Permasalahan Penulisan Judul Berita
Dalam Kode Etik Jurnalistik versi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang lama, terdapat satu pasal yang mengatur tentang penulisan judul berita. Namun sayang, dalam Kode Etik Jurnalistik Tahun 2003, pasal tersebut ternyata dihapus. Begitu juga dalam Kode Etik Jurnalistik Tahun 2006. Hal yang sama tidak secara khusus diatur. Pasal 9 Kode Etik Jurnalistik yang lama (dibuat dan disahkan pada tanggal 2 Desember 1994 di Batam, Provinsi Riau) mengatakan: "Wartawan Indonesia menulis judul yang mencerminkan isi berita."
Pernyataan ini, dari segi redaksional penerbitan pers, sesungguhnya mengandung esensi yang sangat luas sebab pada praktiknya fitnah, tuduhan tidak berdasar, pernyataan sensasional, berita bohong, atau pencemaran nama baik ditunjukkan melalui penulisan judul berita.
Di tengah masyarakat yang tingkat demokrasinya belum berkembang dan juga tingkat kebebasan pers yang belum begitu matang, acap kali media massa berusaha menjual berita dengan membuat judul yang sensasional, provokatif, menegangkan, dan mengejutkan untuk semata memancing daya tarik bagi para pembaca judul (the reader of news head). Pembaca semacam ini termasuk manusia-manusia pekerja produktif dari budaya industri yang senantiasa tergesa-gesa dan sibuk. Seperti yang disebutkan oleh Mario Garcia, desainer Kompas yang artikelnya kita kutip sebelumnya, masyarakat yang selalu kekurangan waktu dan menjadi pembaca super cepat (supersonic readers) tidak peduli apakah sebuah judul mencerminkan isi beritanya atau tidak peduli dengan pengaruh yang ditimbulkannya.
Berbohong dengan Judul
LS. Badudu, seorang pakar bahasa di Universitas Indonesia yang sangat tekun mengamati bahasa jurnalistik, sekitar tahun 1984 pernah terang-terangan menuding pers Indonesia sering melakukan penipuan melalui judul beritanya. Menurutnya, secara tidak sadar pers telah melakukan kebohongan publik melalui judul-judul berita. "Karena waktu kita yang terbatas untuk membaca surat kabar, biasanya mata kita langsung secara cepat membaca kepala berita yang tertulis dengan huruf-huruf yang besar. Hal-hal yang menarik perhatian kita, langsung kita baca. Akan tetapi, kita sering tertipu oleh kepala berita itu karena yang tertulis di sana tidak sama dengan maksudnya dengan isi berita di bawahnya," kata LS Badudu dalam bukunya Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar (1984). Banyak contoh judul semacam itu yang ditunjukkannya dalam buku itu. Dalam buku ini hanya akan ditunjukkan dua contoh yang sangat fatal ditinjau dari kaidah bahasa donesia dan jurnalistik. Perhatikan beberapa contoh sebagai berikut.
1. Pinjaman US $200 Juta Diberikan Indonesia
2. Pra-Piala Dunia Gulingkan Hong Kong 2-0
Kedua kalimat judul berita di atas sangatlah membingungkan. Secara sekilas, judul pertama membuat kita beranggapan bahwa Indonesia sudah mampu menjadi donatur atau memberi pinjaman kepada negara lain sebesar US $200 juta. Indonesia yang selama ini dikenal sebagai peminjam, ternyata juga mampu memberikan pinjaman. Pasti muncul dalam benak kita bahwa pinjaman sebesar US $200 juta itu telah diberikan Pemerintah Indonesia kepada pihak luar.
Kepada siapa pinjaman tersebut diberikan dan siapa penerimanya belum diketahui karena belum dicakup dalam kalimat judul tersebut. Tentu hal ini akan menimbulkan rasa ingin tahu untuk membaca isi berita secara keseluruhan. Namun, setelah membaca, ternyata tidaklah sebagus dugaan. Apa yang salah dari judul tersebut hingga kita terkecoh? Berikut penjelasannya.
Pertama, judul berita dibuat dengan mengabaikan ketentuan berbahasa. Kedua, ada kata depan yang penting dalam judul itu yang justru dilupakan oleh penulis dan redakturnya. Kata depan yang dimaksud adalah kata "kepada yang seharusnya diletakkan di antara kata "diberikan dengan "Indonesia, seperti contoh berikut.
Pinjaman US $200 Juta Diberikan kepada Indonesia
Ketiga, agar lebih mudah dipahami hendaknya susunan kalimat dalam judul berita diubah menjadi bentuk kata kerja:
Indonesia Menerima Pinjaman US $200 Juta
Sekarang mari kita perhatikan contoh judul kedua. Apa yang rancu dari contoh kedua? Berikut penjelasannya.
Semua pembaca dianggap sudah mengerti dengan apa yang disebut Pra-Piala Dunia, yaitu sebuah kesebelasan sepak bola (misalnya Kesebelasan Nasional PSSI) yang dibentuk guna menghadapi penyisihan di tingkat Asia supaya bisa lolos menjadi peserta turnamen kaliber internasional Piala Dunia (World Cup).
Sebenarnya hanya dengan menambahkan kata "Kesebelasan"-atau yang lazim disingkat "Kes" dalam bahasa jurnalistik-di depan kalimat "Pra Piala Dunia" sehingga berubah menjadi:
Kes, Pra-Piala Dunia Gulingkan Hong Kong 2-0
Judul berita itu menjadi sangat jelas tanpa harus memerkosa kaidah Bahasa Indonesia, sebagaimana yang diungkapkan oleh J.S. Badudu.
Dua contoh di atas merupakan suatu penggunaan prinsip ekonomi kata (word economy), yang salah kaprah. Contoh tersebut menunjukkan kealpaan seorang wartawan dan redaktur dalam menerapkan prinsip bahasa jurnalistik yang mengatakan bahwa menghemat kata atau kalimat juga tidak dibenarkan jika menyalahi tata bahasa dan norma bahasa dan mengubah arti kata atau maknanya.
Judul untuk Tujuan Propaganda
Dibandingkan dengan seabad atau beberapa puluh tahun yang lalu, terutama pada awal munculnya surat kabar berbahasa Melayu di Nusantara (Hindia Belanda), sebenarnya terdapat perbedaan yang sangat besar antara kepala berita di zaman dulu dengan keadaan enam puluh tahun kemudian.
Dulu umumnya berita cukup diletakkan di bawah kepala berita yang mirip dengan nama rubrik pada masa kemudian, seperti Berita Kota, Berita Dalam Negeri, Berita Parlemen, Berita Luar Negeri, Berita Pajak, Berita Daerah, dan sebagainya. Di bawah kepala kepala berita tersebut (layaknya sebagai pemandu), disusunlah berita-berita terkait. Besar huruf dan tipografi pada judul berita juga tidak pernah mencolok. Tidak ada judul yang membawa pesan-pesan atau gagasan yang berniat memengaruhi pembaca, selain hanya sebagai pemandu atau memberi navigasi kepada pembaca tentang berita yang sedang dibaca. Tidak ada tujuan mengeksploitasi bahasa dalam merancang judul agar orang mau membeli surat kabar. Tidak ada misi redaksional yang dititipkan dalam judul berita, terlebih tujuan-tujuan yang lazim dalam PD II yaitu melemahkan moril musuh atau lawan ideologinya sebagai propaganda, psywar, dan agitasi.
Lain halnya dengan zaman sekarang. Judul berita sering kali dibuat menonjol dan ditulis dalam huruf yang sangat besar untuk menunjukkan betapa pentingnya berita tersebut, sekaligus dijadikan sebagai alat penjaja koran terkait. Judul berita justru dijadikan sebagai alat propaganda, psywar, atau agitasi seperti yang banyak dilakukan oleh pers di negara-negara maju (Amerika Serikat dan Eropa).
Bahkan di era Soeharto sekalipun, saat pers termasuk salah satu bidang yang dikontrol secara ketat, Indonesia juga tidak luput dari judul-judul yang seronok. Drs. Soebrata, Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika (PPG) yang juga mantan Direktur Televisi (Direktorat Jenderal Radio, Televisi, dan Film) di Departemen Penerangan, dalam sebuah acara Chief Editors Meeting di Jakarta pada tahun 1995 pernah membeberkan sekumpulan kliping berisi tajuk koran dan majalah yang menurutnya tidak sesuai dengan isi beritanya. Salah satu tajuk yang diperlihatkannya adalah:
ABRI Gagal Bebaskan Sandera.
Tajuk berita tersebut membuat pihak TNI-yang pada masa itu masih disebut ABRI menjadi kesal dengan koran yang memuat berita tersebut. Isi beritanya adalah mengenai peristiwa penyanderaan warga asing di desa Mapunduma, Lembah Baliem, Irian Jaya (yang sekarang berubah menjadi Papua). Penyanderaan dilakukan oleh sebuah kelompok yang dinamakan "Gerakan Pengacau Keamanan" (GPK).
Subrata menyebutkan bahwa judul berita itu tidak sesuai dengan isi berita yang dimuat. Pihak TNI menyangkal bahwa sebenarnya upaya yang dilakukan belum bisa dikatakan "gagal" sebab upaya ABRI ternyata masih dalam satu dari sekian tahap rencana dan strategi yang telah disusun. Jadi masih dalam proses.
Memang ada beberapa pilihan yang diambil oleh pihak TNI untuk menuntaskan perkara itu dengan baik. Di antaranya adalah melalui cara penggunaan jasa mediator sebagai upaya persuasif agar GPK membebaskan sandera tanpa pertumpahan darah. Upaya tersebut ternyata mengalami jalan buntu. Bahkan ketika mediator yang terdiri atas tokoh-tokoh agama merasa frustrasi lalu menyarankan agar ABRI mengambil tindakan militer. ABRI masih berupaya mencari jalan yang lebih manusiawi. ABRI kemudian menggunakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai mediator yang menggantikan peran tokoh agama.
Sampai saat itu ABRI belum mengambil tindakan militer ketika mediator mengalami jalan buntu. Jadi upaya itu belum bisa dikatakan "gagal". Demikian menurut Subrata. Ketika PD II, lama sebelum Jepang menyerah, koran-koran di Amerika Serikat (AS) memuat tajuk berita yang mencolok untuk melemahkan moril tentara Jepang. Ada koran yang mengambil judul "Jepang Menyerah", padahal isi beritanya mengatakan bahwa ada tanda-tanda Jepang akan menyerah. Jadi, belum merupakan suatu hal yang pasti.
Judul untuk Tujuan Mencari Sensasi
Terkadang ada juga judul yang dapat menyinggung perasaan seseorang karena terlalu sensasional. Seorang pengacara mengadukan koran ke pengadilan yang memuat berita mengenai dirinya dengan judul berlebihan sehingga membuat perasaannya tersinggung. Judul tersebut berbunyi: "Shameful Conduct of an Attorney" yang artinya "Kelakuan Hina Seorang Pengacara Pengacara itu menuntut surat kabar terkait karena judul yang dimuat memberi kesan kepada publik bahwa seolah-olah dirinya sering kali berbuat hina..
Judul-judul berita di Inggris jauh lebih berani dibandingkan sebelumnya, terutama terhadap penghuni Istana Buckingham. Tabloid dan surat kabar harian Inggris banyak memuat judul yang menyinggung perasaan Ratu dan kerabat dekat Istana, di antaranya isu seputar perkawinan Sarah Ferguson dengan Pangeran Andrew ataupun isu seputar kehidupan Lady Diana, padahal sepuluh atau dua puluh tahun sebelumnya hal serupa tergolong tabu bagi masyarakat Inggris.
Di Indonesia juga banyak sekali judul berita, baik yang disadari maupun tidak, yang menyalahi kode etik wartawan dan jurnalistik sehingga bisa menyinggung perasaan orang. Umumnya judul-judul yang menyinggung perasaan itu memang tidak didukung dengan penyajian isi yang benar-benar sahih dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kasus yang dialami Ir. Laksamana Sukardi pada tahun 2004 tentang kabar dirinya yang lari ke luar negeri yang dimuat di berbagai media atau kasus pengaduan PT Raja Garuda Mas terhadap Majalah Mingguan Forum Keadilan pada tahun 2005 sempat menarik perhatian banyak kalangan. Meski yang dipermasalahkan bukan spesifik mengenai judul beritanya, jika diamati secara teliti, sebenarnya ada ketidaksesuaian antara judul dengan isi yang termuat.
Judul "Laksamana. Kenapa Harus Kabur?" dalam Majalah Trust Edisi 52 tanggal 27 September-3 Oktober 2004 atau judul "Si Raja Utang Sukanto Tanoto" dalam majalah Forum Keadilan bisa disebut tendensius karena alasan-alasan tertentu sehingga dapat merusak nama baik yang bersangkutan. Judul artikel pada Majalah Trust tersebut cenderung menuduh seolah-olah Laksamana Sukardi sebagai Menteri Negara BUMN ketika itu bermaksud melarikan diri ke luar negeri untuk menghindari jeratan hukum atas adanya dugaan bahwa ia mempunyai urusan dengan aparat penegak hukum, padahal tujuan sebenarnya ia pergi ke luar negeri (menjelang kekalahan Megawati dalam Pemilihan Umum Presiden tahun 2004) adalah untuk alasan lain yang lebih penting. Di samping itu, Laksamana Sukardi merasa bahwa dirinya tidak bersalah hingga harus berhadapan dengan para penegak hukum Terbukti, sekembalinya dari luar negeri ia langsung mengadukan hal tersebut ke Dewan Pers.
Laksamana Sukardi menuntut Dewan Pers untuk menetapkan dan menghukum Majalah Trust dengan ganti rugi dalam bentuk uang sebesar Rp100 miliar dan membayar pidana denda sebesar Rp500 juta karena terbukti melanggar Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 18 ayat (2) UU Pers Tahun 1999 serta mengganti kerugian immaterial sebesar Rp100 miliar karena telah melanggar hukum.
Meski Dewan Pers menolak permohonan Sukardi karena hal itu di luar kewenangannya, Dewan Pers menyatakan bahwa Majalah Trust telah melanggar Kode Etik Jurnalistik dan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) serta UU Pers No. 40 Tahun 1999, Alasan yang dikemukakan oleh Dewan Pers antara lain majalah tersebut membuat kesimpulan sendiri, mencampuradukkan antara fakta dengan opini, tidak berimbang, dan tidak pula melakukan penelitian yang cukup untuk memastikan kebenaran informasi yang diperoleh sehingga bermuara pada pelanggaran atas asas praduga tak bersalah. Majalah Trust juga dinilai belum maksimal menggunakan narasumber yang pantas dan layak dipercaya sehingga bisa dikatakan bahwa majalah ini tidak menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar. Untungnya Dewan Pers tidak menemukan faktor kesengajaan dalam berita Trust untuk merusak nama baik Sukardi sehingga tidak dikenakan Pasal 5 UU Pers No. 40 Tahun 1999, tetapi hanya berupa pelanggaran terhadap Butir 3 KEWI.
Referensi:
Post a Comment