Friday, April 16, 2021

Filsafat Pendidikan

                                                                             

                                                                   Lianda Dewi Sartika
                                                     Universitas Mahasaraswati Denpasar

Pendahuluan
Dalam dunia pendidikan, landasan filosofis pendidikan dinilai perlu menjadi perhatian dan dikuasai oleh para pendidik, sebabnya yaitu: Pertama, pendidikan bersifat normatif, maka dalam pembahasan teori dan praktik pendidikan dibutuhkan asumsi yang bersifat normatif juga. Asumsi-asumsi dalam bidang pendidikan yang bersifat normatif itu sedikit banyak bersumber dari filsafat. Landasan filosofis pendidikan yang bersifat preskriptif dan normatif akan memberikan petunjuk tentang apa yang seharusnya di dalam pendidikan dan atau apa yang dicita-citakan dalam pendidikan. Kedua, bahwa pendidikan tidak cukup dipahami hanya melalui pendekatan ilmiah yang bersifat parsial dan deskriptif saja, melainkan perlu juga dipandang secara holistik. Kajian pendidikan secara holistik ini dapat dimunculkan melalui pendekatan filosofis. 
Landasan filosofis pendidikan merupakan seperangkat asumsi yang bersumber dari filsafat yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan. Seperangkat asumsi ini dideduksi atau dijabarkan dari sistem gagasan filsafat secara umum dengan cakupan Metafisika, Epistemologi, Aksiologi yang dirumuskan oleh suatu aliran filsafat tertentu. Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa terdapat hubungan implikatif antara kepercayaan-kepercayaan/gagasan-gagasan dalam kajian filsafat (metafisika, epistemologi, dan aksiologi) terhadap gagasan-gagasan teori dan praktik pendidikan.

Pembahasan
Filosofis Pendidikan 
1.Perenialisme 
Perenialisme merupakan filsafat pendidikan tertua dan paling konservatif yang berakar pada aliran filsafat realisme. Perenialisme menekankan nilai-nilai tradisional dan mengutamakan pengetahuan yang tidak terikat dalam konsep ruang dan waktu. Robert Hutchins dalam bukunya yang berjudul Great Books of the Western World, menjelaskan cakupan dasar pemikiran Barat yang isinya adalah mengajak untuk mempelajari ide-ide besar di masa lalu seperti karya Aristoteles, Plato, dsb. Dengan demikian maka kita dapat dengan lebih baik dalam menghadapi masa kini dan mempersiapkan masa depan. Tujuan itu adalah untuk meningkatkan kualitas manusia.
Aliran filsafat perenialisme menegaskan bahwa pendidikan diarahkan pada upaya pengembangan kemampuan intelektual anak didik melalui pemberian pengetahuan yang bersifat abadi, universal, dan absolut (Joe Park, 1974 dalam Saidah A.H, 2015). Perenialisme melihat bahwa akibat dari kehidupan zaman modern telah menimbulkan banyak krisis di berbagai bidang kehidupan umat manusia. Untuk mengatasi krisis ini, Perenialisme memberikan jalan keluar berupa kembali kepada kebudayaan yang lampau "ressive Road to Culcure". Oleh sebab itu, perenialisme memandang penting peranan pendidikan dalam proses mengembalikan keadaan manusia zaman modern ini kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan yang telah teruji ketagguhanya. 
Sikap kembali kepada masa lampau bukanlah berarti nostalgia, sikap yang membanggakan kesuksesan dan memulihkan kepercayaan pada nilai-nilai asasi abad silam, tetapi berupaya menghidupkan nilai-nilai tersebut sebab juga masih diperlukan dalam abad modern. Perenialisme berpendapat bahwa untuk mengatasi gangguan kebudayaan, diperlukan usaha untuk menemukan dan mengamankan lingkungan sosiokultural, intelektual dan moral, dan inilah yang menjadi tugas filsafat dan filsafat pendidikan. Adapun jalan yang ditempuh adalah dengan cara regresif yakni kembali kepada prinsip umum yang ideal yang dijadikan dasar tingkat pada zaman kuno dan abad pertengahan. Prinsip umum yang ideal itu berhubungan dengan nilai ilmu pengetahuan, realita dan moral yang mempunyai peranan penting dan pemegang kunci bagi keberhasilan pembangunan kebudayaan pada abad ini. Prinsip yang bersifat eksiomatis ini tidak terikat Waktu dan tetap berlaku dalam perjalanan sejarah. Kurikulum yang mengambil konsep dasar perenialisme bersifat ideologis.
2.Esensialisme
Filsafat pendidikan esensialisme berakar pada alirat filsafat idealisme dan realisme. Seperti perenialis, banyak ahli esensial yang menekankan pada penguasaan keterampilan, fakta, dan konsep yang menjadi dasar pokok bahasan. Hyman Rickover menulis, "untuk semua anak, proses pendidikan harus menjadi salah satu pengumpulan pengetahuan faktual sampai batas kemampuan absortif mereka. Kurikulum yang menganggap kepentingan siswa sebagai masalah sosial dianggap boros, sama seperti metode pengajaran yang bergantung pada teori psikologis”. 
Kurikulum sekolah bagi essensialisme merupakan miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan. Maka dalam sejarah perkembanganya, kurikulum esensialisme menerapkan berbagai pola kurikulum, seperti pola idealisme, realisme dan sebagainya. Sehingga peranan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan bisa berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip dan kenyataan sosial yang ada di masyarakat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu mengerakkan kehendak manusia.
Sementara tujuan pendidikan adalah menyampaikan warisan budaya dan sejarah melalui suatu inti pengetahuan yang terhimpun dan telah bertahan sepanjang waktu. Dengan demikian berharga untuk diketahui oleh semua orang. Pengetahuan ini diikuti oleh keterampilan. Keterampilan-keterampilan, sikap-sikap, dan nilai-nilai yang tepat, membentuk unsur-unsur yang inti (esensial) dari sebuah pendidikan. Pendidikan bertujuan untuk mencapai standar akademik yang tinggi, pengembangan intelek atau kecerdasan.
Peran guru esensialis mengikuti filosofis perenialis, yakni guru dianggap sebagai role model yang bertanggung jawab penuh untuk kelas. Guru dihormati sebagai otoritas, menunjukkan standar yang tinggi dan mengharapkan hal yang sama dari siswa. Esensialisme tercermin dalam tuntutan masyarakat saat ini untuk meningkatkan standar akademik. Jadi kurikulum esensialisme menekankan pada aspek akademik. Implementasi esensialisme dalam kurikulum menekankan pada aspek kognitif dibandingkan aspek afektif. Jadi siswa banyak mendapatkan materi pelajaran saja, sedangkan untuk penerapan materi dalam kehidupan sehari-hari siswa tidak dianggap penting.
3.Progresivisme
Progresivisme berkembang dari aliran filsafat pragmatis, sebagai reaksi balik terhadap pemikiran perenialis dalam pendidikan. Gerakan progresif dalam pendidikan adalah bagian dari gerakan reformasi sosial dan politik yang lebih besar, yang menandai masyarakat AS sekitar tahun 1990. Pendidikan progresif dapat ditelusuri kembali ke penulisan reformasi tentang Thomas Jefferson dan Benjamin pada abad ke-18. Horrace Mann and Henry Barnard pada abad ke-19, serta John Dewey di awal abad ke-20. 
Dalam tulisannya, Dewey mengklaim bahwa demokrasi dan pendidikan bergandengan tangan. Dia memandang sekolah itu sebagai masyarakat demokratis di mana siswa mempelajari keterampilan yang diperlukan untuk kehidupan demokratis. Menurut pemikiran progresif, pendidikan ini mencakup pemecahan masalah dan metode ilmiah. Sekolah harus memelihara kerjasama, disiplin diri dan mentransmisikan budaya masyarakat. Karena kenyataan terus berubah, 
Bentuk pragmatisme yang diterapkan oleh Dewey di dunia pendidikan dinamakannya instrumentalisme. Instrumentalisme mempekerjakan siswa untuk menyelidiki, memahami dan berdasarkan pengalamannya sendiri untuk memprediksikan kemungkinan-kemungkinan di masa depan. Dalam proses pemikiran, instrumentalisme berkembang menjadi aliran pendidikan progresivisme. Menurut Muis (2004) dalam Yunus (2016), Progresivisme disebut instrumentalisme, eksperimental, atau environmentalisme. 
Disebut instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa potensi atau kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan, dan untuk mengembangkan kepribadian. Dinamakan eksperimental atau empirik karena aliran tersebut menyadari dan mempraktekkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori. (Barnabid, 1988 dalam Yunus, 2016). Konsep kunci dalam filsafat Dewey adalah pengalaman. Bagi Dewey, pengalaman sebagai sesuatu yang bersifat personal dan dinamis adalah satu kesatuan yang mengultimatumkan suatu interelasi. Di dalam pengalaman itu keduanya bukan dipisahkan, tetapi dipersatukan. Jikalau terdapat pemisahan di antara subyek dan obyek hal itu bukan pengalaman, melainkan pemikiran kembali atas pengalaman tadi. Pemikiran itulah yang menyusun sasaran pengetahuan. (Hadiwijono, 1988)
Progresivisme menekankan bagaimana cara berpikir. Bukan apa yang harus dipikirkan. Implementasi progresivisme di antaranya melalui pembelajaran siswa mampu mengatasi permasalahan dan menemukan solusi untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari
4.Rekonstruksionisme
Filsafat rekonstruksionis didasarkan pada gagasan sosialis dan utopis pada akhir abad 19 dan awal abad ke-20. Gerakan pendidikan progresif berada pada puncak popularitasnya saat itu, namun sekelompok kecil pendidik progresif merasa kecewa dengan masyarakat AS dan tidak sabar untuk melakukan reformasi. Anggota kelompok ini berpendapat bahwa progresivisme terlalu menekankan pendidikan berpusat pada anak dan terutama melayani kelas menengah dan atas dengan teori bermain dan sekolah swasta. Mereka menganjurkan penekanan lebih besar pada pendidikan yang berpusat pada masyarakat yang ditujukan untuk kebutuhan semua kelas sosial.
Rekonstruksi filosofis dapat saja dilakukan dengan memelihara kesinambungan pandangan filsafat-filsafat yang sudah ada; mengambil dan menggabungkan unsur-unsur terbaik dari setiap filsafat; dan merekonstruksi kembali menjadi sebuah filsafat-sintesis. Yang terpenting adalah bahwa nilai-nilai dan tujuan-tujuan dari setiap filsafat yang akan disentesiskan dipandang kontributif terhadap nilai-nilai dan tujuan-tujuan dalam suatu masyarakat dan budaya demokrasi, sebuah democratic world civilization yang dicirikan oleh situasi sosial, politik, dan kultural yang tidak ada lagi pemilahan antarkelom-pok minoritas, superioritas, atau kelompok kepentingan tertentu (Brameld, 1965:37-38 dalam Mohammad Imam Farisi, 2013). Dengan kata lain, bahwa rekonstruksionisme sebagai sebuah filsafat-sintesis tidak lain sebagai filsafat yang berupaya memadukan nilai-nilai atau tujuan-tujuan yang terbaik dari filsafat-filsafat sebelumnya atau sebuah filsafat …built upon the rich thinking and experience of others philosophies of life and education borrows much from other philosophies, and makes no pretense to the contrary (Brameld, 1965:33 dalam Mohammad Imam Farisi, 2013).
Dalam pandangan filsafat ini, setiap individu siswa diharapkan mampu untuk mengembangkan pengetahuan, teori, dan pandangan mereka melalui proses pembelajaran sehingga nantinya akan dapat menemukan ilmu pengetahuan baru. Pengetahuan baru yang dimaksud ialah melalui bacaan yang diberikan, siswa mampu menemukan informasi baru. Implementasi rekonstruksionisme yaitu siswa mempelajari tentang fakta-fakta yang ada disekitar mereka melalui berbagai media pembelajaran, kemudian tanpa dijelaskan terlebih dahulu oleh guru, siswa dapat menemukan informasi dan memberikan definisi. Contohnya siswa mengamati kegiatan jual beli, setelah proses mengamati tersebut kemudian siswa dapat mendefinisikan penjualan, pembelian, dsb.

Referensi:
Al Faris, Fitri. (2015). Kurikulum 2013 dalam Prespektif filsafat Pendidikan Progressivisme. Jurnal Filsafat, Vol. 25, No. 2, Agustus 2015.
E. Wayne Ross, Sandra Mathison, Kevin D. Vinson. (2013). “Social studies education and standards-based education reform in north america: curriculum standardization, high-stakes testing, and resistance”. Revista Latinoamericana de Estudios Educativos. No. 1, Vol. 10, pp. 19-48. Manizales: Universidad de Caldas.
Emin KILINÇ. (2014). Pre-Service Social Studies Teachers’ Understandings about the Nature of the Social  Studies. International Electronic Journal of Elementary Education, 2014, 6(3), 415-426.  Dumlupınar University, Turkey.
Hadiwijono, Harun. (1980).  Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius.
Knight, George R. Terj. Mahmud Arief. (2007). Filsafat Pendidikan.Yogyakarta: Gama Media.
Mahyiddin. (2018). Paradigma Baru Pendidikan Salafi: Negosiasi Perenialisme, Pragmatisme, dan Progresifisme pada SDIT di Langsa, Aceh. Millah: Jurnal studi Agama ,Vol. 17, no. 2 pp. 197-220.
Marjorie Rhodesa. (2012). Cultural transmission of social essentialism, 13526–13531 | Joernal PNAS | August 21, 2012 | vol. 109 | no. 34
Mehmet Acikalin. (2014). Future Of Social Studies Education in Turkey. Journal of International Social Studies, Vol. 4, No. 1, 2014, 93-102.  Corresponding author email: mehmet.acikalin@gmail ©2012/2015 International Assembly Journal of International Social Studies  Website: http://www.iajiss.org  ISSN: 2327-3585.   
Mohammad Imam Farisi. (2013). Kurikulum Rekonstruksionis Dan Implikasinya Terhadap Ilmu Pengetahuan Sosial: Analisis Dokumen Kurikulum 2013. Paedagogia Jurnal Penelitian Pendidikan, Jilid 16, Nomor 2, Agustus 2013, halaman 144 – 165.
Rahmatullah, Muhammad. (2015). Pendidikan Kepesantrenan Dalam Perspektif Progresivisme John Dewey. Didaktika Religia Volume 3, No. 2 Tahun 2015.
Jasmine B.-Y. Sim. Citizenship Education and Social Studies in Singapore: A National Agenda. International Journal of Citizenship and Teacher Education Vol 1, No. 1, July 2015.
Bülent Tarman ve İsmail Acun, Social Studies Education and a New Social Studies Movement 2011: 1(1), 1-16
Michael A. Kopish, Preparing Globally Competent Teacher Candidates Through Cross-Cultural Experiential Learning 2016: 7(2), 75-108

Post a Comment

avatar
Admin Purwarupalingua Online
Welcome to Purwarupalingua theme
Chat with WhatsApp