi linguistik. Pragmatik adalah telaah tentang bagaimana pendengar menambahkan informasi kontekstual kepada struktur semantik dan bagaimana cabang ilmu itu menarik masukan dari apa yang dikatakan lawan bicara.
Perbedaan antara kedua cabang ilmu itu dibangun di atas konteks wacana (discours): pragmatik melakukan telaah kontribusi apa yang diberikan oleh konteks kepada makna. Dalam sebuah ujaran mungkin tidak cukup dipahami mitra tutur hanya berdasarkan makna leksikal dan gramatikalnya. Seorang ibu, yang sedang makan bersama keluarganya pada sebuah meja makan, memerlukan sambal yang berada di sisi yang tak terjangkau di dekat sang suami, lalu bertanya: "Dapatkah sambal itu digeser ke mari". Ujaran itu bukan pertanyaan untuk dijawab bisa atau tidak, melainkan sebuah permintaan. Konteks situasi tempat mereka makan mengarahkan mitra tutur kepada maksud ujaran sang penutur. Berikut dua buah contoh lain.
(a) Dalam sebuah percakapan di kelas, muncul ujaran dari seorang pengajar:
"Udara panas sekali!"
Ujaran berupa kalmat deklaratif itu dapat ditafsirkan dengan beberapa maksud, misalnya (a) penutur memberikan komentar untuk mitra tutrnya, atau (b) penutur memberi masukan agar mitra tuturnya mencarikan cara agar udara tidak panas (penutur meminta agar ruangan dibuka, kalau tidak ada AC di dalam ruangan, atau kalau ada AC tetapi belum dinyalakan, dapat ditafsirkan permintaan agar AC ruangan dihidupkan).
Tafsiran atau penangkapan makna lawan bicara, tentu saja tergantung kepada (a) makna semantik dan (b) konteks. Ujaran yang didengar oleh lawan bicara merupakan masukan (inferen) (Levinson, 1983:14). Untuk memahami maksud penutur, ujaran harus dihubungkan dengan konteks (linguistiks atau situasi non-linguistiks). Dalam contoh tersebut lawan bicara menghubungkan ujaran itu dengan situasi. Kemudian ditafsirkannya makna atau maksud penutur bahwa ia memerlukan udara yang tidak panas, atau dengan kata lain sang pengajar menyuruh mitra tuturnyanya berusaha mendinginkan ruangan. Ujaran itu bersifat direktif.
SEMIOTIK DAN SEMANTIK
Semantik linguistik dalam dunia modern dimulai sejak abad kesembilan belas di bawah ancangan semesiologi, yaitu dienalkan oleh Reisig pada tahun 1820-an. Dan oleh Bréal semantik dijadikannya sebagai bagian integral ilmu linguistik (1987). Sebelumnya semantik masih dijadikan sebagai bagian dari analisis diakhronis yang membahas perubahan makna. Sementara semantik modern berorintasi kepada analisis sinkronis, dan lapangan utamanya adalah semantik kata atau leksikologi (Nath 1990:106).
Orientasi semantik modern adalah pendekatan struktural, yang menolak anggapan bahwa makna kata merupakan butir butir yang bersifat atomistis. Selanjutnya pemikiran Norrick (1981) yang ditinjau kembali oleh Drosse (1985), seperti dikutip olah Noth (1990:106) mengembangkan dasar-dasar semiotik dalam semantik linguistik dalam suatu hubungan telaah ikonik, indeks, metafora, dalam bahasa.
Untuk membicarakan semantik sebagai cabang semiotik, kita bahas lebih dahulu istilah-istilah tentang tanda yang saling berdekatan, yaitu: Icon, indeks, dan simbol. Ketiganya merupakan bagian dari sistem penandaan, yakni cara bagaimana menunjuk sesuatu dengan sesuatu yang lain (Saeed, 2003:5; Noth, 1990:79).
(i) Icon adalah penandaan dimana terdapat kesamaan. antara tanda (sign) dengan yang diwakilinya, seperti potret dengan orangnya yang nyata, atau diagram mesin dengan mesin yang sesungguhnya.
(ii) Sementara indeks adalah tanda yang sangat dekat dengan yang ditandai, yang dapat diasosiakan dengan yang ditandai, seperti hubungan sebab-akibat, misalnya asap menandakan api, mendung menandakan akan hujan.
(iii) Simbol adalah lambang konvensional, seperti tanda pangkat dalam militer. Pada beberapa suku bangsa, orang memakai pakaian hitam untuk tanda berduka cita. Demikianlah kata dalam bahasa dapat melambangkan, baik hal-hal yang abstrak maupun yang kongkrit, berdasarkan persetujuan para penutur. Atau dapat dikatakan juga bahwa hubungan antara bentuk kata dengan maknanya ditetapkan secara arbitrer, secara manasuka, hanya berdasarkan persetujuan, dengan sedikit pengecualian, yakni kata-kata tiruan bunyi yang disebut onomatope, yang umumnya seddikt banyak mendekati bunyi yang dilambangkan.
REFERENSI:
Muhadjir. 2014. Semantik dan Pragmatik. Tangerang : Pustaka Mandiri
Post a Comment