Semantik, Fisafat, dan Psikologi
Dalam hal ini akan diungkapkan hubungan semantik dengan filsafat dan psikologi. Semantik sebagai ilmu makna, bukan hanya menjadi garapan linguistik, melainkan juga menjadi pemikiran para filosof dan psikolog. Bagaimana batas pendekatan ketiga ilmu tersebut sulit untuk dijelaskan secara terpisah. Baik linguis, psikolog, maupun filosof menggunakan semantik sebagai salah satu pendekatan ilmunya. Perbe daannya, antara lain:
(1) Seorang linguis
tidak/belum memerhatikan sistem bahasa dari sudut logika secara tradisional,
tetapi kemudian dengan adanya fungsionalis modern (semantik kognitif) logika di
dalam semantik kognitif mulai diperhatikan. Secara tradisional memang logika
belum diperhatikan, seperti pada ekspresi:
Semua makhluk akan mati
Socrates adalah makhluk
Socrates akan mati
Seorang linguis
mempersoalkan ekspresi itu dari segi maknanya, sedangkan seorang filosof akan
memper tanyakan: "apa itu mati, mengapa harus mati, dan bagaimana sesudah
mati?" Di dalam semantik kognitif makna konteks yang menentukan makna
logika, atau dengan mempertahankan makna peka konteks.
(2) Ada perbedaan tajam
antara ilmu dan filsafat ilmu, karena itu pendekatannya dibedakan. Ilmuwan
menjelaskan objeknya melalui rumus-rumus atau definisi-definisi, sedangkan
filosof berusaha agar penjelasan ilmiah dapat dimengerti secara logis.
(3) Semantik sebagai ilmu
mempelajari kemaknaan dalam bahasa sebagaimana adanya (alamiah-das sein) dan
terbatas pada pengalaman manusia. Secara ontologis semantik membatasi masalah
yang dikajinya hanya pada masalah yang ada pada ruang lingkup jangkauan
pengalaman manusia, sedangkan psikologi mempelajari gejala kejiwaan yang berada
dalam jangkauan pemikiran manusia. Psikolog mempertimbangkan gejala keber
maknaan jiwa, atau gejala jiwa yang ditampilkan manusia baik yang bersifat
verbal maupun yang nonverbal.
Semantik sebagai ilmu,
mempelajari kemaknaan di dalam bahasa sebagaimana apa adanya(- das Sein) dan
terbatas pada pengalam an manusia. Jadi, secara ontologis semantik membatasi
masalah yang dikajinya hanya pada masalah yang terdapat di dalam ruang lingkup
jangkauan pengalaman manusia.
Selanjutnya psikologi mempelajari gejala kejiwaan yang juga ber ada dalam jangkauan pemikiran manusia. Psikologi membicarakan kebermaknaan jiwa yang ditampilkan melewati gejala jiwa, baik yang bersifat verbal maupun non-verbal. Semantik membicarakan keber maknaan kata dan satuannya yang jelas lebih bersifat verbal karena orang yang mengerutkan dahi tanda tidak senang, tidak mempunyai makna apa-apa bagi orang yang mempelajari semantik. Kalau keti daksetujuan ditampilkan di dalam kalimat, / saya tidak setuju /, maka satuan ujaran ini akan menarik bagi seorang yang mempelajari semantik.
Seorang psikolog menjelaskan
semantik dengan berbagai cara. Salah satu cara seperti yang dikemukakan oleh
Charles Morris di dalam buku yang berjudul, "Signs, Language and
Behavior" yangi disiarkan tahun 1946. Di dalam buku itu Charles Morris
menjelaskan simbol-simbol, tanda-tanda dan membicarakan apa yang ditandai.
Jadi, kalau seekor anjing mereaksi berharap adanya makanan apabila mendengar
bel, maka bel dapat dianggap sebagai penanda adanya. makanan. Apa yang
ditunjukkan oleh Morris dapat dibandingkan de ngan seorang yang mencoba
mencegah seorang sopir untuk tidak melanjutkan perjalanan sebab ada tanah
longsor. Di sini kata-kata orang yang mencegah sopir, disebut simbol, tanah
longsor merupa kan hal yang dimaksudkan, sedangkan kondisi tanah longsor yang
menyebabkan sopir dicegah, disebut yang ditandai (= signified).
Seorang psikolog akan
mempelajari reaksi manusia, gejala kejiwa an manusia, baik yang melewati
kegiatan verbal maupun yang non verbal, sedangkan seorang linguist akan
memusatkan perhatian pada peristiwa bahasa seperti yang ia dengar atau yang ia
baca sehari hari. Namun hendaknya diingat, baik semantikus, filsuf maupun psi
kolog ketiga-tiganya menggunakan bahasa sebagai alat. Kita telah mengetahui
bahwa bahasa mempunyai fungsi simbolik, emotif dan afektif.
Di samping itu kita
mengetahui bahwa bahasa mempunyai dua kekurangan utama untuk menjalankan
fungsinya sebagai ana. Kekurangan itu pada hakekatnya terletak pada peranan
bahasa, pe ranan bahasa yang mempunyai tiga fungsi yang baru disebutkan. Bahasa
sebagai alat komunikasi ilmu semestinya mengutamakan fungsi simbolik, namun
kenyataannya tidak. Sebab aspek emotif dan aspek afektif akan muncul
bersama-sama sehingga sifat ilmu sebagai sesuatu yang obyektif, sulit
dipertahankan. Kekurangan kedua, ialah manusia tidak mampu menyatakan segala
sesuatu secara eksak. Ambillah, misalnya kata kursi:
Bagi si A, kursi ialah X, bagi B kursi adalah X + a, sedangkan bagi C kursi adalah Y. Kita dapat berkata, kursi adalah tempat duduk, namun kalau kita berkata anggota DPRD berebutan kursi, maka yang kita maksudkan bukan lagi kursi sebagai tempat duduk, tetapi jabatan, kedudukan. Tidak heran kita apabila suku Hununoo di Filipina memi liki 92 kata untuk beras, sedangkan bangsa Eskimo memiliki kosa kata yang banyak untuk kata salju. Sifat majemuk bahasa sering menim bulkan apa yang dinamakan kekacauan semantik. Kekacauan seman tik tercermin apabila ada dua orang yang sedang berkomunikasi yang menggunakan kata yang sama untuk pengertian yang berbeda atau sebaliknya mereka menggunakan dua kata yang berbeda untuk pengertian yang sama. Kekacauan semantik dapat dihindari apabila prinsip koperasi (+ PC = Cooperative Principle) diterapkan. Prinsip koperasi yakni, (a) kuantitas kata, (b) kualitas pembicaraan, (c) hu bungan pembicaraan, dan (d) cara penyampaian yang mesti jelas, tidak ambiguitas, pendek dan berurutan
REFERENSI:
Pateda, Mansoer. 1986.
Semantik Leksikal. Flores : Nusa Indah
Djajasudarma, Fatimah. 2009. Semantik 1. Bandung : Refika Aditama
Post a Comment