Teknik Pengumpulan Data Kualitatif
Penelitian kualitatif ataupun kuantitatif pada intinya sama yaitu mencari kebenaran keilmuan yang tersembunyi dalam tumpukan data yang kacau, tak teratur, dan menjengkelkan. Tugas Anda sebagai peneliti adalah mencari butir-butir mutiara dari tumpukan data itu. Dalam bagian ini akan dibahas berbagai jenis data dan bagaimana cara mendapatkannya, baik yang lazim dilakukan dalam penelitian kualitatif maupun penelitian kuantitatif. Bagi peneliti bahasa data bahasa atau korpus itu sangat penting dan Anda harus berani "jemput bola". Dalam keseharian kita dapat memperoleh data antara lain dengan: (1) menyimak secara sembunyi-sembunyi dan selektif, (2) mempelajarinya secara formal, dan (3) melakukan elisitasi atau pemancingan dari informan atau responden. Kata kunci dalam bab ini adalah elisitasi yang caranya bisa bermacam-macam tergantung pada dimensi selain kebahasaan, yaitu dimensi lapangan, dimensi pembelajaran, dan dimensi terapan dari penelitian bahasa.
1. Kuesioner
Kuesioner adalah seperangkat pertanyaan atau pemyataan ihwal topik tertentu yang sengaja didesain untuk direspons oleh sekelompok responden penelitian. Kuesioner yang baik dapat direspon oleh berbagai kelompok responden sehingga dengan sekali sebar peneliti mendapatkan informasi ihwal banyak hal secara menyeluruh (cross sectional) dari berbagai kelompok sehingga diperoleh kesimpulan yang sahih. Dalam praktiknya di lapangan seringkali kuesioner dijadikan pelengkap atau digabungkan dengan teknik lain (triangulasi) seperti wawancara dan observasi. Kuesioner juga lazim dipakai sebagai prapenelitian yang diniati untuk mengenal lapangan atau agar peneliti sensitif terhadap konteks lapangan. Agar hasilnya mantap kuesioner itu hams dirancang dengan baik, dikonsultasikan kepada pakar materi yang relevan (mungldn pembimbing skripsi Anda) untuk mendapatkan validasi isi, diuji coba, dianalisis, dan diperbaiki. Baru disebar kepada para responden. Uji-coba kuesioner (piloting) diberikan kepada responden yang memilild karakteristik seperti responden sasaran. Kepada responden uji-coba ajukan pertanyaanpertanyaan berikut:
I. Berapa lama waktu diperlukan untuk merijawab pertanyaan:-pertanyaan dalam kuesioner ini?
2. Apakah instruksinya jelas?
3. Adakah pertanyaan yang ambigu? Bila ada, pertanyaan mana?
4. Adakah pertanyaan yang Anda enggan menjawabnya? Bila ada, yang mana dan mengapa?
5. Adakah topik penting yang terlewatkan dalam kuesioner ini?
6. Apakah desain dan tata letak kuesioner ini menarik?
7. Ada komentar lain?
Anda harus· mengantisipasi kesan, persepsi, dan tingkat pemahaman responden yang beragam terhadap butir-butir kuesioner yang ditanyakan. Bayangkan jika responden itu adalah anak-anak yang belum bisa membaca, orang-orang buta-huruf di suku pegunungan, yang tidak paham bahasa Indonesia, yang belum pernah dijadikan responden, yang cenderung mengikuti pendapat orang lain, yang pemah dikecewakan oleh peneliti sebelum Anda, atau orang yang sudah capai menjadi responden sebelum Anda meneliti. Dengan demildan, Anda harus menghargai waktu, tenaga, dan pikiran mereka dari segala pengorbanan Anda sendiri.
Kuesioner lazim digunakan untuk berbagai penelitian, antara lain sebagai berikut.
1) Survei bahasa, misalnya untuk mengetahui sebaran responden di mana, menggunakan bahasa apa, dan dalam situasi apa.
2) Etnografi, misalnya untuk mengetahui informasi berbagai hal dari masyarakat tertentu termasuk data bahasa.
3) Analisis kebutuhan (needs analysis), misalnya untuk mengetahui kebutuhan sekelompok peserta kursus bahasa Inggris ESP (English for Specific Purposes) atau untuk menyusun kurikulum.
4) Studi sosiolinguistik, misalnya untuk mengetahui sikap responden terhadap bahasa (language attitude).
5) Dialektologi perkotaan, misalnya untuk mengetahui perubahan aksen para penutur dalam konteks komunikasi tertentu.
6) Dialektologi tradisional, misalnya untuk membuat peta bahasa atau isoglosis.
Kuesioner disebarkan untuk direspons oleh sekelompok responden sebagai sampel yang dipilih secara acak bila tujuannya untuk membuat generalisasi. Generalisasi dari satu kelompok atau sampel ke kelompok lain sangatlah berisiko jika pemilihan anggota sampel itu tidak hati-hati. Sampel mesti mewakili populasi atau target population. Semakin besar sampel Anda, semakin berbobot klaim Anda.
Bila kuesioner dipakai bukan untuk membuat generalisasi, misalnya untuk studi kasus sekelompok responden, maka pemilihan sampel lebih bersifat purposif atau teoretis. Dalam kutipan berikut tampak penggunaan kuesioner, wawancara, dan analisis dokumen digunakan saling melengkapi untuk mendapatkan data yang lebih komprehensif.
Agar kuesioner itu baik pertanyaannya harus didesain dengan jelas, komunikatif, dan cukup (tidak kebanyakan dan tidak kekurangan). Berikut adalah sejumlah butir panduan penyusunan kuesioner.
1) Pertanyaan mesti sederhana dan tidak berdwiarti. Jangan ada pertanyaan atau pernyataan yang menampilkan dua tema yang berbeda. Misalnya: "Anda menggunakan bahasa ibu karena kebanggaan terhadapnya atau karena ingin memahami nilainilai budayanya. " Responden akan bingung karena mungkin setuju dengan tujuan memahami budaya, tetapi bukan karena rasa bangga. Pemyataan seperti ini harus dihindari _dengan menjadikannya dua pertanyaan.
2) Pertanyaan tidak menggiring responden untuk setuju dengan bias peneliti. Pertanyaan seperti ini menjebak responden: Dalam hemat Anda wanita /ebih sopan daripada pria?
3) Bila Anda menyajikan pilihan jawaban, sajikan pilihan secukupnya untuk mengakomodasi responden yang beragam.
4) Urutkan butir-butir pertanyaan dari yang paling mudah ke yang paling sulit.
5) Sajikan beberapa butir pertanyaan terkait untuk lebih meyakinkan terutama ihwal topik yang dirasa sangat penting.
6) Ajukanlah pertanyaan yang penting saja.
Ada beberapa jenis pertanyaan yang lazim dipakai dalam kuesioner, antara lain sebagai berikut.
1. Pertanyaan terbuka, misalnya: Setelah mendengarkan kaset ini deskripsikan siapa penutur tersebut.
2. Pertanyaan tertutup, misalnya: Apa kosakata Sunda untuk "nostalgia"?
3. Untuk mengukur persepsi responden terhadap satu kosakata,
Peneliti dapat menawarkan skala sikap. Responden tinggal memberi centang ( v') pada sebuah garis kontinum yang memanjang antara dua titik ekstrim. Teknik ini lazim disebut semantic differential. Cara lain adalah dengan memperdengarkan sebuah kaset pertuturan, lalu responden diminta menilai apakah penutur tersebut memiliki intelegensi tinggi atau rendah.
4. Skala sikap dipakai unfuk mengukur apakah responden sangat
Setuju atau tidak setuju terhadap satu objek sikap. Salah satu skala yang lazim dipakai adalah Likert scale, misalnya, para diplomat asing dan ekspatriat di Indonesia seyogianya diharuskan mengikuti tes bahasa Indonesia sebagai bahasa asing (BIPA) .
5. Pilihan berganda sangat populer untuk menjaringjawaban siswa, misalnya untuk mengukur pemahaman.
6. Pilihan Benar/Salah juga dipakai untuk menjaring respons.
7. Teknik kecoh. Ini lazim dipakai untuk mengetahui sikap responden terhadap bahasa atau dialek tertentu oleh komunitas tertentu.
Sikap dimaksud menunjukkan kecerdasan, persahabatan, kejujuran, keterpercayaan, dan sebagainya. Informasi ini penting misalnya bagi perusahaan asuransi dan toko serba ada agar hatihati menempatkan orang dengan cara dan gaya bicara dalam bahasa atau dialek tertentu agar beroleh simpati dari calon pelanggan. Teknik ini ialah dengan memperdengarkan ujaran dua kali dengan aksen yang berbeda. Responden diminta menilai kedua ujaran itu. Mereka tidak sadar bahwa keduanya diucapkan oleh penutur yang sama.
8. Refleksi atau evauasi diri. Teknik ini lazim digunakan untuk mengetahui pikiran, perasaan, harapan, bahkan kritik responden terhadap satu kegiatan. Agar tidak bias, responden tidak mencantumkan identitas dirinya.
2. Wawancara
Wawancara adalah percakapan terencana antara peneliti dengan responden untuk memancing informasi yang diperlukan dari responden. Anda dapat mewawancara secara perorangan atau kelompok. Cara yang disebut terakhir ini menghemat waktu, dan setiap responden bisa saling melengkapi jawaban. Namun, ada juga kelemahannya. Mereka bisa saling mempengaruhi sehingga pendapat perorangan tidak otentik lagi. Kelebihan wawancara adalah adaptabilitas yang tinggi dengan konteks penelitian. Pewawancara yang baik mampu mengajukan pertanyaan lanjutan (follow-up), mengejar jawaban, dan mencungkil motivasi dan perasaan yang tidak dapat dilakukan melalui kuesioner. Cara responden menjawab seperti nada suara, aksentuasi pengucapan, ekspresi wajah, dan sebagainya merupakan informasi penting yang tidak mungkin terekam oleh kuesioner. Di samping kebaikannya, tentu saja ada kelemahannya, yaitu antara lain:
1) Menyita banyak waktu. Bayangkan Anda mewawancara 100
orang penutur asli bahasa di pedalaman misalnya. Padahal, dengan kuesioner hanya sekali sebar saja.
2) Sangat subjektif sehingga pewawancara bisa terjebak oleh biasnya sendiri.
3) Melakukan transkripsi atas hasil wawancara sangat melelahkan.
4) Menganalisis respon wawancara jauh lebih sulit daripada menganalisis respon kuesioner.
Secara garis besar ada langkah-langkah yang lazim diikuti peneliti, yaitu (a) persiapan, (b) penyusunan kata-kata pancingan, (c) transkripsi data, dan ( d) validasi, yakni meminta informan untuk mengulangi apa yang sudah dianggap benar ihwal kata, frasa, dan sebagainya. Validasi ini kurang lebih sama dengan teknik member checking dalam penelitian etnografi. Sebelum mengwawancara Anda harus menyiapkan alat rekam audio atau video. Memang Anda harus mentranskripsi wawancara itu. Keuntungannya adalah Anda dapat konsentrasi mengwawancara responden, tanpa harus sibuk mencatat. Anda pun bisa jadi korban catatan sendiri ketika tulisan itu tidak terbaca atau tidak lengkap. Rekaman juga dapat didengarkan berulang kali dan sebagai bukti otentik pernyataan responden.
Untuk penelitian bahasa, wawancara dapat digunakan untuk meneliti banyak hal, antara lain sebagai berikut:
a. Psikolinguistik, misalnya untuk meneliti proses berpikir dalam bahasa ibu dan bahasa asing.
b. Sosiolinguistik, misalnya untuk meneliti ragam bahasa yang digunakan pada konteks komunikasi tertentu.
c. Bahasa dan gender, misalnya untuk mengkaji karakteristik linguistik dan nonlinguistik dari ujaran penutur laki-laki dan perempuan.
d. Aksen dan dialek, misalnya untuk meneliti aksen dan dialek anggota masyarakat tertentu.
e. Pemerolehan bahasa pertama, misalnya untuk menjelaskan jenis kosakata apa yang lebih dulu dikuasai pada usia tiga tahun.
f. Pemerolehan bahasa kedua, misalnya untuk menyelidiki fonemfonem yang sulit dikuasai pembelajar Indonesia.
g. Semantik, misalnya membedakan asosiasi kosakata tertentu oleh pembelajar laki-laki dan perempuan.
h. Pragmatik, misalnya untuk mendeskripsi aspek-aspek pragmatik yang sudah dan belum dikuasai orang asing saat berbicara bahasa Indonesia ragam formal.
i. Sintaksis, misalnya untuk mengelisitasi intuisi penutur asli dalam merespons pola kalimat tertentu.
Ada tiga pendekatan terhadap wawancara, yaitu (1) elisitasi bentuk bahasa dari responden, (2) menjaring intuisi responden, dan (3) untuk memancing respons umum untuk kemudian dipilih yang relevan dengan tujuan penelitian.
1. Elisitasi data Ini merujuk pada teknik yang lazim digunakan peneliti bahasa di lapangan untuk mendapatkan data yang diperlukan. Bayangkanlah seorang peneliti yang tidak menguasai bahasa yang ia teliti (sebut saja bahasa X) berbicara dengan beberapa responden. Ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan beruntun dan dalam waktu relatif singkat ia mampu melahirkan sebuah deskripsi bahasa X, misalnya sistem bunyi bahasa X, nominalisasi dalam bahasa X, dan sebagainya. Peneliti itu tahu betul apa yang dicarinya sehingga ia akan mengontrol proses elisitasi dengan menggunakan pertanyaan atau pemyataan tertentu. Sifat-sifat dasar pemancingan itu antara lain sebagai berikut:
a. Tuturan yang dipancing dari responden biasanya pendekpendek (kalimat tunggal) dan besar kemungkinan satu sama lain tidak terkait secara konteks. Jauh lebih penting tercapainya mutu penelitian daripada banyaknya data. Menurut Samarin, 20 sampai 30 ujaran sudah cukup untuk kerja lapangan selama 60 menit (Samarin 1988: 164)
b. Pemancingan berfokus pada aspek tertentu (sistem bahasa X) dan berurut pada aspek lainnya, misalnya bergerak dari tataran fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, pragmatik, wacana, dan sebagainya.
Walaupun bercirikan demikian, peneliti memiliki intuisi dan logika kebahasaan yang tajam sehingga mampu membuat sebuah rumus sementara untuk direvisi berdasarkan data yang diperoleh kemudian hari. Pertanyaan yang diajukan mungkin seperti berikut:
a. Untuk memancing kosakata kegiatan diajukan pertanyaan: Apa kegunaan alat ini? (sambil ditunjukkan sebuah cangkul). Atau bila ada gambar atau video orang yang sedang mencangkul, pertanyaannya mungkin Apa yang sedang ia lakukan?
b. Bisa juga mengajukan pertanyaan langsung seperti Apa bahasa X-nya ini? (sambil menunjuk pada sebuah cangkul).
c. Untuk memancing verba dapat diajukan pertanyaan seperti Apa yang Anda lakukan di pagi hari? Persisnya apa yang Anda lakukan? Pertanyaan terus berantai untuk misalnya memancing ada atau tidak adanya tenses, morfem singular atau plural, dan lain sebagainya.
d. Untuk memancing pronomina bisa diajukan paradigma Bila ini (jam tangan) milik saya, maka ini milikku. Dan, terus berlanjut dengan stimulus lain untuk memancing segala bentuk pronomina dalam bahasa itu.
e. Untuk menanyakan sikap responden terhadap aspek bahasa misalnya Apakah Anda suka logat (aksen) orang-orang di sini? Pertanyaan langsung ihwal bahasa mungkin hanya diajukan pada responden yang berpendidikan. Orang awam mungkin tidak cukup terampil menggunakan metabahasa untuk mendeskripsikannya.
2. Menjaring intuisi Setiap orang memiliki intuisi kebahasaan yang sangat abstrak dan ada di belakang produksi ujaran. Pengalaman, perasaan, dan intuisi kebahasaan sangat subjektif, tetapi tetap merupakan data yang harus diperhitungkan. Berikut ini sejumlah karakteristik tentang data intuisi dan relevansinya dengan kegiatan penelitian.
a. Intuisi dipanggil lewat refleksi dan retrospeksi terhadap pengalaman berbahasa. Misalnya: Ceritakan bagaimana Anda mengatasi kesulitan tatkala Anda lupa istilah yang tepat untuk itu? Apakah Anda merencanakan untuk mengatakan ungkapan demikian? dan sebagainya.
b. Saat mengungkapkan intuisi (berbicara pada dirinya sendiri) responden cenderung berbicara perlahan atau berbisik. Dekatkan mikrofon atau alat rekam ke mulutnya.
c. Banyak pihak yang meragukan kesahihan intuisi sebagai data penelitian bahasa. Mereka yang tidak berlatar belakang pendidikan bahasa tidak memiliki perangkat metalinguistik yang canggih untuk membahasakan intuisi sebagai proses kerja otak. Karena itu, data intuisi dan data korpus sebaiknya dimanfaatkan untuk saling melengkapi.
3. Memancing respons umum Berbeda dengan dua teknik di atas, teknik ini kurang terfokus atau terkontrol seperti pada dua teknik di atas. Mungkin Anda tidak ingin memberi tahu responden bahwa Anda akan merekam ujarannya. Anda merasa bila diberi tahu dulu ia tidak akan berbahasa secara alami. Atau Anda ingin mengumpulkan data secara personal data ujaran tetangga ketika "ngerumpi" di sore hari. Anda juga dapat menggunakan rekaman yang sudah ada untuk penelitian. Jadi, Anda berangkat dari data yang sudah ada di kaset, baru merumuskan metodologinya.
4. Pemancingan analitis. Ini merujuk pada pemancingan lebih lanjut dari data yang sudah ada. Misalnya saja berdasarkan data terdahulu were berpasangan dengan subjek jamak seperti they, namun muncul berpasangan dengan subjek singular seperti I. Peneliti melakukan pancingan untuk menemukan pola-pola subjunctive were. Pemancingan ini juga bersifat eksperimental, misalnya peneliti memiliki hipotesis tertentu dan mengujicobanya lewat kalimat dan meminta validasi dari responden. Terkait dengan analisis di atas, Samarin (1988) mengklasifikasi teknik elisitasi untuk memperoleh informasi dari responden, bergantung pada tahap penelitian dan pada tujuan yang ingin dicapai. Teknik-teknik itu antara lain: pemancingan terjema~an, pemancingan substitusi, pemancingan korektif, pemancingan tambahan, pemancingan parafrasa, dan pemancingan tersembunyi.
3. Observasi
Dari namanya saja observasi, yakni hanya mengamati, tidak memanipulasi apa-apa. Yang diamati dibiarkan berjalan apa adanya secara naturalistik. Observasi bukan nonton (seperti pertunjukan wayang), tetapi pencermatan yang direncanakan dengan matang dengan fokus pada aspek tertentu saja. Dalam pertunjukan wayang, misalnya, fokus observasi hanya pada perilaku pertuturan sang dalang. Jadi, perilaku pesinden, penabuh, penonton, dan pedagang asongan diabaikan saja. Observasi bisa tersembunyi seperti dilakukan seorang matamata, terbuka (diketahui responden), melalui rekaman video (sehingga bisa diobservasi berulang-ulang). Pada hakikatnya observasi bersifat kualitatif, yakni merekam, transkripsi apa yang dilihat, catatan lapangan (observation notes), ihwal perilaku bahasa responden, baik lisan maupun tulis. Pada akhimya Anda bisa saja melakukan penghitungan kemunculan fenomena sehingga akhimya Anda menyimpulkan dengan percaya diri, misalnya, semakin tinggi penguasaan bahasa Inggris responden, semakin sedikit pemakaian istilah asing dalam ceramahnya.
Observasi dapat digunakan dalam berbagai penelitian linguistik, antara lain sebagai berikut:
a. Psikolinguistik, misalnya meneliti bagaimana ujaran orang yang pemah mengalami gegar otak.
b. Pemerolehan bahasa ibu, misalnya meneliti bagaimana morfem tertentu disalah-gunakan oleh anak usia dini.
c. Pemerolehan bahasa kedua, misalnya mendeskripsi proses belajar bahasa Inggris di sebuah sekolah dasar.
d. Literasi, misalnya mendeskripsi profil literasi pegawai Pemda Provinsi Jabar.
e. Studi aksen dan dialek, inisalnya menelaah bagaimana perilaku ABG (anak baru gede) menirukan aksen dan dialek Jakarta atau aksen MTV.
f. Sosiolinguistik, misalnya meneliti perbedaan pertuturan orang keluarga mampu dan tidak mampu sewaktu mereaksi adanya gelombang Tsunami di Aceh.
g. Bahasa dan gender, misalnya mengamati bagaimana laki-laki dan perempuan membahasakan fenomena perselingkuhan dalam talkshow di TV.
h. Analisis percakapan, misalnya mendeskripsi percakapan antara penjaga pameran komputer dengan pengunjung yang berbeda karakteristiknya (usia, gender, status, dan sebagainya). Dibandingkan dengan teknik lain, observasi memiliki sejumlah kelebihan sebagai berikut:
a. Observasi mengungkap perilaku responden yang tidak terpancing (non-elicited behavior) seperti perilaku paralinguistik, kesalahan pengucapan, suasana alami seperti hiruk pikuknya acara karena lampu padam, dan fenomena lainnya yang tidak akan terjaring oleh instrumen lain. Ini semua memperkaya data sehingga pandangan kita ihwal bahasa semakin komprehensif dan kontekstual.
b. Observasi relatif mudah dilakukan. Dengan mengobservasi rekaman yang sudah dibuat, Anda dapat menghindari kesulitankesulitan dalam pengumpulan data. Observasi juga dapat dilakukan pada tahap perencanaan penelitian, untuk membangun kepekaan masalah, substansi, prosedur dan melengkapi informasi yang dijaring teknik lain. Seorang mahasiswa mendapat kesulitan menyusun angket ihwal problem pembelajaran membaca di SMP. Ia disarankan untuk mengobservasi kelas beberapa kali. Dari observsi itu, ia dapat mengembangakan angket dengan baik. Di samping kelebihan-kelebihannya, observasi juga memiliki sejumlah kelemahan, antara lain sebagai berikut:
a. Data yang terkumpul cenderung melimpah karena terlampau banyak informasi "tak terundang" (unelicited data) sehingga sulit untuk menentukan informasi yang relevan dengan fokus penelitian.
b. Apa yang diamati secara alami sering kali berubah secara tibatiba (misalnya guru kelas tiba-tiba sakit dan diganti guru lain) sehingga rencana berubah.
c. Apa yang menjadi fokus penelitian bisa jadi tidak ditemukan dalam satu observasi sehingga perlu dilakukan beberapa observasi.
Berdasarkan hal-hal di atas, sebagai peneliti pemula Anda sebaiknya memperhatikan hal-hal berikut ini.
a. Dari awal Anda sudah yakin bahwa fenomena yang dicari itu frekuensi pemunculannya relatif tinggi. Pemunculan fenomena ulah-alih kode Indonesia-Inggris pada guru kelas bahasa Inggris di SD misalnya relatif lebih tinggi daripada fenomena siswa mogok belajar.
b. Berbagai sumber data menghasilkan fenomena yang berbeda. Anda harus mampu mengidentifikasi sumber itu. Salah ucap, bila itu menjadi fokus penelitian, akan sulit diperoleh dari seseorang yang berpendidikan tinggi. Tetapi, itu akan mudah dipancing dengan menampilkan bahan bacaan yang tidak dikenal responden.
c. Ingat peran Anda sebagai peneliti. Andaikan Anda terlibat langsung (participant observer) dalam kegiatan, Anda tidak boleh mengatur atau memanipulasi sehingga kegiatan menjadi tidak alami.
d. Dalam setiap observasi Anda harus siap dengan daftar ceklis yang telah dipersiapkan jauh hari. Dengan ceklis Anda akan menghitung frekuensi kemunculan fenomena untuk mencari pola. Selama observasi Anda juga harus membuat catatan observasi (observation notes), termasuk catatan kritis ihwal substansi ataupun prosedur penelitian.
4. Studi Kasus
Studi kasus cocok dilakukan untuk meneliti seorang responden memiliki perilaku yang layak dicermati dengan saksama (dijadikan objek penelitian). Studi kasus lazimnya mengombinasikan teknikteknik observasi, wawancara, tes, dan didukung oleh informasi dari berbagai pihak seperti orang tua, guru, sejawat, serta informasi dalam bentuk catatan dan arsip resmi dan tak resmi. Penelitian proses menulis, misalnya, memerlukan observasi para penulis sewaktu "in action". Untuk itu tidak perlu banyak responden, satu dua responden pun cukup menjadi responden studi kasus. Sebelum melakukan penelitian seyogianya Anda mendapat izin responden atau yang terkait (orangtua, dokter, penyuluh, pelatih, guru, kepala sekolah, dan sebagainya). Anda mungkin harus beberapa kali mengunjungi responden dalam periode tertentu sesuai kebutuhan. Dalam hal ini, Anda harus memperhitungkan .biaya yang harus dikeluarkan Anda sendiri atau penyandang beasiswa. Berikut adalah contoh studi-studi kasus yang layak dilakukan.
1) Fenomenanya sangat khas sehingga tidak tepat digabungkan dengan fenomena sejenis dari responden lain. Andaikan ada orang mengalami gegar otak sehingga kemampuan berbahasa Indonesianya hilang atau berkurang. Setelah sembuh ia berupaya mempelajari kembali bahasa Indonesia. Nah, kasus ini merupakan fenomena luar biasa untuk diteliti!
2) Fenomena yang diteliti sangat kompleks sehingga memerlukan kajian tuntas dan cermat untuk memperoleh gambaran lengkap (thick description) dari fenomena itu. Misalnya, pemerolehan bahasa ibu atau bahasa asing, seperti yang dilakukan Dardjowidjojo selama lima tahun meneliti perkembangan pemerolehan bahasa Indonesia dari responden Echa (2000).
3) Studi kasus dapat juga ihwal sebuah lembaga. Misalnya Pesantren Gontor di Jawa Timur sangat fenomenal dalam hal penggunaan bahasa Inggris dan Arab sebagai bahasa sehari-hari. Anda dapat meneliti fenomena ini.
Kelebihan dari studi kasus, antara lain, konsentrasi penuh pada satu responden penelitian. Anda pun dapat mengatur jadwal secara fleksibel berdasarkan kesepakatan dengannya. Hasil studi kasus lazimnya sangat komprehensif sehingga Anda menguasai detil-detil fenomena yang diteliti. Perlu diyakini sejak awal bahwa studi kasus diniati untuk mendeskripsi bukan untuk membuat generalisasi.
Walaupun demikian, studi kasus memiliki sejumlah kelemahan sebagai berikut:
1) Mengandalkan data pada seorang responden mengandung risiko. Kepribadian, ketidakmampuan (kelemahan fisik atau psikis).rasa cemas, dan sikap negatif seorang responden kadang sulit ditangani. Seorang anak mungkin suatu waktu menolak untuk diobservasi atau diwawancara.
2) Risiko lain dari penelitian yang berjangka waktu lama (longitudinal study) adalah kemungkinan responden pindah tempat tinggal sehingga studi bisa terhenti di tengah jalan.
3) Karena kontak yang lama, Anda bisa terperangkap menjadi bagian dari keluarga yang diteliti. Akibatnya, objektivitas penelitian berkurang dan fokus penelitiaan menjadi tidak terarah.
Bagaimana mengantisipasi berbagai kesulitan di atas? Ada sejumlah cara sebagai berikut.
1) Studi kasus memakan waktu lama, jadi perlu komitmen dari responden. Memilih responden yang sudah Anda kenal akan jauh
lebih baik daripada orang yang belum atau baru Anda kenal.
2) Bila respondennya seorang anak, Anda harus mendapat izin dari orang tua atau walinya. Upayakan agar mereka tidak merasa tersisihkan ketika penelitian berlangsung. Libatkan mereka sepanjang tidak mencampuri penelitian.
3) Sebelum melakukan penelitian, sebaiknya Anda melakukan observasi pendahuluan untuk pengenalan lapangan. Observasi ini penting untuk menyusun tes (bila perlu) atau pertanyaan pancingan bagi responden.
4) Jangan biarkan data menumpuk. Lakukan trankripsi dan analisis data sedini mungkin tahap demi tahap.
Referensi:
Alwasilah, A. Chaedar. 2005. Pengantar Penelitian Linguistik Terapan. Jakarta : Pusat Bahasa
Post a Comment