Sunday, March 21, 2021

REVIEW JURNAL : A Time of Normalcy Javanese ‘Coolies’ Remember the Colonial Estate

  Oleh:
Lianda Dewi Sartika
Universitas Mahasaraswati Denpasar

I.               Identitas Jurnal

Judul

A Time of Normalcy

Javanese ‘Coolies’ Remember the Colonial Estate

 

Waktu yang Normal

‘Kuli’ Jawa Ingat Perkebunan Kolonial

Penulis

Nicole Lamb

Independent scholar, Brisbane

Lembaga Penerbit Jurnal

Published by: Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia & Oceania

https://brill.com/view/journals/bki/170/4/article-p530_5.xml

Volume/Issue: Volume 170: Issue 4, p530-556. 27p.

DOI:  https://doi.org/10.1163/22134379-17004001

Online Publication Date: 01 Jan 2014

 

II. Deskripsi Jurnal
A. Abstrak
Artikel ini mengeksplorasi potret indah perkebunan kolonial yang digambarkan dalam kisah kehidupan mantan pekerja perkebunan Jawa. Ingatan mantan pekerja tidak mencerminkan narasi kehidupan perkebunan yang ada dan bekerja di perkebunan kolonial Sumatra, tetapi memberikan perspektif yang berbeda tentang perkebunan kolonial. Kenangan kehidupan perkebunan pada akhir periode kolonial yang dicatat di sini memberikan celah untuk untuk mengeksplorasi bagaimana dan mengapa para narator tua ini melibatkan masa lalu kolonial.
B. Tujuan Utama Penelitian
Tujuan dari artikel ini adalah meneliti dengan seksama ingatan mantan 'kuli Jawa' yang bekerja di perkebunan teh Kayu Aro pada awal abad kedua puluh dan akan mengeksplorasi bagaimana mantan pekerja mengingat warisan kolonial dalam narasi kehidupan mereka yang lebih besar dan apa yang mungkin disampaikan oleh ingatan ini kepada kita.
C. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-komparatif dengan pendekatan kualitatif. Komparatif adalah penelitian yang membandingkan keberadaan satu variabel atau lebih pada dua atau lebih sampel yang berbeda, atau pada waktu yang berbeda.
D. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
1. Wawancara
Penulis menggunakan teknik pengumpulan dan analisis data melalui wawancara sejarah lisan dengan 13 orang mantan para pekerja yang masih tinggal di perkebunan tersebut. Perkebunan ini tepatnya terletak di Lembah Kerinci (kaki Gunung Kerinci) yang dibuka pada tahun 1926 dengan nama Perkebunan Kayu Aro dan memiliki luas lebih dari 3.000 hektar lahan.
2. Studi Pustaka
Penulis menggunakan teknik pengumpulan dan analisis data melalui analisis komparatif dengan menganalisis penelitian-penelitian mengenai kehidupan para kuli atau buruh pekerja pada awal abad 20 seperti tulisan milik Jan Breman (1989), Linblad (1999), Adrian Goedhart (1999).
E. Temuan Hasil Penelitian
1. Kuli Kontrak
Selama ini istilah ‘kuli’ selalu menggambarkan kehidupan buruh pekerja yang suram seperti hal nya seperti yang digambarkan pada kehidupan para buruh perkebunan di Pantai Timur Sumatera abad ke 20. Namun berbeda dengan perkebunan the Kayu Aro, perkebunan tersebut dibangun diatas tanah yang subur dan kehidupan buruh disana dapat dikatakan damai dan sejahtera. Hal ini disebabkan perkebunan teh Kayu Aro merupakan perkebunan yang terbaik didunia saat itu sehingga untuk mempertahankannya maka harus dipersiapkan banyak tenaga kerja. Faktor inilah yang menyebabkan upah buruh 30% lebih tinggi dibandingkan dengan upah buruh diperkebunan yang lain.
2. Zaman Normal
Awal abad ke 20 ini merupakan periode ini dikenang sebagai masa yang unik karena para narrator yang diwawancarai menjelaskan bahwa pada periode ini mereka tidak pernah khawatir mengenai apapun. Bagi mereka sebagai pekerja perkebunan, mereka menjadi 'tanggung jawab’ Belanda. Semuanya normal dan mereka bahkan tidak merasa terganggu, karena makanan diurus, pakaian diurus, sehingga tidak ada masalah. Nah sebagai imbalannya, para pekerja diharapkan menyediakan tenaga kerja yang andal.
3. Hubungan Orang Belanda dengan Para Kuli Perkebunan
Pada masa ini di perkebunan teh Kayu Aro, para pekerja menjalani hubungan dan kehidupan yang baik dengan orang-orang Belanda. Tidak seperti yang selama ini digambarkan bahwa orang-orang Belanda itu kejam, justru para pekerja disana memiliki kedekatan emosional dengan orang Belanda dan mengatakan bahwa mereka memiliki karakter yang baik.
4. Konfigurasi Ulang Perspektif Sejarah
Pandangan sentimen terhadap Belanda mempegaruhi pola pikir masyarakat yang terpengaruh oleh narasi Nasional dalam menanggapi seputar masalah-masalah yang berhubungan dengan Kolonalisme Belanda. Wawancara sejarah lisan di Kayu Aro mengungkapkan bahwa narasi nasional tidak menyediakan struktur bagi kisah-kisah narator lanjut usia di masa lalu. Lebih sering, narasi kehidupan dibentuk oleh peristiwa pribadi dan lokal.
5. Kenangan Warisan Kolonial
Kenangan tentang warisan kolonial tidak boleh dianalisis secara terpisah. Ingatan mantan pekerja tentang kehidupan mereka sebelum mereka menjadi 'kuli kontrak' memungkinkan ingatan kehidupan perkebunan dianalisis sebagai bagian dari sejarah hidup individu yang lebih besar. Pengalaman hidup para pekerja di Jawa mewarnai persepsi mereka tentang apa yang mereka temukan saat tiba di Kayu Aro. Kisah hidup para pekerja kontrak yang dicatat di Kayu Aro menunjukkan bahwa alasan orang Jawa menandatangani kontrak yang pada akhirnya melihat bahwa perkebunan diluar Jawa akan mendatangkan kehidupan yang lebih stabil.
6. Kemiskinan sebagai Motivator yang Kuat
Orang-orang Jawa yang bertransmigrasi keluar Jawa sebagai buruh merupakan orang-orang yang memiliki taraf ekonomi rendah. Mereka dikontrak selama tiga tahun misalnya. Setelah tiga tahun, mereka seharusnya kembali ke Jawa, tetapi tidak ada uang, jadi mereka memasuki kontrak lain, dan kemudian menandatangani kontrak lain, dan seterusnya berjalan seperti itu. Disisi lain jika mereka kembali ke Jawa maka dikhawatirkan mereka tidak akan memiliki pekerjaan dan penghasilan yang cukup.
7. Kepedulian Belanda terhadap Para Pekerja
Mantan pekerja perkebunan di Kayu Aro mengingat perawatan medis gratis yang disediakan di perkebunan sebagai manfaat penting dari bekerja untuk Belanda. Pekerja Jawa ingat bahwa pada periode ini mereka dan tanggungan mereka diharuskan untuk menjalani pemeriksaan medis secara teratur. Tentu saja, demi kepentingan terbaik manajemen perkebunan Belanda, mereka mempertahankan populasi pekerja yang sehat.
F. Kesimpulan
Narasi mantan pekerja perkebunan harus dibaca sebagai cerita yang berbicara hingga saat ini. Bagi sebagian besar narator, periode Belanda adalah era cukupan. Tetapi bagi para pekerja yang menderita kesulitan di usia tua mereka, zaman Belanda dikenang sebagai sangat makmur (makmur). Meeka mengingat periode Belanda sebagai masa 'kelebihan', masa 'kemakmuran' (makmur). Yang paling penting, itu adalah saat ketika kebutuhannya dijamin. Narasi masa lalu kolonial di Kayu Aro semakin diwarnai oleh ingatan akan perampasan dan penderitaan yang dialami oleh pekerja perkebunan selama pendudukan Jepang. Memang, fungsi  jaman normal dalam mengingat mantan pekerja adalah bahwa hal itu melambangkan waktu keamanan yang langka dalam kehidupan yang sulit dan tidak pasti. Kisah-kisah kehidupan yang dicatat di Kayu Aro menunjukkan bahwa keamanan dan stabilitas dikenang sebagai ciri terpenting kehidupan perkebunan bagi pekerja kontrak pada awal abad ke-20.
Secara khusus, narasi kehidupan menggambarkan kondisi miskin di Jawa dari mana pekerja berasal. Separah kondisi kehidupan seorang pekerja kontrak di perkebunan Sumatra mungkin, tampaknya kehidupan bahkan lebih suram bagi orang-orang termiskin di antara populasi Jawa. Dihadapkan dengan pengangguran dan kelaparan, kehidupan di Kayu Aro, tempat makanan, pakaian, dan perumahan seseorang dijamin oleh Belanda, tampak baik jika dibandingkan. Sejarah lisan memberi kita wawasan penting tentang bagaimana mantan pekerja kontrak mengingat dan membayangkan fitur-fitur kunci dari warisan kolonial. Kenangan mantan pekerja perkebunan mengungkapkan perspektif baru yang penting tentang perspektif jaman Londo - 'kuli' kontrak satu kali.
G. Catatan/Komentar Reviewer
Penelitian ini memiliki kontribusi yang besar dalam membuka pikiran masyarakat dan membangun kesadaran sejarah berdasarkan berbagai perspektif dan aspek kehidupan. Selain itu penelitian ini memiliki manfaat yang dapat menggugah para sejarawan agar mengulas peristiwa sejarah berdasarkan pengalaman masa lalu dari kalangan masyarakat yang menjadi saksi sejarah. Sehingga penelitian yang dilakukan akan dapat memperkaya penulisan sejarah lokal serta dapat memperluas cakupan penulisan sejarah yang tidak terpaku pada penulisan mengenai sejarah plitik saja.
Penjelasan yang disajikan banyak memberikan pandangan baru bahwa kolonialisme Belanda tidak selalu berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat, namun justru dianggap sebagai masa kemakmuran dimana kehidupan para pekerja baik dalam aspek keamanan maupun kesehatan senantiasa diprioritaskan oleh Belanda. Sehingga masa ini disebut sebagai zaman normal karena para pekerja tidak memiliki masalah apapun atau mengkhawatirkan apapun, sebab semuanya sudah dijamin oleh Belanda.
Secara keseluruhan sajian dalam tulisan ini sudah dapat menggambarkan perbandingan kehidupan para pekerja perkebunan pada masa kolonialisme Belanda, Masa Pendudukan Jepang, serta nasib para pekerja usai Indonesia merdeka hingga akhir masa Orde Baru.
H. Rekomendasi Reviewer
Mengingat manfaat yang besar dari studi komparatif semacam ini maka kedepannya diperlukan lebih banyak penelitian serupa untuk dapat mengeksplor lebih dalam tentang peristiwa-peristiwa masa lampau kedalam berbagai macam perspektif sehingga nantinya dapat digunakan sebagai pembelajaran dimasa sekarang dan guna mempersiapkan masa depan yang lebih baik lagi.
I. Literatur/Referensi:
Sumber yang tidak diterbitkan:
International Institute of Social History, Amsterdam, Archief W.A. van Goudoever.
Sumber yang diterbitkan:
Abdullah, Taufik (2009). Indonesia: Towards democracy. Singapore: Institute of South- east Asian Studies.
Amrith, Sunil S. (2011). Migration and diaspora in modern Asia. Cambridge, ny: Cam- bridge University Press.
Beaulieu-Boon, Hendrika H. (2009). So far away from home: Engaging the silenced colonial; The Netherlands-Indies diaspora in North America. Doctoral thesis, Leiden University.
Bissell, W.C. (2005). ‘Engaging colonial nostalgia’, Cultural Anthropology 20–2:215–48. Brand, W. (1979). hva 1879–1979: Its history, development and future. Amsterdam: hva
Group of Companies.
Breman, Jan (1989). Taming the coolie beast: Plantation society and the colonial order in Southeast Asia. Delhi: Oxford University Press.
Breman, Jan and E. Valentine Daniel (1992). ‘Conclusion: The making of a coolie’, The Journal of Peasant Studies 19:268–95.
Dick, Howard W. (2003). Surabaya, city of work: A socioeconomic history, 1900–2000.
Singapore: Singapore University Press.
Goedhart, Adriaan (1999). Eerherstel voor de plantage: Uit de geschiedenis van de Han- delsvereeniging ‘Amsterdam’ (hva), 1879–1983. Amsterdam: Albini.
Gouda, Frances (2008). Dutch culture overseas: Colonial practice in the Netherlands Indies, 1900–1942. Singapore: Equinox.
Hasan, Mushirul (1987). India and Indonesia from the 1830s to 1914: The heyday of colonial rule. Leiden: Brill.
Houben, Vincent J.H. and J. Thomas Lindblad. (1999). Coolie labour in colonial Indone- sia: A study of labour relations in the Outer Islands, c. 1900–1940. Wiesbaden: Harras- sowitz Verlag.
Hutcheon, Linda. (2000). ‘Irony, nostalgia, and the postmodern’, in: Raymond Vervliet and Annemarie Estor (eds), Literature as cultural memory, pp. 189–208. Amsterdam: Rodopi.
Jonge, Huub de and Frans Hüsken (2002). Violence and vengeance: Discontent and conflict in New Order Indonesia. Saarbrücken: Verlag fur Entwicklungspolitik Saar- brücken.
Knight, G. Roger (1999). ‘Coolie or worker? Crossing the lines in colonial Java, 1780–1942’,
Itinerario 23–1:62–77.
Klaveren, Marieke van (1997). ‘Death among coolies: Mortality of Chinese and Javanese labourers on Sumatra in the early years of recruitment, 1882–1909’, Itinerario 21–1:111– 24.
Kusno, Abidin (2010). The appearances of memory: Mnemonic practices of architecture and urban form in Indonesia. Durham, nc: Duke University Press.
Lindblad, J. Thomas (1999). ‘New destinations: Conditions of coolie labour outside East Sumatra, 1910–1938’, in: Vincent J.H. Houben and J. Thomas Lindblad (eds), Coolie labour in colonial Indonesia: A study of labour relations in the Outer Islands, c. 1900–1940, pp. 79–108. Wiesbaden: Harrassowitz Verlag.
Lulofs, Madelon (1982). Coolie. Kuala Lumpur: Oxford University Press. [Dutch original published in 1932 as Koelie.]
McVey, Ruth Thomas (1996). ‘Building behemoth: Indonesian constructions of the nation-state’, in: Lev, Daniel S. and Ruth Thomas McVey (eds.) Making Indonesia: Essays on modern Indonesia in honor of George McT. Kahin, pp. 11–25. Ithaca, ny: Cornell University.
Mrázek, Rudolf (2010). A certain age: Colonial Jakarta through the memories of its intel- lectuals. Durham, nc: Duke University Press.
O’Malley, William J. (1989). ‘Variations on a theme: Socio-economic developments in four Central Javanese regencies, 1900–1940’, in: R.J. May and William J. O’Mal- ley (eds), Observing change in Asia: Essays in honour of J.A.C. Mackie, pp. 127–39. Bathurst, nsw: Crawford House Press.
Passerini, Luisa (1983). ‘Memory’, History Workshop 15:195–6.                                      Penny, D.H. and M. Singarimbun (1973). Population and poverty in rural Java: Some eco-
nomic arithmetic from Sriharjo. Ithaca, ny: Department of Agricultural Economics, New York State College of Agriculture and Life Sciences, Cornell University.
Portelli, Alessandro (1981). ‘The peculiarities of oral history’, History Workshop 12:96– 107.
Portelli, Alessandro (2003). ‘What makes oral history different’, in: Robert Perks and Alistair Thomson (eds), The oral history reader, pp. 63–74. Taylor & Francis e-Library. Stoler, Ann Laura (1985). Capitalism and confrontation in Sumatra’s plantation belt,
1870–1979. New Haven: Yale University Press.
Stoler, Ann Laura and Karen Strassler (2010). ‘Memory work in Java: A cautionary tale’, in: Ann Laura Stoler, Carnal knowledge and imperial power: Race and the intimate in colonial rule, pp. 162–203. Berkeley, ca: University of California Press.
Termorshuizen, Thio (2008). ‘Indentured labour in the Dutch colonial empire 1800– 1940’, in: Gert Oostindie (ed.), Dutch colonialism, migration and cultural heritage, pp. 261–314. Leiden: kitlv Press.
Zentgraaff,  H.C.  and  W.A.  van  Goudoever  (1947).  Sumatraantjes.  Fifth  edition. ’s-Gravenhage: Van Hoeve.
 

 

Post a Comment

avatar
Admin Purwarupalingua Online
Welcome to Purwarupalingua theme
Chat with WhatsApp