A. Konsep Pembelajaran Multikultural Menurut Para Ahli
Pembelajaran multikultural pada dasarnya merupakan implementasi dari pendidikan multikultural yang kemudian dijalankan dalam proses pembelajaran di sekolah-sekolah melalui pengintegrasian nilai-nilai multikultur kedalam mata pelajaran. Terdapat beberapa konsep pembelajaran multikultural dari beberapa ahli yang dimuat dalam jurnal JUPIIS Vol 5 No 2, yaitu:
1. Sleeter and Grant (1988): Pembelajaran multikultural adalah kebijakan dalam praktik pendidikan dalam mengakui, menerima dan menegaskan perbedaan dan persamaan manusia yang dikaitkan dengan gender, ras, kelas.
2. Banks (1993): Pembelajaran multikultural pada dasarnya merupakan program pendidikan bangsa agar komunitas multikultural dapat berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan demokrasi yang ideal bagi bangsanya
3. Skeel (1995): Pembelajaran multikultural adalah suatu sikap dalam memandang keunikan manusia dengan tanpa membedakan ras, budaya, jenis kelamin, seks, kondisi jasmaniah atau status ekonomi seseorang.
4. Savage & Armstrong (1996): Pembelajaran multikultural merupakan implementasi pendidikan multikultural yang membantu subyek belajar untuk mengakui ketepatan dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu subyek belajar dalam mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan subyek belajar bahwa konflik nilai sering menjadi penyebab konflik antar kelompok masyarakat. Pendidikan multikultural didefinisikan sebagai sebuah kebijakan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemeliharaan budaya dan saling memiliki rasa hormat antara seluruh kelompok budaya di dalam masyarakat.
5. Farris & Cooper (1994): Pembelajaran multikultural diselenggarakan dalam upaya mengembangkan kemampuan subyek belajar dalam memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang mereka miliki, dan bersikap positif terhadap perbedaan budaya, ras, dan etnis.
Selain itu konsep pembelajaran multikultural juga dikemukakan oleh Liliweri (2005) dalam jurnal Lentera Pendidikan Vol.13 No.1, bahwa pembelajaran multikultural (multikultural learning) merupakan strategi pendidikan yang memanfaatkan keberagaman latar belakang kebudayaan dari para peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap multikultural. Strategi ini sangat bermanfaat, sekurang-kurangnya bagi sekolah sebagai lembaga pendidikan dapat membentuk pemahaman bersama atas konsep kebudayaan, perbedaan budaya, keseimbangan, dan demokrasi dalam arti yang luas.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa secara filosofis pembelajaran multikultural didasarkan pada gagasan tentang kebebasan, keadilan, kesederajatan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia.
Pembelajaran berbasis multikultural berusaha memberdayakan subyek belajar untuk mengembangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan untuk bekerja bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya secara langsung.
Sejalan dengan uraian diatas, dalam Journal of Education and Practice Vol.6, No.1 juga dijelaskan bahwa landasan filosofis dalam membangun pembelajaran multikultural didasarkan atas konsep pendidikan untuk kebebasan, yang bertujuan untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk berpartisipasi di dalam demokrasi dan kebebasan masyarakat, serta memajukan kekebasan, kecakapan, keterampilan terhadap lintas batas-batas etnik dan budaya untuk berpartisipasi dalam beberapa kelompok dan budaya orang lain.
Dalam konteks yang luas, pendidikan multikultural mencoba membantu menyatukan bangsa secara demokratis, dengan menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda. Dengan demikian sekolah dikondisikan untuk mencerminkan praktik dari nilai-nilai demokrasi. Kurikulum menampakkan aneka kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat, bahasa, dan dialek, dimana para pelajar lebih baik berbicara tentang rasa hormat di antara mereka dan menunjung tinggi nilai-nilai kerjasama, dari pada membicarakan persaingan dan prasangka di antara sejumlah pelajar yang berbeda dalam hal ras, etnik, budaya dan kelompok status sosialnya.
B.Strategi Pengelolaan Pembelajaran Multikultural
Sekolah merupakan lembaga formal yang bertugas meletakkan dasar pendidikan bagi peserta didik. Dasar yang diberikan harus kokoh agar peserta didik yang dipersiapkan untuk menjadi generasi penerus bangsa tidak akan mudah terombang-ambing di tengah-tengah derasnya arus globalisasi seperti yang terjadi saat ini. Salah satu hal yang perlu mendapat perhatian serius sekarang ini adalah berkaitan dengan pembentukan karakter bangsa yang mampu dan mau menerima perbedaan yang ada. Tidak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia adalah negara yang sangat majemuk dan beraneka ragam. Namun keanekaragaman yang dimiliki bangsa Indonesia bukan untuk dijadikan ajang pemecah belah persatuan dan kesatuan bangsa, tetapi justru dijadikan sebagai ajang yang mempererat persatuan serta kesatuan bangsa. Untuk mencapai hal ini, salah satu cara yang ditempuh adalah memberikan pembelajaran tentang multikulturalisme bangsa kepada peserta didik di sekolah.
Strategi yang dapat digunakan dalam mengembangkan pembelajaran multikultural, antara lain dapat melalui penggunaan strategi Cooperative Learning (kegiatan belajar bersama-sama), yang dalam pelaksanaannya kemudian dipadukan dengan menggunakan strategi Concept Attainment (pencapaian konsep), strategi Value Analysis (analisis nilai), dan strategi Social Investigation (analisis sosial). Beberapa pilihan strategi ini dilaksanakan secara simultan, dan harus tergambar dalam langkah-langkah model pembelajaran multikultural. Namun demikian, masing-masing strategi pembelajaran secara fungsional memiliki tekanan yang berbeda.
Strategi Cooperative Learning (kegiatan belajar bersama-sama), digunakan untuk menandai adanya perkembangan kemampuan peserta didik dalam belajar bersama-sama mensosialisasikan konsep dan nilai budaya lokal dari daerahnya dalam komunitas belajar bersama teman. Dalam tataran belajar dengan pendekatan multikultural, penggunaan strategi cooperative learning, diharapkan mampu meningkatkan kadar partisipasi peserta didik dalam melakukan rekomendasi nilai-nilai lokal serta membangun cara pandang kebangsaan. Dari kemampuan ini, peserta didik memiliki keterampilan mengembangkan kecakapan hidup dalam menghormati budaya lain, toleransi terhadap perbedaan, akomodatif, terbuka dan jujur dalam berinteraksi dengan teman (orang lain) yang berbeda suku, agama etnis dan budayanya, memiliki empati yang tinggi terhadap perbedaan budaya lain, dan mampu mengelola konflik dengan tanpa kekerasan (conflict non violent). Selain itu, penggunaan strategi cooperative learning dalam pembelajaran dapat meningkatkan kualitas dan efektivitas proses belajar peserta didik, suasana belajar yang kondusif, membangun interaksi aktif antara peserta didik dengan guru, peserta didik dengan peserta didik dalam pembelajaran.
Kemudian strategi Concept Attainment (pencapaian konsep), digunakan untuk memfasilitasi peserta didik dalam melakukan kegiatan eksplorasi budaya lokal untuk menemukan konsep budaya apa yang dianggap menarik bagi dirinya dari budaya daerah masing-masing, dan selanjutnya menggali nilai-nilai yang terkandung dalam budaya daerah asal tersebut. Sedangkan strategi Value Analysis (analisis nilai), difokuskan untuk melatih kemampuan peserta didik berpikir secara induktif, dari setting ekspresi dan komitmen nilai-nilai budaya lokal (cara pandang lokal) menuju kerangka dan bangunan tata pikir atau cara pandang yang lebih luas dalam lingkup nasional (cara pandang kebangsaan).
Yang terakhir, strategi Social Investigation (analisis sosial), dilandasi oleh proses pemenuhan rasa ingin tahu dengan menggunakan pengalaman empiris yang berorientasi pada penarikan kesimpulan atas dasar fakta. Tujuannya adalah agar peserta didik aktif selama proses pembelajaran dengan segenap potensinya melalui pengkajian terhadap masalah atau kasus tertentu. Manfaat dari strategi ini yaitu menumbuhkan cara berpikir kritis, analitis, sistematis dan logis pada diri peserta didik, melatih peserta didik dalam menentukan pilihan sikap yang benar jika menghadapi suatu masalah, melatih keberanian peserta didik dalam mengemukakan isi hatinya secara bebas dan terbuka, melatih kepekaan sikap peserta didik dalam menghadapi setiap masalah di lingkungannya, atau merasakan adanya masalah (feeling of perflexity).
Melalui keempat strategi pembelajaran di atas, pembelajaran multikultural dilakukan untuk meningkatkan kesadaran diri peserta didik terhadap nilai-nilai keberbedaan dan keberagaman yang melekat pada kehidupan peserta didik lokal sebagai faktor yang sangat potensial dalam membangun cara pandang kebangsaan. Dengan kesadaran diri peserta didik terhadap nilai-nilai lokal, peserta didik di samping memiliki ketegaran dan ketangguhan secara pribadi, juga mampu melakukan pilihan-pilihan rasional (rational choice) ketika berhadapan dengan isu-isu lokal, nasional dan global.
Peserta didik mampu menatap perspektif global sebagai suatu realitas yang tidak selalu dimaknai secara emosional, akan tetapi juga rasional serta tetap sadar akan jati diri bangsa dan negaranya. Kemampuan akademik tersebut, salah satu indikasinya ditampakkan oleh peserta didik dalam perolehan hasil pembelajaran yang dialami.
Strategi dan manajemen pembelajaran merupakan aspek penting dalam pendidikan multikultural karena didalamnya memuat praktik dan prosedur yang memungkinkan guru mengajar dan peserta didik belajar. Terkait dengan praktik dan prosedur ini, Ricardo L. Garcia (1982: 146) menyebutkan 3 faktor dalam manajemen pembelajaran, yaitu:
1. Lingkungan Fisik (physical environment)
Untuk menciptakan lingkungan fisik yang aman dan nyaman, guru dapat mempertimbangkan aspek pencahayaan, warna, pengaturan meja dan kursi, tanaman, dan musik. Guru yang memiliki pemahaman terhadap latar belakang budaya peserta didiknya, akan menciptakan lingkungan fisik yang kondusif untuk belajar.
2. Lingkungan Sosial (human environment)
Lingkungan sosial yang aman dan nyaman dapat diciptakan oleh guru melalui bahasa yang dipilih, hubungan simpatik antar peserta didik, dan perlakuan adil terhadap peserta didik yang beragam budayanya.
3. Gaya pengajaran Guru (teaching style).
Selain lingkungan fisik dan sosial, peserta didik juga memerlukan gaya pengajaran guru yang menggembirakan. Gaya pengajaran guru merupakan gaya kepemimpinan atau teknik pengawalan yang digunakan guru dalam proses pembelajaran (the kind of leadership or governance techniques a teacher uses). Dalam proses pembelajaran, gaya kepemimpinan guru sangat berpengaruh bagi ada atau tidaknya peluang peserta didik untuk berbagi pendapat dan membuat keputusan. Gaya kepemimpinan guru berkisar pada otoriter, demokratis, dan bebas. Gaya kepemimpinan guru yang demokratis memberikan peluang kepada peserta didik untuk menentukan materi yang perlu dipelajari peserta didik. Selanjutnya, guru yang menggunakan gaya kepemimpinan bebas menyerahkan sepenuhnya kepada peserta didik untuk menentukan materi pembelajaran di kelas.
C. Peran Guru Dalam Menerapkan Pendidikan Multikultural
Menurut Sutarno (2008:5-7), ada beberapa hal yang perlu dilakukan guru dalam mengintegrasikan nilai-nilai multikultural dalam pembelajaran. Hal-hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Memberi setiap peserta didik kesempatan untuk mencapai potensinya.
2. Mempelajari bagaimana belajar dan berpikir kritis.
3. Mendorong peserta didik untuk mengambil peranan aktif dalam pendidikannya sendiri dengan membawa kisah dan pengalamannya ke dalam lingkup belajarnya.
4. Menunjukkan pada gaya belajar yang bermacam-macam.
5. Menghargai kontribusi kelompok lain yang telah berkontribusi pada dasar pengetahuan kita.
6. Mengembangkan sikap positif tentang kelompok orang yang berbeda dari dirinya sendiri.
7. Menjadi warga sekolah, warga masyarakat, warga negara dan masyarakat dunia yang baik.
8. Belajar bagaimana mengevaluasi pengetahuan dari perspektif yang berbeda.
9. Mengembangkan identitas etnis, nasional dan global.
10 .Memberi keterampilan mengambil keputusan dan keterampilan analisis kritis sehingga peserta didik dapat membuat pilihan yang lebih baik dalam kehidupannya sehari-hari.
Sementara itu menurut Gordon dan Robert, seperti yang dikutip Sutarno (2008:5-7) ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam menyeleksi materi pokok untuk pembelajaran multikultural, yaitu sebagai berikut:
1.Seleksi materi pokok bahasan seharusnya mencantumkan hal-hal kultural, didasarkan pada keilmuan masa kini.
2.Materi pokok bahasan yang diseleksi untuk dicantumkan seharusnya mempresentasikan keragaman dan kesatuan baik didalam maupun dalam lintas kelompok.
3.Materi pokok bahasan yang diseleksi untuk dicantumkan seharusnya berada dalam konteks waktu dan tempat.
4.Materi pokok bahasan yang diseleksi untuk dicantumkan seharusnya memberikan prioritas untuk memperdalam di samping keleluasaan.
5.Perspektif multi budaya seharusnya dimasukkan di dalam keseluruhan kurikulum.
6.Materi pokok bahasan yang diseleksi untuk dicantumkan seharusnya diberlakukan sebagai konstruk sosial dan oleh karena itu tentatif seperti halnya seluruh pengetahuan.
7.Pokok bahasan seharusnya menggambarkan dan tersusun berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dialami peserta didik untuk dbawa ke kelas.
8.Pedagogi seharusnya berkaitan dengan sejumlah cara belajar mengajar interaktif agar menambah pengertian, pengujian kontraversi, dan saling belajar.
Jadi itulah beberapa hal yang penting dilakukan guru dalam mengintegrasikan nilai-nilai multikultural ke dalam pembelajaran di sekolah. Dengan pengintegrasian nilai-nilai multikultural ke dalam proses pembelajaran ini diharapkan nantinya peserta didik yang dipersiapkan untuk menjadi generasi penerus bangsa mampu menerima, menghormati dan menghargai perbedaan-perbedaan yang muncul di kalangan etnis yang berbeda. Peserta didik tidak lagi menjadikan perbedaan sebagai ajang pemecah persatuan bangsa, akan tetapi justru mampu mengambil makna dari perbedaan-perbedaan yang ada.
D.Nilai Demokratisasi Pendidikan dan Implementasinya Di Sekolah dan Masyarakat
Memasuki abad ke-21, isu perbaikan pendidikan di Indonesia mencuat ke permukaan yang disuarakan oleh semua departemen terkait dengan otoritasnya sebagai pengelola jalur pendidikan, dan juga para praktisi serta policy maker dalam pembangunan sektor pembinaan sumber daya manusia (SDM). Bersamaan dengan hal ini, di awal abad ke-21, prestasi pendidikan di Indonesia tertinggal jauh di bawah negara Asia lainnya, seperti Singapura, Malaysia, dan Jepang. Jika dilihat dari indeks sumber daya manusia (SDM) yang salah satu indikatornya berada pada sektor pendidikan, posisi Indonesia mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Padahal Indonesia kini menjadi bagian masyarakat dunia yang tidak bisa dihindari. Hal ini akan memposisikan Indonesia menjadi negara yang terpuruk dalam meraih peluang kerja di era global.
Oleh sebab itu, penyiapan sumber daya manusia yang berkualitas, kompetitif dan memiliki berbagai keunggulan komparatif, sudah menjadi keharusan perhatian sektor pendidikan.
Pengembangan sekolah menuju model sekolah demokratis ini relevan untuk dilakukan, dengan berbagai argumentasi, yang secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua tipologi sekolah abad ke-21, dan model pembelajaran yang sesuai. Menurut Lyn Hass (1994:21) menjelaskan bahwa sekolah-sekolah sekarang harus dapat memenuhi beberapa kualifikasi ideal, yaitu:
1. Pendidikan untuk semua: semua peserta didik mendapatkan perlakuan sama untuk mencapai kompetensi keilmuan, basis skill dan ketrampilan yang ingin dicapai oleh kurikulum.
2. Memberikan skill dan ketrampilan yang sesuai dengan kemajuan teknologi yang menjadi tuntutan pasar.
3. Penekanan pada kerja sama: memberikan pengalaman pada peserta didik dalam bekerja sama dengan yang lain, melalui penugasan kelompok dalam pembelajaran.
4.Pengembangan kecerdasan ganda: memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan multiple intelligence mereka, dengan memberikan peluang mengembangkan skill dan ketrampilan yang beragam.
5. Integrasi program dengan pengabdian pada masyarakat, agar mereka memiliki kepekaan sosial.
6. Penyelenggaraan secara demokrasi: keterlibatan masyarakat, otoritas pengelola, dan institusi pendukung lebih besar dari pada pemerintah pusat, bahkan bentuk keterlibatan masyarakat dalam komite sekolah dan dewan pendidikan daerah. Komite sekolah berhak ikut serta dalam merumuskan perencanaan pendidikan baik secara makro maupun kebijakan restrukturisasi dalam gagasan kurikulum.
Pemerintah diberi kewenangan oleh undang-undang sebagaimana dicantumkan dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni pasal 10 bahwa pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada pasal 11 ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun.
Post a Comment