LANDASAN FILOSOFIS IPS, KONSEP IPS, DAN ANALISIS STUDI SOSIAL DALAM TIGA TRADISI
Oleh:
Lianda
Universitas Mahasaraswati Denpasar
Pendahuluan
Dalam dunia pendidikan, landasan filosofis pendidikan dinilai perlu menjadi perhatian dan dikuasai oleh para pendidik, sebabnya yaitu: Pertama, pendidikan bersifat normatif, maka dalam pembahasan teori dan praktik pendidikan dibutuhkan asumsi yang bersifat normatif juga. Asumsi-asumsi dalam bidang pendidikan yang bersifat normatif itu sedikit banyak bersumber dari filsafat. Landasan filosofis pendidikan yang bersifat preskriptif dan normatif akan memberikan petunjuk tentang apa yang seharusnya di dalam pendidikan dan atau apa yang dicita-citakan dalam pendidikan. Kedua, bahwa pendidikan tidak cukup dipahami hanya melalui pendekatan ilmiah yang bersifat parsial dan deskriptif saja, melainkan perlu juga dipandang secara holistik. Kajian pendidikan secara holistik ini dapat dimunculkan melalui pendekatan filosofis.
Landasan filosofis pendidikan merupakan seperangkat asumsi yang bersumber dari filsafat yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan. Seperangkat asumsi ini dideduksi atau dijabarkan dari sistem gagasan filsafat secara umum dengan cakupan Metafisika, Epistemologi, Aksiologi yang dirumuskan oleh suatu aliran filsafat tertentu. Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa terdapat hubungan implikatif antara kepercayaan-kepercayaan/gagasangagasan dalam kajian filsafat (metafisika, epistemologi, dan aksiologi) terhadap gagasan-gagasan teori dan praktik pendidikan.
IPS sebagai cakupan dari studi sosial memiliki konsep dasar untuk mengembangkan nilai-nilai sikap, pengetahuan dan pemahaman, serta keterampilan dan proses yang diperlukan bagi siswa untuk menjadi warga negara yang aktif dan bertanggung jawab, terlibat dalam proses demokrasi dan menyadari kapasitas mereka untuk melakukan perubahan di komunitas, masyarakat, dan dunia mereka.
Hubungan dinamis antara kewarganegaraan dan identitas membentuk dasar untuk keterampilan dan hasil pembelajaran dalam program studi. Perasaan menjadi warga negara, menikmati hak-hak individu dan kolektif serta status yang adil dalam masyarakat kontemporer, memengaruhi rasa identitas individu. Individu perlu merasa bahwa identitas mereka dipandang sah sebelum mereka dapat berkontribusi untuk kebaikan publik dan merasakan rasa memiliki serta pemberdayaan sebagai warga negara.
Studi sosial memberikan kesempatan belajar bagi siswa untuk: memahami kompleksitas; pembentukan identitas; memahami bagaimana identitas dan harga diri dibentuk oleh berbagai faktor pribadi, sosial, bahasa dan budaya; menunjukkan sensitivitas terhadap aspek pribadi dan emosional dari identitas; mendemonstrasikan keterampilan yang diperlukan untuk mempertahankan individualitas dalam suatu kelompok; memahami bahwa dengan pemberdayaan datanglah tanggung jawab pribadi dan kolektif untuk kebaikan public (Social Studies Kinderarten to Grade 12; 2015).
Pembahasan
A.Filosofis Pendidikan IPS
1.Perenialisme
Perenialisme merupakan filsafat pendidikan tertua dan paling konservatif yang berakar pada aliran filsafat realisme. Perenialisme menekankan nilai-nilai tradisional dan mengutamakan pengetahuan yang tidak terikat dalam konsep ruang dan waktu. Robert Hutchins dalam bukunya yang berjudul Great Books of the Western World, menjelaskan cakupan dasar pemikiran Barat yang isinya adalah mengajak untuk mempelajari ide-ide besar di masa lalu seperti karya Aristoteles, Plato, dsb. Dengan demikian maka kita dapat dengan lebih baik dalam menghadapi masa kini dan mempersiapkan masa depan. Tujuan itu adalah untuk meningkatkan kualitas manusia.
Aliran filsafat perenialisme menegaskan bahwa pendidikan diarahkan pada upaya pengembangan kemampuan intelektual anak didik melalui pemberian pengetahuan yang bersifat abadi, universal, dan absolut (Joe Park, 1974 dalam Saidah A.H, 2015). Perenialisme melihat bahwa akibat dari kehidupan zaman modern telah menimbulkan banyak krisis di berbagai bidang kehidupan umat manusia. Untuk mengatasi krisis ini, Perenialisme memberikan jalan keluar berupa kembali kepada kebudayaan yang lampau "ressive Road to Culcure". Oleh sebab itu, perenialisme memandang penting peranan pendidikan dalam proses mengembalikan keadaan manusia zaman modern ini kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan yang telah teruji ketagguhanya.
Sikap kembali kepada masa lampau bukanlah berarti nostalgia, sikap yang membanggakan kesuksesan dan memulihkan kepercayaan pada nilai-nilai asasi abad silam, tetapi berupaya menghidupkan nilai-nilai tersebut sebab juga masih diperlukan dalam abad modern. Perenialisme berpendapat bahwa untuk mengatasi gangguan kebudayaan, diperlukan usaha untuk menemukan dan mengamankan lingkungan sosiokultural, intelektual dan moral, dan inilah yang menjadi tugas filsafat dan filsafat pendidikan. Adapun jalan yang ditempuh adalah dengan cara regresif yakni kembali kepada prinsip umum yang ideal yang dijadikan dasar tingkat pada zaman kuno dan abad pertengahan. Prinsip umum yang ideal itu berhubungan dengan nilai ilmu pengetahuan, realita dan moral yang mempunyai peranan penting dan pemegang kunci bagi keberhasilan pembangunan kebudayaan pada abad ini. Prinsip yang bersifat eksiomatis ini tidak terikat Waktu dan tetap berlaku dalam perjalanan sejarah.
Kurikulum yang mengambil konsep dasar perenialisme bersifat ideologis, sehingga kurikulum pendidikan IPS yang diterapkan menuntut siswa untuk memiliki hal-hal yang mencakup pengetahuan, sikap, serta keterampilan sebagai warga negara dan berfokus pada Transfer of Culture (transfer budaya), dimana implementasi pendidikan bertujuan untuk membangun dan mengembangkan jati diri bangsa dalam diri siswa demi tercapainya integrasi bangsa.
2. Esensialisme
Filsafat pendidikan esensialisme berakar pada alirat filsafat idealisme dan realisme. Seperti perenialis, banyak ahli esensial yang menekankan pada penguasaan keterampilan, fakta, dan konsep yang menjadi dasar pokok bahasan. Hyman Rickover menulis, "untuk semua anak, proses pendidikan harus menjadi salah satu pengumpulan pengetahuan faktual sampai batas kemampuan absortif mereka. Kurikulum yang menganggap kepentingan siswa sebagai masalah sosial dianggap boros, sama seperti metode pengajaran yang bergantung pada teori psikologis”.
Kurikulum sekolah bagi essensialisme merupakan miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan. Maka dalam sejarah perkembanganya, kurikulum esensialisme menerapkan berbagai pola kurikulum, seperti pola idealisme, realisme dan sebagainya. Sehingga peranan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan bisa berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip dan kenyataan sosial yang ada di masyarakat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu mengerakkan kehendak manusia.
Sementara tujuan pendidikan adalah menyampaikan warisan budaya dan sejarah melalui suatu inti pengetahuan yang terhimpun dan telah bertahan sepanjang waktu. Dengan demikian berharga untuk diketahui oleh semua orang. Pengetahuan ini diikuti oleh keterampilan. Keterampilan-keterampilan, sikap-sikap, dan nilai-nilai yang tepat, membentuk unsur-unsur yang inti (esensial) dari sebuah pendidikan. Pendidikan bertujuan untuk mencapai standar akademik yang tinggi, pengembangan intelek atau kecerdasan.
Peran guru esensialis mengikuti filosofis perenialis, yakni guru dianggap sebagai role model yang bertanggung jawab penuh untuk kelas. Guru dihormati sebagai otoritas, menunjukkan standar yang tinggi dan mengharapkan hal yang sama dari siswa. Esensialisme tercermin dalam tuntutan masyarakat saat ini untuk meningkatkan standar akademik. Jadi kurikulum esensialisme menekankan pada aspek akademik. Implementasi esensialisme dalam kurikulum pendidikan IPS menekankan pada aspek kognitif dibandingkan aspek afektif. Jadi siswa banyak mendapatkan materi pelajaran saja, sedangkan untuk penerapan materi dalam kehidupan sehari-hari siswa tidak dianggap penting.
3.Progresivisme
Progresivisme berkembang dari aliran filsafat pragmatis, sebagai reaksi balik terhadap pemikiran perenialis dalam pendidikan. Gerakan progresif dalam pendidikan adalah bagian dari gerakan reformasi sosial dan politik yang lebih besar, yang menandai masyarakat AS sekitar tahun 1990. Pendidikan progresif dapat ditelusuri kembali ke penulisan reformasi tentang Thomas Jefferson dan Benjamin pada abad ke-18. Horrace Mann and Henry Barnard pada abad ke-19, serta John Dewey di awal abad ke-20.
Dalam tulisannya, Dewey mengklaim bahwa demokrasi dan pendidikan bergandengan tangan. Dia memandang sekolah itu sebagai masyarakat demokratis di mana siswa mempelajari keterampilan yang diperlukan untuk kehidupan demokratis. Menurut pemikiran progresif, pendidikan ini mencakup pemecahan masalah dan metode ilmiah. Sekolah harus memelihara kerjasama, disiplin diri dan mentransmisikan budaya masyarakat. Karena kenyataan terus berubah,
Bentuk pragmatisme yang diterapkan oleh Dewey di dunia pendidikan dinamakannya instrumentalisme. Instrumentalisme mempekerjakan siswa untuk menyelidiki, memahami dan berdasarkan pengalamannya sendiri untuk memprediksikan kemungkinan-kemungkinan di masa depan. Dalam proses pemikiran, instrumentalisme berkembang menjadi aliran pendidikan progresivisme. Menurut Muis (2004) dalam Yunus (2016), Progresivisme disebut instrumentalisme, eksperimental, atau environmentalisme.
Disebut instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa potensi atau kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan, dan untuk mengembangkan kepribadian. Dinamakan eksperimental atau empirik karena aliran tersebut menyadari dan mempraktekkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori. (Barnabid, 1988 dalam Yunus, 2016). Konsep kunci dalam filsafat Dewey adalah pengalaman. Bagi Dewey, pengalaman sebagai sesuatu yang bersifat personal dan dinamis adalah satu kesatuan yang mengultimatumkan suatu interelasi. Di dalam pengalaman itu keduanya bukan dipisahkan, tetapi dipersatukan. Jikalau terdapat pemisahan di antara subyek dan obyek hal itu bukan pengalaman, melainkan pemikiran kembali atas pengalaman tadi. Pemikiran itulah yang menyusun sasaran pengetahuan. (Hadiwijono, 1988)
Progresivisme menekankan bagaimana cara berpikir. Bukan apa yang harus dipikirkan. Implementasi progresivisme dalam pendidikan IPS diantaranya melalui pembelajaran IPS siswa mampu mengatasi permasalahan dan menemukan solusi untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari
4. Rekonstruksionisme
Filsafat rekonstruksionis didasarkan pada gagasan sosialis dan utopis pada akhir abad 19 dan awal abad ke-20. Gerakan pendidikan progresif berada pada puncak popularitasnya saat itu, namun sekelompok kecil pendidik progresif merasa kecewa dengan masyarakat AS dan tidak sabar untuk melakukan reformasi. Anggota kelompok ini berpendapat bahwa progresivisme terlalu menekankan pendidikan berpusat pada anak dan terutama melayani kelas menengah dan atas dengan teori bermain dan sekolah swasta. Mereka menganjurkan penekanan lebih besar pada pendidikan yang berpusat pada masyarakat yang ditujukan untuk kebutuhan semua kelas sosial.
Rekonstruksi filosofis dapat saja dilakukan dengan memelihara kesinambungan pandangan filsafat-filsafat yang sudah ada; mengambil dan menggabungkan unsur-unsur terbaik dari setiap filsafat; dan merekonstruksi kembali menjadi sebuah filsafat-sintesis. Yang terpenting adalah bahwa nilai-nilai dan tujuan-tujuan dari setiap filsafat yang akan disentesiskan dipandang kontributif terhadap nilai-nilai dan tujuan-tujuan dalam suatu masyarakat dan budaya demokrasi, sebuah democratic world civilization yang dicirikan oleh situasi sosial, politik, dan kultural yang tidak ada lagi pemilahan antarkelom-pok minoritas, superioritas, atau kelompok kepentingan tertentu (Brameld, 1965:37-38 dalam Mohammad Imam Farisi, 2013). Dengan kata lain, bahwa rekonstruksionisme sebagai sebuah filsafat-sintesis tidak lain sebagai filsafat yang berupaya memadukan nilai-nilai atau tujuan-tujuan yang terbaik dari filsafat-filsafat sebelumnya atau sebuah filsafat …built upon the rich thinking and experience of others philosophies of life and education borrows much from other philosophies, and makes no pretense to the contrary (Brameld, 1965:33 dalam Mohammad Imam Farisi, 2013).
Dalam pandangan filsafat ini, setiap individu siswa diharapkan mampu untuk mengembangkan pengetahuan, teori, dan pandangan mereka melalui proses pembelajaran sehingga nantinya akan dapat menemukan ilmu pengetahuan baru. Pengetahuan baru yang dimaksud ialah melalui bacaan yang diberikan, siswa mampu menemukan informasi baru. Implementasi rekonstruksionisme dalam pendidikan IPS yaitu siswa mempelajari tentang fakta-fakta yang ada disekitar mereka melalui berbagai media pembelajaran, kemudian tanpa dijelaskan terlebih dahulu oleh guru, siswa dapat menemukan informasi dan memberikan definisi. Contohnya siswa mengamati kegiatan jual beli, setelah proses mengamati tersebut kemudian siswa dapat mendefinisikan penjualan, pembelian, dsb.
B. Konsep Pendidikan IPS
1. Konsep Dasar IPS
Studi sosial adalah yang paling inklusif dari semua mata pelajaran sekolah. Stanley dan Nelson, misalnya, mendefinisikan pengajaran studi sosial sebagai "studi tentang semua perusahaan manusia dalam ruang dan waktu" (1994: 266 dalam E. Wayne Ross, Sandra Mathison, Kevin D. Vinson, 2013). Menentukan apa yang termasuk dalam kurikulum studi sosial membutuhkan menjawab pertanyaan kunci tentang pengetahuan sosial, keterampilan dan nilai, termasuk cara terbaik untuk mengaturnya sesuai dengan topik tertentu (sejarah, geografi, antropologi, dll.). ) dan subjektivitas unik dari guru dan siswa mereka. Dengan ini, tidak mengherankan bahwa studi sosial telah muncul melawan pertempuran intelektual atas tujuan, isi dan pedagogi sejak permulaannya sebagai subjek sekolah pada awal abad kedua puluh.
Akar kurikulum studi sosial di Amerika Utara dapat ditemukan dalam laporan 1916 Komite Ilmu Sosial Komisi Pendidikan Nasional (NEC) tentang Reorganisasi Sekolah Menengah. Laporan akhir dari komite, Studi Sosial dalam Pendidikan Sekunder, menggambarkan pengaruh mantan N.E.A. dan komite American Historical Association tentang sejarah di sekolah, tetapi yang lebih penting, telah berfokus pada pengembangan nilai-nilai "baik" kewarganegaraan di kalangan siswa.
2. Karakteritik IPS
Studi sosial adalah kursus pendidikan umum yang membantu seorang individu untuk hidup dalam masyarakat dan berinteraksi dalam lingkungan. ”Karakter interdisipliner dari pendidikan ilmu sosial ini ditetapkan dalam kurikulum sebagai hasil pemodelan pedoman (NCSS, 1994 dalam Mehmet Acikalin, 2014) di Amerika Serikat).
Jelas bahwa pendidikan IPS, tematik dan keterampilan berbasis sosial tidak bekerja dengan baik dengan sistem pengujian standar. Studi ini menunjukkan bahwa tes ini kebanyakan mengukur pengetahuan konten dasar pada tingkat pemahaman yang tidak memerlukan pemikiran tingkat tinggi (Aydoğan, 2008; DeWitt et al., 2013; Ümre, 2010 dalam Mehmet Acikalin, 2014). Sebaliknya, pendidikan ilmu sosial kontemporer bertujuan untuk mengembangkan kompetensi sipil yang membutuhkan pemikiran tingkat tinggi seperti pemikiran kritis dan kreatif, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
Sekolah yang menunjukkan bahwa "semakin berkurang dan fragmentasi studi sosial sebagai bidang studi" adalah salah satu yang utama. tren yang diharapkan di abad 21 (Hass & Laughlin, 1999 dalam Mehmet Acikalin, 2014). Demikian pula, Fitchett dan Heafner, 2010 dalam Mehmet Acikalin, 2014) menyatakan bahwa “marjinalisasi studi sosial adalah tren yang bertahan selama dua dekade terakhir, sebuah produk sampingan dari pergeseran kebijakan pendidikan menuju standardisasi nasional” (p. 114) di Amerika Serikat. Yang paling berpengaruh ini telah dikembangkan oleh Barr, Barth dan Shermis, 1977 dalam E. Wayne Ross, Sandra Mathison, Kevin D. Vinson, 2013), yang telah mengelompokkan posisi yang berbeda dari program studi sosial ke dalam tiga tema: transmisi budaya, ilmu sosial dan refleksi. Kerangka kerja Martorella, 1996 dalam E. Wayne Ross, Sandra Mathison, Kevin D. Vinson, 2013) memperluas karya Barr, Barth dan Shermi dan mencakup pengajaran ilmu-ilmu sosial sebagai: 1) transmisi kewarganegaraan; (2) ilmu sosial; (3) pertanyaan refleksif; (4) kritik sosial diinformasikan; dan (5) pengembangan pribadi. Setiap perspektif dirangkum secara singkat di bawah ini.
Secara khusus menunjukkan bahwa tiga tradisi studi sosial utama (Transmisi Kewarganegaraan, Ilmu Sosial dan Pertanyaan Reflektif) (lihat Barr, Barth, & Shermis, 1978 dalam (Mehmet Acikalin, 2014) dinilai dan dipertimbangkan dalam kerangka kurikulum saat ini; dan ketiga tradisi ini memiliki pengaruh pada desain kurikulum (lihat MEB, 2009a; 2009b dalam Mehmet Acikalin, 2014). Tidak seperti kurikulum sebelumnya, keterampilan dan nilai-nilai telah diberikan lebih banyak fokus dalam kurikulum studi sosial yang baru. Berpikir kritis, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, penelitian, dan empati adalah salah satu keterampilan yang diperkenalkan ke kurikulum. Sejalan dengan itu, nilai-nilai baru juga dimasukkan ke dalam kurikulum, seperti keadilan, kebebasan, rasa hormat, cinta, tanggung jawab, dan kejujuran.
Kurikulum pelajaran sosial yang baru diselenggarakan secara tematis dan bukan berdasarkan subjek. Dengan demikian sembilan tema pembelajaran diperkenalkan dalam kurikulum studi sosial yang baru (Aksit, 2010 dalam Mehmet Acikalin, 2014). Sembilan tema pembelajaran ini adalah (a) individu dan masyarakat, (b) budaya dan warisan, (c) orang, tempat, dan lingkungan, (d) kekuasaan, pemerintahan, dan masyarakat, (e) kontinuitas waktu, dan perubahan, (f) ) produksi, konsumsi dan distribusi, (g) teknologi sains, dan masyarakat, dan (h) koneksi global. Semua unit pembelajaran dalam kurikulum dari kelas 4 hingga 7 diatur sesuai dengan tema pembelajaran ini (lihat MEB, 2009a; 2009b). Jelas bahwa tema pembelajaran ini sangat mirip dengan sepuluh tema NCSS, 1994; 2010 dalam Mehmet Acikalin, 2014).
3. Tujuan IPS
Sepanjang sejarahnya, kurikulum ilmu sosial telah menjadi medan perang ideologis di mana program yang beragam seperti "gerakan penyesuaian hidup", pendidikan progresif, rekonstruksi dan sejarah nasionalis telah terjadi di berbagai waktu. Perdebatan tentang sifat, tujuan dan isi dari kurikulum ilmu sosial berlanjut hari ini, dengan kelompok-kelompok yang bersaing berdebat mendukung "pendekatan sosial", "studi disiplin sejarah dan geografi "atau keadilan sosial. program studi sosial (Evans 2004, Hursh dan Ross 2000, Jorgensen 2012, Thornton 2004 dalam dalam E. Wayne Ross, Sandra Mathison, Kevin D. Vinson, 2013). Seperti dalam bidang program pendidikan pada umumnya, kurikulum ilmu sosial selalu didefinisikan oleh kurangnya konsensus dan litigasi tentang tujuan dan metode.
Tetapi setidaknya ada kesepakatan dangkal bahwa studi sosial bertujuan untuk "mempersiapkan kaum muda untuk memiliki pengetahuan, nilai dan keterampilan yang diperlukan untuk berpartisipasi aktif dalam masyarakat" (Marker dan Mehlinger, 1992: 832 dalam dalam E. Wayne Ross, Sandra Mathison, Kevin D. Vinson, 2013). dan pedagogi pendidikan ilmu sosial telah sangat dipengaruhi oleh berbagai program sosial dan politik. Apa artinya menjadi "warga negara yang baik"? Argumen telah maju bagi para siswa untuk mengembangkan "baik kewarganegaraan" tidak hanya studi tentang sejarah unik panjang (Whelan, 1997 dalam dalam E. Wayne Ross, Sandra Mathison, Kevin D. Vinson, 2013), tetapi juga dengan memeriksa masalah sosial kontemporer (Evans dan Saxony 1996 ) Shaver, 1966), peran sosial (Superka dan Hawke, 1982), tabu sosial (berburu & Metcalf, 1968) atau dengan menjadi kritikus sosial yang cerdik (Engle dan Ochoa, 1988) dalam E. Wayne Ross, Sandra Mathison, Kevin D. Vinson, 2013).
C. Tiga Tradisi dalam Studi Sosial
1. Social Studies Taught as Citizenship Transmission (Studi Sosial Diajarkan Sebagai Transmisi Kewarganegaraan)
Pendidikan IPS termasuk dalam cakupan studi ilmu sosial. Salah satu fungsi dari pendidikan IPS adalah sebagai transmisi kewarganegaraan. Artinya melalui pembelajaran IPS di sekolah siswa dapat mendapatkan penanaman jiwa kebangsaan dan nasionalisme sejak dini dengan tujuan membentuk karakter bangsa yang kuat. Salah satu penelitian dalam journal of social studies education research yang berjudul Citizenship Education and Social Studies in Singapore: A National Agenda bahwa studi sosial adalah kendaraan utama untuk pendidikan kewarganegaraan dalam konteks Pendidikan Nasional dan inisiatif Pemerintah untuk mendorong masa depan. Pengenalan studi sosial sebagai mata pelajaran wajib mencerminkan upaya pemerintah yang terus-menerus mengejar pendidikan kewarganegaraan untuk memenuhi kebutuhan nasional.
Sebagai transmisi kewarganegaraan, studi sosial berusaha untuk mensosialisasikan siswa ke serangkaian nilai dan pengetahuan tertentu di tingkat kognitif dan afektif, dengan fokus pada bangsa, budaya bersama, dan nilai-nilai bersama. Namun, proses transmisi dapat dikurangi dengan mengembangkan keterampilan berpikir pada siswa, proses kontra-sosialisasi yang diperlukan oleh ekonomi global yang intensif. Ini adalah kasus studi sosial di Singapura saat ini.
2. Social Studies Taught as Social Science (Studi Sosial Diajarkan Sebagai Ilmu Sosial)
Tradisi ini berkembang selama Perang Dingin dan langsung keluar dari upaya pasca-Sputnik para ilmuwan sosial untuk memiliki suara dalam desain, pengembangan, dan implementasi kurikulum ilmu sosial. Dari sudut pandang ini, setiap disiplin sosial individu (misalnya, ilmu politik, sejarah, ekonomi, dan geografi) dapat dipertimbangkan dalam hal struktur konsep, teori, dan mode penyelidikan empirisnya sendiri yang berbeda. Dalam beasiswa pendidikan, gagasan ini paling banyak dan berhasil dikemukakan oleh psikolog Jerome Bruner (1969, 1977 dalam E. Wayne Ross, Sandra Mathison, Kevin D. Vinson. (2013).), dan ahli teori kurikulum J. J. Schwab (1969 dalam E. Wayne Ross, Sandra Mathison, Kevin D. Vinson. (2013).); itu membentuk, sebagian, dasar untuk apa yang dikenal sebagai "studi sosial baru" (Fenton, 1966; Massialas, 1992 dalam E. Wayne Ross, Sandra Mathison, Kevin D. Vinson. (2013).).
Dalam tradisi ini, pendidikan kewarganegaraan mencakup penguasaan konsep ilmu sosial, generalisasi, dan proses untuk membangun basis pengetahuan untuk pembelajaran selanjutnya. Pendidikan ilmu sosial menyediakan siswa dengan konten ilmiah sosial dan prosedur untuk kewarganegaraan yang sukses, dan untuk memahami, dan bertindak atas kondisi manusia dalam konteks historis, kontemporer, politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Secara umum, metode instruksional termasuk yang mengembangkan dalam peserta didik karakteristik ilmuwan sosial, karakteristik yang menunjukkan pemahaman konseptual serta mode penyelidikan strategis (misalnya, kursus antropologi mungkin fokus konseptual pada 'budaya' dan secara metodologis pada 'etnografi' seperti kasus dengan proyek kurikulum Man: A Course of Study).
Sarjana ilmu sosial baru-baru ini pindah dari studi sosial yang lebih tradisional sebagai pendekatan ilmu sosial untuk struktur disiplin dan menuju interogasi yang semakin kompleks tentang pentingnya konstruksi tertentu dari disiplin ilmu sosial dan sejarah tertentu. Dari perspektif yang lebih baru ini, para akademisi, guru, dan siswa semuanya memiliki pemahaman tentang struktur berbagai ilmu sosial yang berkaitan dengan bagaimana mereka menghasilkan, menggunakan, dan menyebarluaskan pengetahuan disiplin. Ide-ide ini dari konseptualisasi pendisiplinan mempengaruhi semua mode pengajaran dan pembelajaran individual. Dengan demikian, tidak mungkin untuk mengajarkan pelajaran sosial sesuai dengan pendekatan lain tanpa secara bersamaan mempertahankan beberapa pemahaman struktural dari pengetahuan dan mode penyelidikan dari berbagai disiplin akademis. Namun demikian, ada kemungkinan bersaing dan dinamis sehingga guru, dan siswa masing-masing dapat memiliki orientasi yang unik. Dalam studi sosial, banyak dari karya kontemporer ini berfokus pada pendidikan sejarah, dan telah menekankan banyak pendekatan pembelajaran yang kompleks, pemahaman konstruktivis tentang makna, produksi dan interpretasi teks, pencitraan sejarah, dan konsepsi interdisipliner konten (misalnya, Sexias, 2004; VanSledright & Afflerbach, 2000 dalam E. Wayne Ross, Sandra Mathison, Kevin D. Vinson. (2013).
3. Social Studies Taught as Reflective Inquiry (Studi Sosial Diajarkan Sebagai Pertanyaan Reflektif)
Salah satu penelitian dalam journal of social studies education research yang berjudul Preparing Globally Competent Teacher Candidates Through Cross-Cultural Experiential Learning bahwa studi sosial adalah semua ilmuwan sosial harus didorong untuk menjadi anggota serikat ini. Pendekatan demokratis dan non-hierarkis untuk tata kelola harus diadopsi. Sub-komisi harus dibentuk dan didukung. Dengan demikian, akademisi yang terlibat dalam penelitian dan studi di bidang yang sama harus dapat berkumpul dan mempercepat pertukaran ide dan menghasilkan proyek bersama.
Sebuah langkah penting telah diambil untuk menghilangkan kebutuhan ini dengan membentuk asosiasi yang disebut Asosiasi Pendidik Studi Sosial (SBEB). Jurnal juga harus didirikan dengan nama Penelitian Pendidikan Studi Sosial, yang merupakan platform akademik untuk penelitian dan diskusi akademik dan ilmiah. Secara teratur, pertemuan ilmiah harus diadakan di berbagai daerah setiap tahun. Pertemuan ilmiah seperti simposium, konferensi dan lokakarya akan berfungsi sebagai platform untuk jaringan yang efektif dalam hal penelitian dan pendidikan, serta penyebaran pengetahuan ilmiah.
Referensi:
Al Faris, Fitri. (2015). Kurikulum 2013 dalam Prespektif filsafat Pendidikan Progressivisme. Jurnal Filsafat, Vol. 25, No. 2, Agustus 2015.
E. Wayne Ross, Sandra Mathison, Kevin D. Vinson. (2013). “Social studies education and standards-based education reform in north america: curriculum standardization, high-stakes testing, and resistance”. Revista Latinoamericana de Estudios Educativos. No. 1, Vol. 10, pp. 19-48. Manizales: Universidad de Caldas.
Emin KILINÇ. (2014). Pre-Service Social Studies Teachers’ Understandings about the Nature of the Social Studies. International Electronic Journal of Elementary Education, 2014, 6(3), 415-426. Dumlupınar University, Turkey.
Hadiwijono, Harun. (1980). Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius.
Knight, George R. Terj. Mahmud Arief. (2007). Filsafat Pendidikan.Yogyakarta: Gama Media.
Mahyiddin. (2018). Paradigma Baru Pendidikan Salafi: Negosiasi Perenialisme, Pragmatisme, dan Progresifisme pada SDIT di Langsa, Aceh. Millah: Jurnal studi Agama ,Vol. 17, no. 2 pp. 197-220.
Marjorie Rhodesa. (2012). Cultural transmission of social essentialism, 13526–13531 | Joernal PNAS | August 21, 2012 | vol. 109 | no. 34
Mehmet Acikalin. (2014). Future Of Social Studies Education in Turkey. Journal of International Social Studies, Vol. 4, No. 1, 2014, 93-102. Corresponding author email: mehmet.acikalin@gmail ©2012/2015 International Assembly Journal of International Social Studies Website: http://www.iajiss.org ISSN: 2327-3585.
Mohammad Imam Farisi. (2013). Kurikulum Rekonstruksionis Dan Implikasinya Terhadap Ilmu Pengetahuan Sosial: Analisis Dokumen Kurikulum 2013. Paedagogia Jurnal Penelitian Pendidikan, Jilid 16, Nomor 2, Agustus 2013, halaman 144 – 165.
Rahmatullah, Muhammad. (2015). Pendidikan Kepesantrenan Dalam Perspektif Progresivisme John Dewey. Didaktika Religia Volume 3, No. 2 Tahun 2015.
Jasmine B.-Y. Sim. Citizenship Education and Social Studies in Singapore: A National Agenda. International Journal of Citizenship and Teacher Education Vol 1, No. 1, July 2015.
Bülent Tarman ve İsmail Acun, Social Studies Education and a New Social Studies Movement 2011: 1(1), 1-16
Michael A. Kopish, Preparing Globally Competent Teacher Candidates Through Cross-Cultural Experiential Learning 2016: 7(2), 75-108
Post a Comment