Ujaran Taksa
Rangkuman Materi Ujaran Taksa
Oleh:
Putik Baihaki
Astri Sandra Pertiwi
Astri Sandra Pertiwi
Ujaran taksa adalah ujaran yang maknanya bisa ditafsirkan bermacam-macam.
Contohnya kalimat :
1) Minggu lalu saya bertemu paus
1) Minggu lalu saya bertemu paus
Maka pasti kita tidak tahu persis apa makna atau maksud ujaran itu. Apakah orang itu mau mengatakan bahwa minggu lalu dia bertemu dengan sejenis ikan besar yang disebut paus; ataukah dia mau mengatakan bahwa minggu lalu dia bertemu dengan pemimpin tertinggi agama Katolik yang berdomisili di kota Roma, yang juga disebut paus. Ketidaktahuan akan kepastian makna ujaran (1) di atas adalah karena di dalam bahasa Indonesia ada dua buah kata paus yang berhomonim. Oleh karena itu, Roskhan (1995) menyatakan salah satu sebab terjadinya ketaksaan adalah karena adanya bentuk-bentuk homonim tersebut.
Sebenarnya bentuk-bentuk homonim bukan menjadi salah satu penyebab ujuran taksa itu. Penyebab ujaran taksa itu adalah:
a. Kekurangan Konteks
Kekurangan konteks merupakan penyebab utama terjadinya ujaran taksa, seperti pada contoh kalimat (1). Andaikan ujaran tersebut berbunyi :
(2) Minggu lalu ketika berlayar ke samudra itu saya bertemu paus.
Maka penambahan frase "ketika berlayar ke samudra itu" menyebabkan makna ujaran tersebut menjadi pasti, yaitu bahwa yang ditemui adalah sejenis ikan besar yang disebut paus. Selain dengan konteks kalimat, konteks situasi juga dapat menghilangkan ketaksaan. Misalnya, kalimat (1) diucapkan oleh seberapa ketika berada di halaman Vatikan atau di kota Roma, akan menjadi jelas bahwa yang ditemui Paus pemimpin tertinggi agama Katolik. Kalau
diucapkan seseorang dalam suatu pelayaran di tengah samudra, juga akan menjadi jelas bahwa yang ditemui adalah paus, sejenis ikan besar.
b. Ketidakcermatan Struktur Gramatikal
Ketaksaan di sini selain karena Ketidakcermatan konstruksi gramatikal, bisa juga terjadi pada konstruksi yang struktur gramatikalnya berterima tetapi berbagai kendali semantik telah menimbulkan ketaksaan pada konstruksi itu. Contohnya kita ambil kasus yang sudah mengklasik dari C. A Mess (1954) yaitu konstruksi :
Sebenarnya bentuk-bentuk homonim bukan menjadi salah satu penyebab ujuran taksa itu. Penyebab ujaran taksa itu adalah:
a. Kekurangan Konteks
Kekurangan konteks merupakan penyebab utama terjadinya ujaran taksa, seperti pada contoh kalimat (1). Andaikan ujaran tersebut berbunyi :
(2) Minggu lalu ketika berlayar ke samudra itu saya bertemu paus.
Maka penambahan frase "ketika berlayar ke samudra itu" menyebabkan makna ujaran tersebut menjadi pasti, yaitu bahwa yang ditemui adalah sejenis ikan besar yang disebut paus. Selain dengan konteks kalimat, konteks situasi juga dapat menghilangkan ketaksaan. Misalnya, kalimat (1) diucapkan oleh seberapa ketika berada di halaman Vatikan atau di kota Roma, akan menjadi jelas bahwa yang ditemui Paus pemimpin tertinggi agama Katolik. Kalau
diucapkan seseorang dalam suatu pelayaran di tengah samudra, juga akan menjadi jelas bahwa yang ditemui adalah paus, sejenis ikan besar.
b. Ketidakcermatan Struktur Gramatikal
Ketaksaan di sini selain karena Ketidakcermatan konstruksi gramatikal, bisa juga terjadi pada konstruksi yang struktur gramatikalnya berterima tetapi berbagai kendali semantik telah menimbulkan ketaksaan pada konstruksi itu. Contohnya kita ambil kasus yang sudah mengklasik dari C. A Mess (1954) yaitu konstruksi :
(3) Lukisan Yusuf
Mess dalam pembicaraannya mengenai aneksi mengatakan konstruksi (3) itu dapat bermakna (a) lukisan itu milik Yusuf, (b) lukisan itu karya Yusuf, dan (c) lukisan itu menampilkan wajah Yusuf. Namun, Mess tidak menjelaskan mengapa konstruksi (3) itu bisa memiliki tiga buah kemungkinan makna. Dia hanya mengatakan karena konstruksi (3) itu bukan sebuah kata majemuk, melainkan aneksi.
Kalau konstruksi (3) itu kita analisis menurut teori komponen makna dari Nida (1979) atau Larson (1989) kiranya penyebab ketaksaan konstruksi (3) itu dapat dijelaskan. Ketaksaan tersebut bersumber pada fitur-fitur makna yang secara inheren dimiliki oleh laksem Yusuf tersebut. Laksem Yusuf sebagai unsur kedua dalam frase lukisan Yusuf memiliki fitur makna [+manusia] yang berpotensi juga untuk memiliki fitur [+pemilik]. Karena itu, jadilah konstruksi itu memiliki makna gramatikal 'lukisan milik Yusuf'.
c. Kekurangan Tanda Baca
Kekurangan tanda baca, dapat menyebabkan ketaksaan hanya pada bahasa ragam tulis karena ragam tulis tidak 'mempunyai' intonasi yang diperlukan dalam bahasa lisan. Contohnya :
(4) Buku sejarah baru
Konstruksi (4) itu menjadi taksa karena dapat ditafsirkan bermakna (a) buku itu mengenai sejarah baru, atau (b) buku baru itu mengenai sejarah. Jadi makna (a) menyatakan yang baru adalah sejarahnya sedangkan, makna (b) yang baru adalah bukunya. Menurut pedoman EYD ketaksaan pada konstruksi (4) akan hilang jika antara satuan-satuan leksikal yang secara semantis berdekatan diberi tanda hubung (-). Maksudnya, untuk menyatakan makna (a) buku itu mengenai sejarah baru, perlulah antara kata sejarah dan kata baru di beri tanda hubung menjadi: Buku sejarah-baru.
Mess dalam pembicaraannya mengenai aneksi mengatakan konstruksi (3) itu dapat bermakna (a) lukisan itu milik Yusuf, (b) lukisan itu karya Yusuf, dan (c) lukisan itu menampilkan wajah Yusuf. Namun, Mess tidak menjelaskan mengapa konstruksi (3) itu bisa memiliki tiga buah kemungkinan makna. Dia hanya mengatakan karena konstruksi (3) itu bukan sebuah kata majemuk, melainkan aneksi.
Kalau konstruksi (3) itu kita analisis menurut teori komponen makna dari Nida (1979) atau Larson (1989) kiranya penyebab ketaksaan konstruksi (3) itu dapat dijelaskan. Ketaksaan tersebut bersumber pada fitur-fitur makna yang secara inheren dimiliki oleh laksem Yusuf tersebut. Laksem Yusuf sebagai unsur kedua dalam frase lukisan Yusuf memiliki fitur makna [+manusia] yang berpotensi juga untuk memiliki fitur [+pemilik]. Karena itu, jadilah konstruksi itu memiliki makna gramatikal 'lukisan milik Yusuf'.
c. Kekurangan Tanda Baca
Kekurangan tanda baca, dapat menyebabkan ketaksaan hanya pada bahasa ragam tulis karena ragam tulis tidak 'mempunyai' intonasi yang diperlukan dalam bahasa lisan. Contohnya :
(4) Buku sejarah baru
Konstruksi (4) itu menjadi taksa karena dapat ditafsirkan bermakna (a) buku itu mengenai sejarah baru, atau (b) buku baru itu mengenai sejarah. Jadi makna (a) menyatakan yang baru adalah sejarahnya sedangkan, makna (b) yang baru adalah bukunya. Menurut pedoman EYD ketaksaan pada konstruksi (4) akan hilang jika antara satuan-satuan leksikal yang secara semantis berdekatan diberi tanda hubung (-). Maksudnya, untuk menyatakan makna (a) buku itu mengenai sejarah baru, perlulah antara kata sejarah dan kata baru di beri tanda hubung menjadi: Buku sejarah-baru.
B. Struktur Batin dan Struktur Lahir
Dalam kebanyakan hal makna suatu ujaran dapat dipahami dari urutan kata yang terdapat pada ujaran tersebut atau dari ciri-ciri terntu masing-masing kata yang dipakai.
Dalam kebanyakan hal makna suatu ujaran dapat dipahami dari urutan kata yang terdapat pada ujaran tersebut atau dari ciri-ciri terntu masing-masing kata yang dipakai.
Contohnya :
Lelaki tua itu masih dapat bermain tenis
Dapat dipahami cukup dari urutan kata-kata yang terdengar ataupun yang terlibat oleh kita. Siapapun yang mendengar kalimat itu akan memberikan interpretasi makna yang sama, yakni, adanya seorang lelaki, lelaki itu tua, dia dari dulu sampai sekarang bisa bermain sesuatu, sesuatu itu tenis.
Beberapa contoh dalam bahasa Inggris mungkin akan menggambarkan secara lebih jelas bahwa pemahaman suatu ujaran tidak selalu dapat dilakukan hanya dari wujud kalimat yang kita dengar atau lihat saja. Contohnya kalimat "Flying saucers can be dangerous" merupakan kalimat ambigu, bisa saja kalimat tersebut berarti "menerbangkan piring bisa berbahaya" atau "piring terbang bisa berbahaya".
Perbedaan antara struktur batinndan struktur lahir sangatlah penting untuk pemahaman kalimat karena proses mental yang dilalui manusia dalam menanggapi kalimat - kalimat seperti ini berbeda dengan kalimat yang tidak ambigu. Meskipun konsep struktur batin vs struktur lahir sudah tidak diikuti lagi penggagasannya (Chomsky 1996), dalam kaitannya di kompeherensi ujaran kedua konsep ini rasanya maaih sangat bermanfaat.
C. PROPOSISI
Untuk memahami suatu ujaran kita harus meramu bunyi dan kata-kata sehingga terbentuklah repretasi makna yang mendasarinya. Unit-unit makna pada kalimat dinamakan proposisi (Clark dan Clark 1977:11). Lobner mendefinisikan sebagai aset of the referents of all reffering elements and now they are lingked (Lobner, 2002:23-29 dan 99-122). Dengan kata lain, untuk memahami suatu kalimat kita perlu memahami proposisi yang dinyatakan oleh kalimat tersebut. Proposisi terdiri dari dua bagian: 1) argumen, yakni ihwal yang dibicarakan. 2) predikasi, yakni pernyataan yang dibuat mengenai argumen. Contoh beberapa macam proposisi yaitu:
Kalimat Unit Verbal Nomina
Lelaki tua itu masih dapat bermain tenis
Dapat dipahami cukup dari urutan kata-kata yang terdengar ataupun yang terlibat oleh kita. Siapapun yang mendengar kalimat itu akan memberikan interpretasi makna yang sama, yakni, adanya seorang lelaki, lelaki itu tua, dia dari dulu sampai sekarang bisa bermain sesuatu, sesuatu itu tenis.
Beberapa contoh dalam bahasa Inggris mungkin akan menggambarkan secara lebih jelas bahwa pemahaman suatu ujaran tidak selalu dapat dilakukan hanya dari wujud kalimat yang kita dengar atau lihat saja. Contohnya kalimat "Flying saucers can be dangerous" merupakan kalimat ambigu, bisa saja kalimat tersebut berarti "menerbangkan piring bisa berbahaya" atau "piring terbang bisa berbahaya".
Perbedaan antara struktur batinndan struktur lahir sangatlah penting untuk pemahaman kalimat karena proses mental yang dilalui manusia dalam menanggapi kalimat - kalimat seperti ini berbeda dengan kalimat yang tidak ambigu. Meskipun konsep struktur batin vs struktur lahir sudah tidak diikuti lagi penggagasannya (Chomsky 1996), dalam kaitannya di kompeherensi ujaran kedua konsep ini rasanya maaih sangat bermanfaat.
C. PROPOSISI
Untuk memahami suatu ujaran kita harus meramu bunyi dan kata-kata sehingga terbentuklah repretasi makna yang mendasarinya. Unit-unit makna pada kalimat dinamakan proposisi (Clark dan Clark 1977:11). Lobner mendefinisikan sebagai aset of the referents of all reffering elements and now they are lingked (Lobner, 2002:23-29 dan 99-122). Dengan kata lain, untuk memahami suatu kalimat kita perlu memahami proposisi yang dinyatakan oleh kalimat tersebut. Proposisi terdiri dari dua bagian: 1) argumen, yakni ihwal yang dibicarakan. 2) predikasi, yakni pernyataan yang dibuat mengenai argumen. Contoh beberapa macam proposisi yaitu:
Kalimat Unit Verbal Nomina
a. Sulaeman menyanyi menyanyi Sulaeman
b. Santi sedang menulis sedang menulis Santi
Pada contoh di atas menyanyi dan sedang menulis adalah predikasi, sedangkan Sulaeman dan Santi adalah argumen. Karena argumen bisa apa atau siapa saja dan predikat juga bisa bermacam-macam. Maka, proposisi umumnya digambarkan dengan formula X {y, z} yang berarti "fungsi X terhadap y dan z". Suatu kalimat bisa mengandung lebih dari satu proposisi,
b. Santi sedang menulis sedang menulis Santi
Pada contoh di atas menyanyi dan sedang menulis adalah predikasi, sedangkan Sulaeman dan Santi adalah argumen. Karena argumen bisa apa atau siapa saja dan predikat juga bisa bermacam-macam. Maka, proposisi umumnya digambarkan dengan formula X {y, z} yang berarti "fungsi X terhadap y dan z". Suatu kalimat bisa mengandung lebih dari satu proposisi,
contohnya :
Preman tua itu mencuri sepeda saya
Terdapat proposisi berikut :
a) Seseorang mencuri sepeda
b) Seseorang itu adalah preman
Preman tua itu mencuri sepeda saya
Terdapat proposisi berikut :
a) Seseorang mencuri sepeda
b) Seseorang itu adalah preman
c) Preman itu tua
d) Sepeda itu sepeda saya
e) Kala yang menyatakan masa lalu (meskipun ini tidak terwujud, tetapi terasakan dalam contoh kalimat di atas)
Pengertian mengenai proposisi ini penting untuk Komprehensi karena kita pahami suatu kalimat sebenarnya adalah proposisi-proposisi itu. Seorang pendengar menerima masukan yang berupa rentetan kata yang disusun secara linear. Dari susunan linear itu pendengar membangun suatu susunan proposisi yang sifatnya heriarkhis. Langkah demi langkah heriakhi yang rendah menuju heriakhi yang lebih tinggi. Yang sering terjadi pada manusia adalah begitu suatu proposisi kalimat dipahami kata-kata yang mewakilinya menjadi tidak penting lagi. Kita bahkan lupa kata-kata apa persisnya yang dipakai penutur tadi. Hal ini terbukti dengan kenyataan bahwa kalau kata harus menyatakan proposisi tersebut, belum tentu kita akan memakai kata-kata dan urutan yang sama.
D. STRATEGI DALAM MEMAHAMI UJARAN
Dalam memahami suatu ujaran, paling tidak ada tiga faktor yang ikut membantu kita. Pertama adalah faktor yang berkaitan dengan pengetahuan dunia. Sebagai anggota masyarakat, kita telah hidup bersama dengan alam sekitar kita. Alam sekitar kita ini memberikan kepada kita pengetahuan-pengetahuan tentang kehidupan didunia. Sebagian dari pengetahuan ini bersifat universal sedangkan sebagian yang lain khusus mengenai masyarakat dimana kita tinggal. Penegtahuan umum bahwa gajah berbadab besar membuat kita menganggap gajah yang berukuran seekor kambing adalah gajah kecil.
Sebaliknya, pengetahuan kita bahwa semut berbadan kecil membuat kita berkata bahwa semut yang panjangnya dua sentimeter adalah semut yang besar, dan sebagainya . dengan demekian, ungkapan gajah kecil dan semut besar harus dipahami dalam konteks tentang pengetahuan dunia.
Pengetahuan tentang dunia yang sifatnya tidak universal adalah pengetahuan yang spesifik terdapat pada budaya atau masyarakat tertentu. Pada masyarakat jawa, misalnya, ada perhitungan hari yang berdasarkan kalender jawa. Menurut kalender jawa, satu minggu terdiri dari lima hari: pon, pahing, legi, wage dan kliwon dalam kombinasinya dengan kalender nasional yang terdiri dari tujuh hari aka nada suatu hari kamis yang bercampur dengan wage. Kamis wage itu adalah kamis sebelum jum’at, dan jum’at sesudah kamis wage adalah jum’at kliwon. Dalam budaya jawa, malam jum’at kliwon (yakni kamis wage malam) adalah malam yang menyeramkan karena pada malam ini banyak setan, jin, dan makhluk halus lain menampakkan diri.
Disamping pengetahuan tentang dunia, dalam memahami ujaran kita juga dibantu oleh faktor-faktor sintaksis. Kalimat terdiri dari konstituen. Konstituen ini juga memiliki struktur tertentu. Struktur konstituen inilah yang membantu kita memahami ujaran. Dengan kata lain, kita memakai strategi-strategi sintaksis untuk membuat kita memahami suatu ujaran. Strategi-strategi ini antara lain adalah :
1. Setelah kita mengidentifikasi kata pertama dari suatu konstituen yang kita dengar, proses mental kita akan mulai mencari kata lain yang selaras dengan kata pertama dalam konstituen tersebut.
2. Setelah mendengar kata yang pertama dalam suatu konstituen, perhatikan apakah kata berikutnya mengakhiri konstruksi itu.
3. Setelah kita mendengar suatu verba, carilah macam semua jumlah argument yang selaras dengan verba tersebut.
4. Tempelkanlah tiap kata baru pada kata yang baru saja mendahuluinya.
5. Pakailah kata atau konstituen pertama dari suatu klausa untuk mengidentifikasi fungsi dari klausa tersebut.
6. Pada bahasa tertentu seperti bahasa inggris, afiks juga dapat memberikan bantuan dalam pemahaman.
E. AMBIGUITAS
Dalam beberapa hal kadang-kadang kita menemukan kalimat yang bermakna lebih dari satu yang umumnya disebut sebagai kalimat yang ambigu atau taksa. Dari segi pemrosesan pemahaman, kalimat yang ambigu memerlukan waktu yang lebih lama untuk diproses. Hal ini terjadi karena pendengaran menerka makna tertentu tetapi ternyata terkaan dia itu salah sehingga dia harus mundur lagi untuk memproses ulang seluruh interpretasi dia.
a. Macam-macam ambiguitas
1) Ambiguitas Leksikal, yaitu macam ambiguitas yang menyebabkannya adalah bentuk leksikal yang dipakai.
Contoh:
d) Sepeda itu sepeda saya
e) Kala yang menyatakan masa lalu (meskipun ini tidak terwujud, tetapi terasakan dalam contoh kalimat di atas)
Pengertian mengenai proposisi ini penting untuk Komprehensi karena kita pahami suatu kalimat sebenarnya adalah proposisi-proposisi itu. Seorang pendengar menerima masukan yang berupa rentetan kata yang disusun secara linear. Dari susunan linear itu pendengar membangun suatu susunan proposisi yang sifatnya heriarkhis. Langkah demi langkah heriakhi yang rendah menuju heriakhi yang lebih tinggi. Yang sering terjadi pada manusia adalah begitu suatu proposisi kalimat dipahami kata-kata yang mewakilinya menjadi tidak penting lagi. Kita bahkan lupa kata-kata apa persisnya yang dipakai penutur tadi. Hal ini terbukti dengan kenyataan bahwa kalau kata harus menyatakan proposisi tersebut, belum tentu kita akan memakai kata-kata dan urutan yang sama.
D. STRATEGI DALAM MEMAHAMI UJARAN
Dalam memahami suatu ujaran, paling tidak ada tiga faktor yang ikut membantu kita. Pertama adalah faktor yang berkaitan dengan pengetahuan dunia. Sebagai anggota masyarakat, kita telah hidup bersama dengan alam sekitar kita. Alam sekitar kita ini memberikan kepada kita pengetahuan-pengetahuan tentang kehidupan didunia. Sebagian dari pengetahuan ini bersifat universal sedangkan sebagian yang lain khusus mengenai masyarakat dimana kita tinggal. Penegtahuan umum bahwa gajah berbadab besar membuat kita menganggap gajah yang berukuran seekor kambing adalah gajah kecil.
Sebaliknya, pengetahuan kita bahwa semut berbadan kecil membuat kita berkata bahwa semut yang panjangnya dua sentimeter adalah semut yang besar, dan sebagainya . dengan demekian, ungkapan gajah kecil dan semut besar harus dipahami dalam konteks tentang pengetahuan dunia.
Pengetahuan tentang dunia yang sifatnya tidak universal adalah pengetahuan yang spesifik terdapat pada budaya atau masyarakat tertentu. Pada masyarakat jawa, misalnya, ada perhitungan hari yang berdasarkan kalender jawa. Menurut kalender jawa, satu minggu terdiri dari lima hari: pon, pahing, legi, wage dan kliwon dalam kombinasinya dengan kalender nasional yang terdiri dari tujuh hari aka nada suatu hari kamis yang bercampur dengan wage. Kamis wage itu adalah kamis sebelum jum’at, dan jum’at sesudah kamis wage adalah jum’at kliwon. Dalam budaya jawa, malam jum’at kliwon (yakni kamis wage malam) adalah malam yang menyeramkan karena pada malam ini banyak setan, jin, dan makhluk halus lain menampakkan diri.
Disamping pengetahuan tentang dunia, dalam memahami ujaran kita juga dibantu oleh faktor-faktor sintaksis. Kalimat terdiri dari konstituen. Konstituen ini juga memiliki struktur tertentu. Struktur konstituen inilah yang membantu kita memahami ujaran. Dengan kata lain, kita memakai strategi-strategi sintaksis untuk membuat kita memahami suatu ujaran. Strategi-strategi ini antara lain adalah :
1. Setelah kita mengidentifikasi kata pertama dari suatu konstituen yang kita dengar, proses mental kita akan mulai mencari kata lain yang selaras dengan kata pertama dalam konstituen tersebut.
2. Setelah mendengar kata yang pertama dalam suatu konstituen, perhatikan apakah kata berikutnya mengakhiri konstruksi itu.
3. Setelah kita mendengar suatu verba, carilah macam semua jumlah argument yang selaras dengan verba tersebut.
4. Tempelkanlah tiap kata baru pada kata yang baru saja mendahuluinya.
5. Pakailah kata atau konstituen pertama dari suatu klausa untuk mengidentifikasi fungsi dari klausa tersebut.
6. Pada bahasa tertentu seperti bahasa inggris, afiks juga dapat memberikan bantuan dalam pemahaman.
E. AMBIGUITAS
Dalam beberapa hal kadang-kadang kita menemukan kalimat yang bermakna lebih dari satu yang umumnya disebut sebagai kalimat yang ambigu atau taksa. Dari segi pemrosesan pemahaman, kalimat yang ambigu memerlukan waktu yang lebih lama untuk diproses. Hal ini terjadi karena pendengaran menerka makna tertentu tetapi ternyata terkaan dia itu salah sehingga dia harus mundur lagi untuk memproses ulang seluruh interpretasi dia.
a. Macam-macam ambiguitas
1) Ambiguitas Leksikal, yaitu macam ambiguitas yang menyebabkannya adalah bentuk leksikal yang dipakai.
Contoh:
“íni bisa”, kita tidak tahu apakah bisa disini berarti racun atau sebagai sinonim dari kata dapat.
2) Ambiguitas Gramatikal, yaitu macam ambiguitas yang penyebabnya adalah bentuk struktur kalimat yang dipakai.
Contoh:
2) Ambiguitas Gramatikal, yaitu macam ambiguitas yang penyebabnya adalah bentuk struktur kalimat yang dipakai.
Contoh:
“Pengusaha wanita itu kaya”, kalimat tersebut adalah ambigu karena pengusaha wanita bisa berarti pengusaha yang berjenis kelamin wanita atau pengusaha yang mendagangkan wanita. Ambiguitas ini muncul karena urutan katanya dan struktur kalimatnya. Jika dibalik, wanita pengusaha, maka tidak akan muncul ambiguitas.
b. Teori pemrosesan kalimat ambigu
1) Garden Path Theory (GPT)
Menurut teori Frazier (1987), orang membangun makna berdasarkan pengetahuan sintaksis. Ada dua prinsipel dalam teori ini: (1) Minimal AttachmentPrinciple (MAP), pada MAP orang menempelkan (Attach) tiap kata yang didengar pada struktur kalimat yang ada pada bahasa tersebut. (2) Late Closure Principle (LCP), pada LCP kita menempelkan kata-kata yang masuk bila memang strukturnya memungkinkan.
2) Constrain Satis Faction Theory
Model-model dalam teori ini mengikuti pandangan kaum koneksionis yang menyatakan bahwa unit-unit pemrosesan awal memiliki kendala daya asosiatif yang berbeda-beda. Menurut teori ini, orang sejak semula memiliki pengetahuan tentang kegandaan makna suatu kata karena pada tiap kata yang didengar akan diberikan fitur-fiturnya.
c. Pemrosesan kalimat non-harfiah
Ada teori yang menyatakan bahwa ada tiga tahap dalam pemrosesan kalimat non- harfiah. Pertama, kita berikan tanggapan secara harfiah untuk tiap kata yang masuk terlebih dahulu. Kedua, kita berikan makna harfiah terhadap kata-kata yang kita
dengar itu. Ketiga, mencari makna lain diluar makna harfiah yang mustahil itu. Dengan pengetahuan kita tentang dunia dimana kita tinggal, akhirnya dapatlah kita memahami makna yang dimaksud.
d. Pemrosesan secara sintaksis atau semantik
Ada dua macam pendekatan yang membantu kita mempersepsi dan memahami ujaran. Kompetensi kita sebagai penutur asli tentang sintaksis bahasa kita tentu merupakan bekal intuitif yang membimbing kita untuk menerima, menolak, meragukan, dan mendeteksi ambiguitas suatu kalimat. Sebagai penutur asli kita juga memiliki intuisi semantik, baik yang sifatnya universal (misalnya, kuda dapat memakai sepatu sedangkan buaya tidak) maupun lokal (mengawini harus dengan pelaku pria).
F. PENYIMPANAN DATA UJAR
Berikut prosesnya, ketika seseorang melihat tinta dan meninggalkan bekas ditempan lain, otomatis “tanpa berpikir” orang tersebut akan berkata “pena”, begitu pula jika kita bertindak sebagai pendengar, kita dapat memahaminya “tanpa berpikir” padahal prosesnya sangat panjang dan kompleks.
1. Pertama, kita harus dapat terlebih dahulu menentukan apakah empat bunyi yang kita dengar itu “p/e/n/a” adalah kata dalam bahasa kita.
2. Kedua, kita harus mengumpulkan fitur-fitur apa yang secara alami melekat pada benda itu. Bentuk fisiknya, ukurannya, fungsinya, warnanya, dsb.
3. Ketiga, kita harus membandingkan dengan benda-benda lain yang fitur-fiturnya tumpang tindih dengan fitur-fitur lain. Missal, pensil, kapur, spidol, stabile, dan maker.
4. Keempat, kita harus memilih diantara benda-benda yang sama itu mana yang memenuhi semua syarat.
Pada dasarnya ada dua pandangan mengenai hal ini, pertama, menyatakan bahwa tiap kata disimpan secara utuh sebagai kata. Kedua, menyatakan bahwa penyimpanan kata dalam minda/benak kita bukan berdasarkan pada kata (word-based) tetapi pada morfem (morpheme-based).
b. Teori pemrosesan kalimat ambigu
1) Garden Path Theory (GPT)
Menurut teori Frazier (1987), orang membangun makna berdasarkan pengetahuan sintaksis. Ada dua prinsipel dalam teori ini: (1) Minimal AttachmentPrinciple (MAP), pada MAP orang menempelkan (Attach) tiap kata yang didengar pada struktur kalimat yang ada pada bahasa tersebut. (2) Late Closure Principle (LCP), pada LCP kita menempelkan kata-kata yang masuk bila memang strukturnya memungkinkan.
2) Constrain Satis Faction Theory
Model-model dalam teori ini mengikuti pandangan kaum koneksionis yang menyatakan bahwa unit-unit pemrosesan awal memiliki kendala daya asosiatif yang berbeda-beda. Menurut teori ini, orang sejak semula memiliki pengetahuan tentang kegandaan makna suatu kata karena pada tiap kata yang didengar akan diberikan fitur-fiturnya.
c. Pemrosesan kalimat non-harfiah
Ada teori yang menyatakan bahwa ada tiga tahap dalam pemrosesan kalimat non- harfiah. Pertama, kita berikan tanggapan secara harfiah untuk tiap kata yang masuk terlebih dahulu. Kedua, kita berikan makna harfiah terhadap kata-kata yang kita
dengar itu. Ketiga, mencari makna lain diluar makna harfiah yang mustahil itu. Dengan pengetahuan kita tentang dunia dimana kita tinggal, akhirnya dapatlah kita memahami makna yang dimaksud.
d. Pemrosesan secara sintaksis atau semantik
Ada dua macam pendekatan yang membantu kita mempersepsi dan memahami ujaran. Kompetensi kita sebagai penutur asli tentang sintaksis bahasa kita tentu merupakan bekal intuitif yang membimbing kita untuk menerima, menolak, meragukan, dan mendeteksi ambiguitas suatu kalimat. Sebagai penutur asli kita juga memiliki intuisi semantik, baik yang sifatnya universal (misalnya, kuda dapat memakai sepatu sedangkan buaya tidak) maupun lokal (mengawini harus dengan pelaku pria).
F. PENYIMPANAN DATA UJAR
Berikut prosesnya, ketika seseorang melihat tinta dan meninggalkan bekas ditempan lain, otomatis “tanpa berpikir” orang tersebut akan berkata “pena”, begitu pula jika kita bertindak sebagai pendengar, kita dapat memahaminya “tanpa berpikir” padahal prosesnya sangat panjang dan kompleks.
1. Pertama, kita harus dapat terlebih dahulu menentukan apakah empat bunyi yang kita dengar itu “p/e/n/a” adalah kata dalam bahasa kita.
2. Kedua, kita harus mengumpulkan fitur-fitur apa yang secara alami melekat pada benda itu. Bentuk fisiknya, ukurannya, fungsinya, warnanya, dsb.
3. Ketiga, kita harus membandingkan dengan benda-benda lain yang fitur-fiturnya tumpang tindih dengan fitur-fitur lain. Missal, pensil, kapur, spidol, stabile, dan maker.
4. Keempat, kita harus memilih diantara benda-benda yang sama itu mana yang memenuhi semua syarat.
Pada dasarnya ada dua pandangan mengenai hal ini, pertama, menyatakan bahwa tiap kata disimpan secara utuh sebagai kata. Kedua, menyatakan bahwa penyimpanan kata dalam minda/benak kita bukan berdasarkan pada kata (word-based) tetapi pada morfem (morpheme-based).
Referensi:
Chaer, Abdul. 2019. Psikolinguistik: Kajian Teoritik. Jakarta: Rineka Cipta
Dardowidjodo, Soenjono. 2012. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia (Ed.2). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Post a Comment