Thursday, December 31, 2020

KEARIFAN LOKAL DAN LOYALITAS MASYARAKAT BERBUDAYA “DESA TERPENCIL GUNUNG KIDUL”

 Oleh: 

PRATNYA DEVI MARTASARI

Universitas Pamulang


(sumber gambar : Headline.co.id)
    Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki keberagaman Bahasa,Suku,Budaya dan adat istiadat. Berbicara mengenai kebudayaan,seperti yang kita ketahui,Indonesia memiliki banyak sekali ragam budaya daerah dan tentunya setiap daerah memiliki ciri khas masing-masing sesuai tradisi yang sudah turun temurun.Salah satunya Kebudayaan Gunung kidul.Gunung Kidul sendiri merupakan salah satu daerah yang terdapat diwilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, diWonosari terdapat banyak sekali desa budaya,salah satunya Desa Beji.Desa ini berkecamatan Ngawen Kabupaten Gunung Kidul.Desa ini sangat jauh dari kota,untuk mencapai pusat Kota Yogyakarta memerlukan waktu sekitar antara 30-45 menit dengan menggunakan sepeda motor.ada terdapat 15 Desa budaya di Gunung Kidul. antara lain, Desa Giripurwo Kecamatan Purwosari, Desa Girisekar Kecamatan Panggang, Desa Kemadang Kecamatan Tanjungsari, Desa Giring Kecamatan Paliyan, Desa Putat Kecamatan Patuk, Desa Beji Kecamatan Ngawen, Desa Ngalang Kecamatan Gedangsari,Desa Semin Kecamatan Semin Selanjutnya,Desa Bejiharjo Kecamatan Karangmojo, Desa Kepek Kecamatan Wonosari, Desa Tambakromo Kecamatan Ponjong, Desa Semanu Kecamatan Semanu, Desa Jerukwudel Kecamatan Rongkop, Desa Wiladeg Kecamatan Karangmojo, serta Desa Kedungpoh Kecamatan Nglipar.
    Dilansir dari Wikipedia Desa Beji Kecamatan Ngawen Secara historis, Beji memiliki karakteristik wilayah yang unik. Wilayah ini merupakan salah satu wilayah enklave, yaitu sebagai wilayah Kasunanan yang berada di wilayah Kasultanan Yogyakarta.Sebagai penanda bahwa wilayah ini merupakan wilayah enklave, dibuatlah gapura tapal batas berupa Tugu Mataram sebagai pembatas wilayah ini dengan wilayah lainnya. Keberadaan wilayah enklave di dalam Kasultanan Yogyakarta menjadikan wilayah ini memiliki kekayaan kultural yang unik. Sebagian dari kekayaan kultural tersebut berkiblat ke Surakarta. Sebagian yang lain berkiblat ke Yogyakarta. Kontestasi antara kultur Yogyakarta dan Surakarta masih bertahan hingga saat ini. Kearifan lokal masyarakat tempatlah yang mampu menjadikan kontestasi menjadi kekuatan untuk menciptakan harmoni yang tetap terpelihara hingga saat ini. Selain kekayaan kultural sebagai sebuah wilayah enklave, Beji juga menyimpan jejak-jejak historis yang sangat beragam. Berbagai peninggalan masa lalu dijaga oleh masyarakat ini dan bahkan sebagian di antaranya dikeramatkan, seperti Watu Gendong, Sendang, dan Hutan Wonosadi. Masyarakat Beji menjaga seluruh jejak historis tersebut dengan baik. Berbagai mitos terkait dengan ikatan masa lalu mereka dengan Kerajaan Majapahit terpelihara secara turun-temurun. Puncak dari kesadaran terhadap pemeliharan jejak-jejak masa lalu tersebut selanjutnya diabadikan dalam sebuah upacara Sadranan yang diselenggarakan setahun sekali. Upacara ini merupakan salah satu bentuk pelestarian alam dan bentuk rasa syukur masyarakat akepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen yang mereka peroleh dalam satu tahun, upacara ini menurut masyarakat Beji merupakan bentuk  pesan dari leluhur. Dengan pelestarian hutan dipercaya seluruh masyarakat Beji akan terbebas dari bencana dan selalu berada di dalam kemakmuran. Berbagai mitos yang berkembang tentang kesakralan tempat- tempat bersejarah di Beji, terbukti mampu menciptakan kesuburan alam di wilayah ini. Menurut warga setempat Pada tahun 1960-an, Desa Beji pernah mengalami kerusakan alam yang sangat dahsyat akibat peristiwa 30 September 1965 karena alam dipergunakan sebagai alat untuk propaganda politik beberapa organisasi politik ketika itu . Berkat cerita masa lalu tentang pentingnya menjaga alam desa, pada tahun 1970-an,Warga Desa Beji kemudianmenyadari pentingnya menjaga dan melestarikan desa agar kembali menjadi desa yang subur. Karena kesuburuan alam yang tercipta sejak tahun tersebut, penghargaan penting pernah diraih desa ini . Pada tahun 2009, salah seorang penggiat kesuburan alam Desa Beji memperoleh “Kehati Award” untuk kategori “Prakarsa Lestari Kehati”.Saat ini, masyarakat Desa Beji terus memelihara kesuburan alam melalui penciptaan kesenian-kesenian desa yang bernuansa alam. Berbagai dusun menciptakan seni budaya masing-masing, seperti Rinding Gumbeng, Gejok Lesung dan Tek-tek Bambu Laras. Seluruh kesenian yang dikembangkan yang terkait erat dengan pemeliharaan alam dan masa lalu desa pada akhirnya memberikan potensi yang sangat besar untuk dikembangkan menjadi desa wisata yang unggul, dengan memperhatikan kekayaan kultural desa. 
    Desa Beji terkenal dengan warisan kulturalnya yang masih dilaksanakan oleh masyarakat di sana untuk merawat memori kolektif komunitas di sana terlepas dari adanya pengaruh mitologisasi dalam memori kolektif tersebut misalnya, dalam tradisi Nyadran yang rutin diselenggarakan setiap tahun di Hutan Wonosadi. Sadranan utawa nyadran yakuwi rangkean kegiatan keagamaan sing wis dadi tradisi sing dilakoni nang wulan Syakban (Ruwah) menjelang wulan Ramadhan (Puasa). Tradisi Sadranan wis umum dilakoni masyarakat muslim Asia Tenggara ning kadang beda jeneng karo beda rangkean kegiatane(Sadranan atau Nyadran yaitu seraingkaian kegiatan keagamaan yang sudah menjadi tradisi yang dijalankan dibulan Syakban (ruwah) menjelang bulan Ramadhan (puasa).Tradisi Sadranan ini sudah umum dijalankan masyarakat muslim Asia Tenggara tetapi kadang beda penyebutannya sama beda rangkaian kegiatannya). Masyarakat Jawa, termasuk juga masyarakat Desa Beji, Kecamatan Ngawen, menjalankan tradisi ini sebagai penghormatan kepada arwah leluhur, kerabat/sedulur.Prosesi ini dilakukan dengan membawa hasil bumi dan makanan tradisional setempat oleh masyarakat Beji dengan cara berjalan kaki menuju sebuah bukit di Hutan Wonosadi. Ritual ini diselenggarakan sebagai medium cara bagaimana masyarakat menghormati arwah para leluhur yang telah menemukan dan mendirikan “permukiman” awal di daerah tersebut. Dengan prosesi kultural seperti Nyadranan tersebut masyarakat akan mengingat proses awal mula “kelahiran” mereka dan juga bagaimana mereka mensyukuri kehidupan mereka hingga hari ini. Dalam tradisi Nyadranan terdapat percampuran secara sinkretis antara tradisi Jawa, pengaruh Hindu, dan juga Islam. Hal ini memperlihatkan bagaimana secara historis sebuah tradisi kebudayaan bertransformasi menjadi kompleks dengan menyerap unsur-unsur keagamaan, sosial, dan budaya yang terdapat di daerah itu. 
    Tradisi Sadranan merupakan tradisi sakral yang terus dipelihara dari generasi ke generasi dalam kehidupan masyarakat Desa Wonosadi. Melalui tradisi tersebut,masyarakat Beji menunjukkan kepatuhannya sebagai bagian dari penduduk desa, sekaligus sebagai bagian dari cara mereka mewujudkan rasa syukur atas semua berkah yang diterima dalam jangka waktu setahun. Selanjutnya, mereka juga memberikan sesaji untuk memohon perlindungan agar dalam setahun ke depan masyarakat Desa Beji juga diberikan keberkahan dan kesejahteraan yang sama. Satu tokoh yang kemudian menjadi sangat penting dalam tradisi Sadranan adalah pembaca doa. Dalam hal ini, hanya orang tua yang memiliki kemampuan mistis tertinggilah yang kemudian mendapatkan kesempatan sebagai pembaca doa. Mbah Yatmo-lah orang yang sejak beberapa tahun ini dipilih sebagai pembaca doa, yang berperan sebagai penghubung ikatan masyarakat adat Beji dengan para pendahulu. Dengan demikian, peran Mbah Yatmo dalam tradisi Sadranan menjadi sangat penting. Saat ini, usia Mbah Yatmo adalah sekitar 70 tahun.
     Sadranan Alas Wonosadi. Sadranan ini dilaksanakan oleh masyarakat Dusun Duren & Sidorejo, Desa Beji, Kecamatan Ngawen Kabupaten  Gunungkidul, Yogyakarta. Latar belakang peaksanaan sadranan ini ditujukan sebagai bagian dari pelestarian tanaman-tanaman obat di Hutan Wonosadi. Sadranan yang juga berperan aktif menjadikan Desa Beji sebagai Desa Wisata yang kental dengan budaya sadraanan.Sadranan Alas Wonosadi dilaksanakan berbarengan dengan adat rasulan, upacara mboyong Dewi Sri (panen), mitoni, dan ruwatan pribadi atau keluarga. Rangkaian prosesi sadranan ini bertujuan untuk menjadi ruang kontemplasi social wargaa Beji untuk bersyukur pada yang maha kuasa dan merekatkan sosial. Mereka percaya dari titah leluhur Mbah Onggoloco, bahwa Alas Wonosadi adalah sakral dan angker sehingga tidak menjaganya berarti berdosa.
    Dilansir dari www.kebudayaan.kemdikbud.go.id,Upacara sadranan Alas Wonosadi memberi prinsip penting bagi warga sebagai bagian dari kosmos kehidupan yang harus dijaga, dalam sebuah ungkapan disebutkan : “Sing paring urip, sapa sing ngurip-ngurip, sapa sing nguripi,lan apa sambekalaning urip”,yang berarti yang memberi hidup (Tuhan) yang menghidup-hidupkan (orang tua),yang menghidupi (bumi pertiwi)dan yang membuat celakanya hidup.Pesan ini hingga sekarang terus dipahami, dimengerti dan dijalankan oleh warga sekitar Hutan Wonosadi.Mereka menyadari hal itu secara bersama-sama, dan berusaha menjaganya dengan perangkat kebudayaan mereka yang diwujudkan dalam bentuk upacara adat sadranan yang ditradisikan setiap tahun.
    Setiap Selasa Legi atau Kamis Legi hari pasaran jawa, setiap tahun, warga Desa Beji menggelar upacara adat nyadran di hutan tersebut. Adat ini secara umum ditujukan sebagai wujud rasa meneladani dan mensyukuri apa yang telah diajarkan oleh Raden Onggoloco dalam hidup bermasyarakat dan hidup berdampingan dengan hutan. Upacara Sadranan Wonosadi diadakan setahun sekali sehabis panen padi sawah dan dipimpin oleh Kepala Desa Beji dan tokoh adat. Untuk hari pelaksanaannya mengambil hari Senin Legi atau Kamis Legi, bukan hari lainnya karena sudah termuat dalam pesan Mbah Onggoloco.
Tradisi Sadranan (Nyadran) untuk sekarang ini dipengaruhi kuat oleh agama Islam. Sebenarnya kata Sadranan berasal dari bahasa sansekerta, Sraddha yang berarti keyakinan. Akan tetapi, tradisi Sadranan dikemas ulang oleh Sunan Kalijaga dalam nuansa Islamik dan silahturahmi. Tradisi Nyadran tidak terlalu mempengaruhi agama Buddha, tetapi terdapat pemahaman yang tidak sesuai dengan paham Buddhisme. Pembunuhan binatang, seperti; ayam, kambing, dan sapi yang digunakan sebagai sarana tradisi. Selain itu, juga terdapat konsep yang berada diluar jalan tengah, yaitu pemuasan nafsu. Ketika Tradisi Sadranan dimulai, orang-orang diharapkan untuk makan di setiap rumah yang disinggahi. Meskipun kantong perut sudah tidak muat dengan makanan lagi, tetap saja diharuskan untuk makan. Bukankah hal tersebut sama saja dengan pemuasan nafsu.
    Ritual adat yang terdiri dari acara makan bersama di Puncak Hutan Wonosadi maupun Gunung Gambar serta mempertontonkan tradisi adat. Berdasarkan kisah yang ditulis oleh seorang tetua adat, Muh Kasno, dalam bukunya ‘Sebuah Kearifan Lokal Konservasi Sumber Daya Alam Hutan Wonosadi’ menceritakan Setelah Majapahit runtuh, Eyang Honggoloco, nama samaran Raden Ronggo, senopati Kerajaan Majapahit, bersama keluarganya pergi dan kemudian menemukan tempat itu. Beliau kemudian bertapa di hutan tersebut sehingga tak boleh  dikotori dengan perbuatan tidak baik. Dengan kepercayaan bahwa hutan tersebut milik Pangeran Onggolotjo seorang putra keturunan dari Kerajaan Majapahit. Pangeran tersebut memberikan kepercayaan warga desa Wonosadi untuk mengelola dan menjaga Hutan Wonosadi dengan sebaik-baiknya.Dengan rasa takut yang menggangap status hutan milik orang kerajaan atau ningrat, maka hal ini menumbuhkan kesadaran untuk menjaga semua kekayaan yang ada dihutan Wonosadi tersebut.konon katanya menurut warga setempat pernah ada warga luar yang mencob menebang dan mengambbil pohon-pohon yang ada dialas wonosadi tanpa seizin sang empunya pada malah hari ketika hendak tidur ia didatangi oleh sosok dua orang kakek yang diduga mbah Onggo dan Loco yang berkata “Balekno opo sing mbok jipuk,kuwi udu hak mu,kuwi hak anak putuku sing manggon sak ngisore wonosadi” (kembalikan apa yang kamu ambil,itu bukan hakmu,itu hak anak cucuku yang berada dibawah wonosadi) dengan adanya cerita tersebut warga setempat percaya bahwa apa yang ada dialas wonosadi hanya boleh dimanfaatkan oleh dusun Sidorejo-Duren saja,dan mereka meyakini bahwa seluruh warga Sidorejo-Duren adalah anak cucu mbah Onggo dan Loco. karena dua desa tersebutlah yang ada dikaki alas wonosadi. Karena rasa takut itulah maka berimbas akan kelestarian ekosistem hutan dengan baik. Oleh karena itu Hutan Wonosadi merupakan hutan lindung dalam artian benar-benar dilindungi dan dipelihara kelestariannya oleh warganya. Ini merupakan konsep yang sederhana yang diterapkan namun dapat di pahami oleh seluruh warga untuk menjaga kelestarian hutan sebagai satu adat istiadat yang wajib dilestarikan. Selain dilakukan di Hutan Wonosadi, upacara adat Sadranan juga seringkali dilakukan di Gunung Gambar. Gunung Gambar merupakan obyek wisata spiritual yang berada di Desa Jurangrejo, Kecamatan Ngawen kurang lebih 39 km dari Wonosari, terletak pada ketinggian 200 m di atas permukaan laut, sehingga dari puncaknya kita dapat menikmati keindahan Rawa Jombor di Klaten dan Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri.
    Menurut legenda masyarakat setempat, tempat ini merupakan pertapaan Raden Mas Said atau lebih dikenal sebagai Pangeran Samber Nyawa,merupakan anak pertama dari mbah Teruk kakak dari mbah Onggo dan Loco yang kemudian menjadi pengusa Mangkunegaran Surakarta dengan gelar KGPAA Mangkunegara I. Di tempat ini beliau duduk diatas batu (watu Kong) menggambar lokasi yang akan menjadi wilayah Mangkunegaran serta menyusun strategi untuk melawan Belanda. Letak Hutan Wonosadi tak jauh dari Gunung Gambar.
    Seperti upacara adat pada umumnya, warga pun menyiapkan sebuah gunungan yang terbuat dari hasil bumi, Selanjutnya, Gunungan tersebut dikirab mengelilingi Hutan Wonosadi untuk menunjukkan kepada warga bahwa di tempat tersebut dahulu pernah tinggal   keluarga Kerajaan Majapahit.
Di samping mengarak gunungan hasil bumi sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan atas diberikanNya hasil panen yang melimpah, setiap warga juga menyajikan hasil bumi berupa palawija seperti ketela, jagung, dan lain-lain serta tidak ketinggalan pula sesaji makanan berupa nasi dan ingkung ayam. Semua sesaji yang dibawa oleh warga ini kemudian dikumpulkan menjadi satu dan selanjutnya didoakan dalam tradisi kenduri. Setelah gunungan diarak mengelilingi hutan Wonosadi kemudian tiba saatnya diperebutkan kepada warga. Warga pun antusias merebut gunungan dan bagi yang berhasil merebut gunungan ini artinya mendapat anugerah daru Tuhan. Tidak hanya mengarak gunungan dan melakukan kenduri bersama, Sadranan Wonosadi juga dimeriahkan dengan penampilan kesenian jathilan yang menjadi potensi budaya warga Desa Beji. Tampilnya kesenian jathilan menjadi hiburan tersendiri bagi warga. Di tengah pesatnya gempuran budaya manca ternyata tidak menyurutkan selera warga terhadap kesenian tradisional ini. Seluruh warga mulai dari anak-anak hingga orang tua tampak menikmati sajian hiburan jathilan.Jathilan sendiri merupakan kesenian kuda lumping yang dimainkan oleh penari-penari terlatih diiringi musik gamelan jawa dan tembang-tembang jawa khusus yang dipercaya dapat memanggil arwah leluhur yang merasuki penari-penari sehingga mereka dapat menunjukkan kegiatan yang diluar kemampuan manusia seperti memakan bunga 7 rupa,memakan beling hingga mengupas kelapa muda menggunakan gigi. Sadranan Wonosadi memang menjadi event budaya yang selalu dinantikan oleh warga. Selain mengandung nilai sejarah, upacara sadranan juga memilki nilai sosial yakni untuk mempererat  tali silaturahmi antar warga sehingga tercipta kerukunan dan kedamaian.
    Menurut cerita ayah saya yang berasal dari daerah ini dan warga setempat Awal mula digelarnya Sadranan Wonosadi adalah untuk mengenang Dyah Ayu Rara Resmi yang merupakan selir dari Raja Majapahit, yakni Prabu Brawijaya. Saat terjadi perang antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Demak Dyah Ayu Rara Resmi bersama kedua putranya yakni Raden Onggo dan Raden Loco memilih pergi dari Kraton Majapahit untuk mencari kehidupan yang lebih aman.Mereka pun sampai di sebuah daerah yang terdapat dua pohon asam besar terlihat seperti ada sososk yang melambaikan tangannya sehingga daerah tersebut dinamakan awe-awe dalam Bahasa jawa artinya melambai-lambai.kemudian lambat laun daerah tersebut berubah nama menjadi Ngawen hingga saat ini.setelah cukup lama berada di desa ngawen,kemudian mbah Onggo dan Lotjo ini berpindah tempat lagi mereka berlari menuju Hutan Wonosadi, tepatnya di Dusun Duren, Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Gunungkidul. Di tempat tersebut mereka menyamar sebagai warga biasa dan melakukan aktivitas seperti warga desa pada umumnya.Untuk bertahan hidup mereka mengolah lahan pertanian di Hutan Wonosadi. Lahan yang diolah menjadi subur dan hasil panen pun melimpah. Tiap kali Raden Onggo dan Raden Loco mengolah lahan, sang ibu Dyan Ayu Rara Resmi atau biasa disebut mbah Teruk oleh warga setempat selalu membawakan makanan untuk kedua putranya itu. Awal mulanya Kiriman makanan diberikan mulai sehari sekali,kemudian mbah Onggo dan Loco meminta ibunya untuk mengirimkan tiga hari sekali, meminta lagi seminggu sekali,kemudian meminta lagi sebulan sekali dan terakhir setahun sekali.Namun pada saat hendak mengirimkan makanan untuk anaknya,mbah teruk tidak menemukan kedua anaknya lagi di alas wonosadi tersebut,ia sudah mencari-carinya namun yang beliau temukan hanyalah topi caping dan cangkul saja yang biasa digunakan anaknya  ia tidak pernah mengetahui kemana putra-putranya menghilang,namun yang ia percaya bahwa putranya telah moksa (menyatu dengan alam) di alas wonosadi tersebut sehingga setiap tahunnya beliau masih terus mengirimkan makanan di alas wonosadi hingga beliau sudah tidak sanggup lagi untuk melakukan kegiatannya itu karena usianya yang sudah sangat sepuh sebelum kemudian ia berpesan kepada salah seorang warga untuk meneruskan kegiatannya mengirimkan makanan untuk anak-anaknya setiap tahun, setelah berpesan demikian beberapa hari kemudian mbah teruk pun ikut moksa namun ditempat yang berbeda yaitu di kali endek “kali pendek”dan oleh karena kebaikan mbah Teruk dan kedua putranya. sejarah kiriman makanan itu menjadi upacara adat atau  tradisi budaya bernama upacara Sadranan/Nyadran.
    Warga juga meyakini bahwa kali endek merupakan kediaman mbah teruk yang sampai saat ini masih dipercaya keberadaannya,dan alas wonosadi kediaman putra-putra mbah teruk yaitu mbah Onggo dan Loco.Upacara adat itu masih tetap dilestarikan oleh warga Desa Beji hingga sekarang. Warga datang sambil membawa nasi dan lauk pauk yang dibungkus dengan wadah dari anyaman dan daun pisang. Lauk yang penulis makan waktu itu adalah ayam, tempe, serta sejenis pecel. Upacara Sadranan ini dimulai dari basecamp Kelompok Seni Rinding Gumbeng,yang terletak di Dusun Duren tepatnya berdampingan dengan kali endek dan diakhiri di puncak Hutan Wonosadi. Aneka jajanan ramai berdatangan dan menjejali bagian depan basecamp Rinding Gumbeng. Sebelum menuju puncak Hutan Wonosadi, ritual Sadranan juga dilakukan di sebuah tempat keramat yang dinaungi pohon besar, yang dijuluki ‘Sendang’.
    Menurut Pak Dukuh Dusun Duren, Bapak Wardi (42 tahun) saat ditanyakan mengenai asal-usul Sendang tersebut beliau bertutur, “Sendang itu kan sumber mata air yang banyak dimanfaatkan oleh warga untuk berbagai kepentingan, antara lain untuk mandi, untuk minum dan berbagai aktivitas warga lainnya. Air di sini kan jarang banget keringnya, Mbak, kayak Hutan Wonosadi. Banyak juga kejadian aneh terjadi di sini, jadi tempat ini dikramatkan. Ya tapi acara sadranan ini semata-mata untuk mengenang dan melestarikan adat aja, Mbak. Kalau meminta apa-apa ya tetap pada Yang Maha Kuasa. Soalnya orang jaman sekarang sudah banyak yang lupa sama sejarahnya sendiri.”
Doa bersama dan acara makan bersama tersebut merupakan pembuka dari prosesi sadranan atau nyadran yang setiap tahun diperingati umat Islam di Desa Duren. Selama pembacaan doa itu, anak-anak hingga orang dewasa duduk berbaris mengikuti alur tatanan barisan tenong. Kemudian ratusan tenong itu diletakkan di sekitar pemakaman dengan alur penataan memanjang. Makanan ini akan makan oleh anak-anak maupun orang dewasa tatkala semua prosesi sadranan usai.
    Di masyarakat Jawa, nyadran juga sering disebut ruwahan. Karena pelaksanaannya dilakukan pada bulan Ruwah dalam hitungan kalender Jawa. Acara Sadranan di Desa Beji ini agak berbeda dari makna Sadranan pada umumnya. Tradisi nyadran pada umumnya merupakan ziarah kubur pada bulan Sya’ban (Arab), atau Ruwah dalam kalender Jawa, menjadi semacam kewajiban bagi orang JawaZiarah dengan membersihkan makam leluhur, memanjatkan doa permohonan ampun, dan tabur bunga adalah simbol bakti dan ungkapan penghormatan serta terima kasih seseorang terhadap para leluhurnya. Makna yang terkandung dalam persiapan puasa di bulan Ramadan adalah agar orang mendapatkan berkah dan ibadahnya diterima Allah. Lewat ritual nyadran, masyarakat Jawa melakukan penyucian diri. Setelah membersihkan makam, biasanya bagi acara Sadranan pada umumnya di tempat lain, panitia sadranan memutar kaset yang berisi lantunan ayat suci Alquran.
    Namun di Dusun Duren hanya acara doa bersama. Sejurus kemudian, warga membawa sebuah tenong atau sejenis nampan bulat yang terbuat dari anyaman bambu beralaskan daun pisang atau daun jati. Seluruh peserta Sadranan dengan penuh khidmat mengikuti seluruh prosesi ritual yang ditandai dengan berdoa bersama, dipimpin tetua desa. Seusai doa untuk memohon keselamatan dan limpahan rejeki dari yang maha kuasa, makanan yang mereka bawa kemudian dinikmati sebagai ungkapan syukur. Selanjutnya setelah berdoa bersama, dilakukan pembagian berkat atau makanan kepada peserta sadranan.dimana makanan iti dipercaya sebagai makanan yang memiliki keberkahan melimpah karena sudah didoakan dan diaminkan oleh puluhan warga.Sembari  menikmati makanan,  beberapa warga  mengambil potongan nasi berikut sebagian lauk pauk dan jajanan untuk dikumpulkan. Hasil makanan yang dikumpulkan, kemudian dibagikan di atas pelepah pisang dan dibagikan kepada seluruh peserta dan tamu undangan sebagai nasi berkat untuk dimakan di tempat atau dibawa pulang.
    Menurut pemuka agama setempat, sesajian yang ada didalam tenong itu sebagai wujud syukur atas kelancaran rezeki yang diterimanya selama ini. Oleh sebab itu, bisa dairtikan bahwa mereka itu membawa tenong dan isinya tersebut untuk bersedekah dan beramal. Sebab, selain melakukan ziarah kubur, sadranan ini juga erat kaitannya dengan mempererat tali silaturahmi. Mereka akan saling berkunjung dari rumah ke rumah setelah acara sadranan di makam selesai. Setelah itu acara sadranan di meriahkan dengan berbagai macam pedagang yang menjual makanan,maupun kebutuhan rumah tangga layaknya pasar,namun untuk pedagang makanan sebagian mereka menjual makanan khas daerah tersebut hingga sore hari.kemudian esok hari akan disambung dengan acara Rasulan yang biasanya dimeriahkan dengan wayang kulit.
    Menurut salah seorang budayawan, Mufti Rahardjo, tradisi sadran memang menjadi salah satu kearifan lokal yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa menjelang bulan Puasa. Melalui tradisi ini, masyarakat Jawa meyakini bisa berkomunikasi dengan leluhurnya. Sebab itu, tradisi ini diakui sebagai wujud ngabekti pada leluhur yang telah meninggal. Sekaligus mendoakan para leluhur agar ditempatkan di surga.
    Pembagian nasi berkat ini bukan berarti prosesi ritual sadranan  telah selesai. Warga dan peserta yang telah makan makanan kemudian melanjutkan perjalanan mendaki ke puncak Hutan Wonosadi. Tradisi sadranan ini akan terus dilestarikan  di masa-masa mendatang sebagai warisan budaya dari nenek moyang. Diutarakan,melalui penyelenggaraan ritual sadranan selain dimanfaatkan untuk   doa bersama  dan ungkapan syukur, juga sekaligus sebagai wahana mempererat tali persaudaraan sesama warga.
Budaya sadranan ini memang berakar pada tradisi Jawa. Bisa dikatakan, tradisi yang mulai dilakukan 30 hari sebelum puasa ini merupakan salah satu akulturasi antara budaya Jawa dengan Islam.
Sebelum agama Islam muncul di Jawa, tradisi ini sudah berkembang. Kemudian pada masa Wali Sanga, terjadi proses akulturasi antara budaya Jawa dengan agama Muslim. Pada zaman Mataram Islam, tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo, tradisi sadranan diatur dengan adanya revolusi penanggalan yang semula penanggalan Hindu, yaitu Saka, menjadi penanggalan Jawa. Menurut almanak Jawa, bulan sebelum Puasa adalah Ruwah. Pada bulan ini diharapkan menyucikan dan membersihkan diri menyambut bulan Puasa sekaligus meminta keselamatan. Juga untuk menghormati dan menghargai leluhur, mengingat kembali petuah, harapan dengan cara membersihkan makam sekaligus ziarah.
    Tradisi ini menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Jawa. Karena ini merupakan wujud bakti seorang anak kepada orangtua dan leluhur yang telah meninggal.
Maka tak heran untuk beberapa daerah, banyak dari mereka yang menyempatkan diri pulang kampung. Selanjutnya para perantau itu pun berkumpul dan bercengkrama dengan anggota keluarga dan warga masyarakat lainnya.
    Konsep Buddhisme mengenai Tradisi Sadranan agak berbeda, yakni tidak dengan melakukan pembunuhan dan pemuasan nafsu. Pembunuhan selayaknya dikurangi karena manyakiti mahkluk lain. Saran menghindari pembunuhan hanya dengan membeli daging. Bahkan mengganti daging dengan bahan pengganti daging yang sudah banyak tersedia di pasar. Pemuasan nafsu memang sangat sulit karena setiap mengunjungi rumah diharuskan untuk makan. Tentu tidak merasa enak hati ketika menolak tawaran penghuni rumah yang memaksa untuk makan. Penghuni rumah selayaknya tidak memaksa tamu untuk tetap makan, sebab kekenyangan bukan hal yang membahagiakan. Pengunjung tidak terlalu rakus ketika berkunjung, makan sedikit saja setiap rumah.
 
Lampiran: 

1.Hutan Adat Wonosadi (Tempat Utama Dilakukannya Upacara Sadranan) 

Sumber gambar : mentarinews.id
2. Gunung Gambar (Tempat Kedua Dilakukannya Upacara Sadranan) 
Sumber :Tripisia.Id
3. Upacara Adat Sadranan (Nyadran) 

Sumber: Kemdikbud.Id
4.Pembacaan Doa Oleh Ketua Desa
Sumber : Bejivillage.Com
5.Pembagian Berkat (Nasi Yang Sudah Didoakan) 

Sumber:Facebook Wisata Wonosadi

Catatan: Segala sesuatu yang berkaitan dengan artikel ini menjadi tanggung jawab penulis.
 

Post a Comment

avatar
Admin Purwarupalingua Online
Welcome to Purwarupalingua theme
Chat with WhatsApp