Kedwibahasaan dan Diglosia
A. Kedwibahasaan
Zaman yang terus maju, ilmu pengetahuan tentang masalah kebahasaan pun turut berkembang, pengertian kedwibahasaan atau bilingualisme sebagai salah satu gejala kebahasaan turut pula berkembang. Kedwibahasaan sebagai wujud dalam peristiwa kontak bahasa merupakan istilah yang pengertiannya bersifat nisburelatif (Suwito, 1982:40). Hal ini disebabkan pengertian kedwibahasaan berubah-ubah dari masa ke masa. Perubahan tersebut dikarenakan sudut pandang atau dasar pengertian bahasa itu sendiri berbeda-beda, seperti tampak dalam pengertian-pengertian kedwibahasaan yang dikemukakan oleh beberapa ahli berikut.
1. Menurut Weinreich (1953:1), kedwibahasaan adalah the pratice of alternately using two languages (kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian).
2. Menurut Blommfield (1958:50), kedwibahasaan adalah native like control of two languages (penguasaan yang sama baiknya terhadap dua bahasa). Pendapat ini berdasarkan pengertian bahasa yang diberikannya, yaitu sistem kode yang mempunyai ciri-ciri khusus. Mengenal dua bahasa berarti mampu menggunakan dua sistem kode secara baik. Pendapat Bloomfield, ternyata tidak disetujui karena syarat dari native like control of two languages berarti setiap bahasa dapat digunakan dalam setiap keadaan dengan kelancaran dan ketepatan yang sama seperti yang digunakan oleh penuturnya. Rupanya, hal ini tidak mungkin atau sulit diukur. Dengan demikian, pendapat Bloomfield ini dianggap sebagai salah satu jenis kedwibahasaan.
3. Menurut Mackey (dalam Rusyana, 1975:33), kedwibahasaan adalah the alternative use of two of more languages by the same individual (kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih oleh seseorang). Menurut Mackey, dalam membicarakan kedwibahasaan tercakup beberapa pengertian, seperti masalah tingkat, fungsi, pertukaran/alih kode, percampuran campur kode, interferensi, dan integrasi,
Batasan pengertian kedwibahasaan menurut Mackey akan dijelaskan satu persatu dalam bab ini Yang dimaksud masalah tingkat adalah penguasaan bahasa oleh seseorang, maksudnya sejauh mana seseorang itu mampu menjadi seorang dwibahasawan atau sejauh manakah seseorang itu mengetahui bahasa yang dipakainya (Aslinda, 1996:19). Pengertian fungsi adalah untuk apa seseorang mempergunakan bahasa dan apa peranan bahasa dalam kehidupan atau dalam pola keseluruhan pelakunya.
Pertukaran/alih kode adalah sampai seberapa luaskah seseorang dapat mempertukarkan bahasa-bahasa itu dan bagaimana serta dalam keadaan bagaimana seseorang dapat berpindah dari satu bahasa ke bahasa lain. Pembicaraan mengenai pertukaran/alih kode biasanya diikuti oleh pembicaraan mengenai percampuran/campur kode. Campur kode terjadi bilamana seseorang mencampurkan dua/lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak berbahasa tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa yang menuntut percampuran bahasa (Nababan, 1991:32). Ciri yang menonjol dalam campur kode ialah kesantaian atau situasi nonformal. Dalam situasi berbahasa yang formal, jarang terjadi campur kode, kalau terjadi campur kode karena tidak ada ungkapan yang tepat dalam bahasa yang sedang dipakai.
Interferensi adalah bagaimana seseorang yang dwibahasawan itu menjaga bahasa-bahasa itu sehingga terpisah dan seberapa jauh seseorang itu mampu mencampuradukkan serta bagaimana pengaruh bahasa yang satu dalam penggunaan bahasa lainnya, Mackey (dalam Lestari,1991:14). Di samping interferensi, terdapat istilah integrasi. Integrasi terjadi apabila unsur serapan dari suatu bahasa telah dapat menyesuaikan diri dengan sistem bahasa penyerapnya sehingga pemakaiannya telah menjadi umum karena tidak lagi terasa keasingan (Suwito, 198250). Pengintegrasian unsur serapan ke dalam suatu bahasa tidak sama setiap wilayah. Adakalanya Intergrasi hanya terjadi dalam satu dialek, bahkan adakalanya integrasi itu terjadi pada sebuah desa asalkan unsur tersebut menunjukkan ciri ciri integrasi.
Lebih lanjut. Mackey mengatakan, kedwibahasaan bukan gejala bahasa melainkan gejala penggunaan berarti tidak termasuk ke dalam langue, tetapi termasuk ke dalam parole. Jika bahasa merupakan milik kelompok, maka kedwibahasaan milik perseorangan. Namun, pendapat ini ditentang oleh Oscar dalam Rusyana (1975:34) yang mengatakan bahwa kedwibahasaan tidak hanya dimiliki oleh perseorangan, tetapi juga milik kelompok karena bahasa bukan hanya sebagai alat perhubungan di antara kelompok, melainkan sebagai alat untuk menegakkan kelompok dan alat untuk menunjukkan identitas kelompok Di sisi lain, Suwito (1982:42) memberi peluang adanya masyarakat dwibahasawan, yaitu masyarakat yang menggunakan dua bahasa atau lebih sebagai alat komunikasi sebagaimana halnya individu dwibahasawan yang menggunakan dua bahasa atau lebih sebagai alat komunikasi.
Bila kita lihat masalah penggunaan bahasa bukanlah milik perseorangan, melainkan milik suatu kelompok masyarakat, baik kelompok budaya, kelompok umur, kelompok pekerjaan, maupun kelompok sosial. Jika hal ini dihubungkan dengan kedwibahasaan akan terlihat masalah kedwibahasaan. Hal ini bukan pula masalah perseorangan, melainkan masalah yang timbul dalam suatu kelompok pemakai bahasa. Dalam kelompok pemakai bahasa akan terjadi kontak bahasa sehingga diartikan bahwa antara kontak bahasa dan dwibahasawan sangat erat hubungannya.
Kontak bahasa terjadi dalam masyarakat pemakai bahasa atau terjadi dalam situasi kemasyarakatan tempat seseorang mempelajari unsur-unsur sistem bahasa yang bukan bahasanya sendiri. Kontak bahasa meliputi segala peristiwa persentuhan antara dua bahasa atau lebih yang berakibat adanya perubahan unsur bahasa oleh penutur dalam konteks sosialnya. Berkaitan dengan sentuh bahasa ini, Prawiroatmodjo dalam Djoko Kentjono (ed.1982:124) mengatakan, bahwa ciri yang menonjol dari sentuh bahasa adalah terdapatnya kedwibahasaan bilingualisme atau keanekaragaman bahasa/multilingualisme: Jadi, peristiwa atau gejala kontak bahasa itu tampak menonjol dalam wujud kedwibahasaan. Kedwibahasaan adalah penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang. Kedwibahasaan lebih cenderung pada gejala tutur (parole), sedangkan kontak bahasa lebih cenderung pada gejala bahasa langue). Pada prinsipnya, langue adalah sumber dari parole, maka dengan sendirinya kontak bahasa akan tampak dalam kedwibahasaan. Dengan kata lain, kedwibahasaan terjadi karena adanya kontak bahasa.
B. Dwibahasawan dan Diglosia
Selain kita perlu memahami pengertian kedwibahasaan yang berhubungan langsung dengan kontak bahasa, sudah sepatutnya kita memahami pengertian dwibahasawan. Halini perlu diuraikan karena masyarakat Indonesia menggunakan lebih dari satu bahasa, yaitu bahasa ibu mereka dan bahasa Indonesia sebagal bahasa nasional Dengan demikian, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang bilingual atau dwibahasawan.
Weinreich (dalam Soepomo, 197837) mengatakan, seseorang yang terlibat dalam praktik penggunaan dua bahasa secara bergantian itulah yang disebut dengan bilingual atau dwibahasawan. Tingkat penguasaan bahasa dwibahasawan yang satu berbeda dengan dwibahasawan yang lain, bergantung pada setiap individu yang mempergunakannya dan dwibahasawan dapat dikatakan mampu berperan dalam perubahan bahasa.
Perubahan bahasa sebagai hasil dari kontak bahasa. Di samping kontak bahasa, akan terjadi ambil mengambil ataupun saling memindahkan pemakaian unsur-unsur bahasa, dapat pula terjadi percampuran, dan terjadi pemindahan Identitas bahasa. Seorang dwibahasawan telah mempergunakan identitas bahasanya pada bahasa kedua atau sebaliknya. Seorang dwibahasawan mempergunakan unsur-unsur bahasa kedua dalam penggunaan bahasanya sendiri. Demikianlah yang terjadi dengan dwibahasawan Minangkabau yang mempergunakan unsur-unsur bahasa pertama bahasa Minangkabau ketika berkomunikasi dalam bahasa Indonesia atau sebaliknya mempergunakan unsur unsur bahasa Indonesia dalam bahasa Minangakabau. Sebaliknya, ini terjadi terbatas pada kalangan terpelajar yang tinggal di pusat-pusat kota, sebagai contoh, kata cuci dan basah yang ada dalam bahasa Indonesia, saat ini sudah dipakai sebagai bahasa Minangkabau sehari-hari oleh orang-orang terpelajar yang berdiam di pusat kota. Padahal, dalam bahasa Minangkabau adalah sasah 'cuci, dan babiyak basah. Hal ini terjadi karena pengaruh sangat dekatnya bahasa Minangkabau dengan bahasa Indonesia. Seperti kita ketahui, bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, sementara bahasa Melayu satu rumpun dengan bahasa Minangkabau. Sesuai pula dengan apa yang dikatakan Nababan dalam Husin (1984:7). bahasa Minangkabau penuturnya 33 juta orang yang terdapat di daerah Sumatra Barat dan terdapat pula di daerah-daerah lainnya di Indonesia dan Malaysia. Bahasa ini sangat dekat dengan bahasa Melayu,
Penggunaan bahasa daerah disebut juga sebagai penggunaan bahasa pertama atau bahasa ibu, sementara penggunaan bahasa Indonesia disebut juga sebagai penggunaan bahasa kedua oleh seorang dwibahasawan. Pemakaian yang berganti ganti dari bahasa pertama ke bahasa kedua atau sebaliknya merupakan diglosia. Pengertian diglosia boleh dikatakan sama dengan kedwibahasaan, tetapi istilah diglosia lebih cenderung dipakai untuk menunjukkan keadaan masyarakat tutur, di mana terjadinya alokasi fungsi dari dua bahasa atau ragam. Di sisi lain, istilah kedwibahasaan lebih ditekankan pada keadaan pemakaian bahasa itu.
Konsep diglosia menurut Furgeson dalam Sumarsono dan Partana (2002:190), para penutur suatu bahasa memakai suatu ragam tertentu dalam situasi tertentu dan memakai ragam lain dalam situasi lain kemudian memakai suatu situasi yang di dalamnya ada dua ragam dari suatu bahasa hidup berdampingan dengan peran masing-masing dalam masyarakat. Lebih lanjut Furgeson menjelaskan diglosia itu terdiri dari sembilan segi yaitu sebagai berikut.
1. Fungsi
Fungsi adalah kriteria yang paling penting bagi suatu bahasa. Dalam suatu bahasa, ada dua ragam yang berbeda, yaitu satu sebagai ragam tinggi/ragam Hdan satunya lagi sebagai ragam rendah/ragam Fungsi-fungsi untuk ragam H biasanya formal, sedangkan fungsiuntuk ragam L biasanya untuk informal, kekeluargaan, dan santai
2. Prestise
Prestise berhubungan dengan sikap penutur dalam guyup diglosia/masyarakat tutur. Ragam High (tinggi) itu lebih unggul, lebih gagah, dan lebih nalar, Ragam Low (rendah) dianggap lebih rendah, bahkan keberadaannya cenderung dihilangkan. Kalau kita mengikuti kerangka Furgeson, dapat dikatakan bahwa bahasa Indonesia merupakan ragam H, sedangkan bahasa daerah merupakan ragam L Dewasa ini, bahasa Indonesia memiliki prestise yang makin lama makin tinggi, sedangkan bahasa daerah kita makin lama makin merosot. Yang dimaksud dengan prestise bahasa ialah tingkat rasa bangga yang ditimbulkan oleh bahasa itu sendiri pada diri penuturnya. Dengan demikian, prestise bahasa dapat dilihat pada sikap penutur terhadap bahasa itu sendiri, baik penutur asli maupun penutur asing. Naik dan turunnya prestise bahasa ini biasanya ditentukan oleh beberapa hal, yaitu (1) tingkat kemampuan bahasa sebagai sarana komunikasi dan (2) tingkat peradaban masyarakat pendukungnya (Samuel, 1996:29). Bahasa Indonesia mulai menanjak prestisenya karena bahasa Indonesia mulai mempunyai kemampuan yang baik. Bangsa Indonesia sebagai pendukung bahasa Indonesia pun tengah mengembangkan peradaban yang oleh masyarakat modern sekarang dianggap tinggi
3. Warisan tradisi tulis-menulis
Warisan tradisi tulis-menulis mengacu pada banyaknya kepustakaan yang ditulis dalam ragam tinggi. Kebiasaan tulis-menulis saat ini merupakan kelanjutan dari tradisi besar masa lalu.
4. Pemerolehan bahasa
Pemerolehan bahasa ragam H dan ragam L. Ragam L dipakai untuk berbicara dengan anak-anak dan dipakai di antara anak-anak sehingga ragam L dipelajari secara normal dan tanpa sadar. Ragam H selalu menjadi bahasa tambahan biasanya melalui pengajaran formal di sekolah.
5. Pembakuan
Karena prestise dan lain-lain, ragam H lebih diutamakan dalam pembakuan bahasa. Kamus, tata bahasa, buku petunjuk lafal, dan buku-buku mengenai pemakaian bahasa yang benar ditulis dalam ragam H.
6. Stabilitas
Diglosia ini memang dikehendaki agar selalu ada dua ragam bahasa dipertahankan dalam satu guyup/masyarakat tutur.
7. Tata bahasa Tentang ciri tata bahasa dapat dikatakan banyak perbedaan kaidah tata bahasa antara ragam H dan ragam L meskipun keduanya merupakan bahasa yang sama.
8. Kosa kata
Sebagian besar kosa kata ragam H dan ragam L memang sama, tetapi dalam situasi diglosia selalu saja ada kosa kata yang berpasangan Terkadang ada kata yang dalam ragam H, tetapi tidak ada dalam ragam L, begitu sebaliknya.
9. Fonologi
Sistem bunyi ragam H dan ragam L membentuk suatu struktur fonologi tunggal. Fonologi ragam L merupakan sistem dasar, sedangkan unsur-unsur fonologi ragam Hmerupakan subsistem (sistem bawahan) dan parasistem (sistem atasan), tetapi tidak dapat dikatakan ada dua struktur yang berbeda.
Konsep diglosia Furgeson, kemudian dikembangkan oleh Fishman. Fishman (dalam Sumarsono dan Partana, 2002:195) mengatakan, perbedaan antara kedwibahasaan dan diglosia, yaitu kedwibahasaan (bilingualisme) mengacu pada penguasaan atas ragam H dan ragam L yang ada dalam masyarakat. sedangkan diglosia mengacu pada persebaran (distribusi) fungsi H dan L dalam ranah-ranah tertentu. Tidak selamanya kedwibahasaan itu dibarengi dengan diglosia, sebagaimana tampak pada penjelasan berikut ini.
1. Diglossia and bilingualism
2. Diglossia without bilingualism
3. Bilingualism without diglossia
4. Neither diglossia nor bilingualism
Fishman dalam Alwasilah (1985:144)
Matriks ini dibaca Dittmar dalam Alwasilah (1985:145):
1. Diglosia dan bilingualisme
Adanya dua bentuk bahasa dalam masyarakat. Distribusi yang stabil atau tetap dari variasi-variasi bahasa sesuai dengan fungsi sosialnya.
2. Diglosia tanpa bilingualisme
Dalam masyarakat bahasa, terdapat perbedaan fungsional yang ketat dari ragam-ragam bahasa sesuai dengan H dan L. Dalam kasus ini adalah perilaku antarkelompok dari kekuatan yang berkuasa (ragam H), yang bukan hanya hidup jauh dari orang-orang biasa, melainkan sengaja membedakan bahasa mereka dari banyak orang. Kasus ini sering ditemukan dalam masyarakat yang pernah dijajah.
3. Bilingualisme tanpa diglosia
Diglosia ditandai dengan distribusi fungsi sosial yang bervariasi sesuai dengan suasana individual ataupun sosial. Jadi, bilingualisme bervariasi sesuai dengan situasi, peran, topik, dan tujuan komunikasi. Dengan demikian, dalam masyarakat banyak ditemukan kasus bilingualisme tanpa diglosia. Situasi seperti ini tidaklah stabil, tetapi bergantung pada perubahan sebagai akibat adanya korelasi dengan parameter-parameter sosial yang sangat bervariasi, misalnya pemukiman kembali dan perpindahan pekerjaan.
4. Tanpa bilingualisme dan diglosia
Jenis ini terdapat pada masyarakat yang terisolasi. Masyarakat yang tidak berhubungan dengan dunia luar. Menurut Fishman, jenis ini jarang ditemukan.
Referensi:
Ringkasan Buku
Aslinda dan Syafyahya, Leni. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung : Refika Aditama
Post a Comment