Pembelajaran Bahasa
Rangkuman Materi Pembelajaran Bahasa
Oleh:
Ajeng Anggraeni
Zizin Ayu Wulandari
A. Sejarah Pembelajaran Bahasa
Pembelajaran bahasa ada sejak timbulnya interaksi antara dua masyarakat atau lebih yang memiliki bahasa berbeda. Kemudian disadari bahwa suatu bahasa lain diperlukan bukan hanya untuk sekadar berinteraksi, melainkan juga untuk memenuhi kebutuhan lain seperti mempelajaru ilmu, maka muncullah lembaga-lembaga pendidikan yang juga menyajikan pembelajaran bahasa kedua. Menurut Nurhadi (1990) dalam sejarah perkembangan pembelajaran bahasa ada empat tahap penting yang dapat diamati sejak 1880 sampai dasawarsa 80-an.
a. Tahap Pertama (1880-1920).
Pembelajaran bahasa ada sejak timbulnya interaksi antara dua masyarakat atau lebih yang memiliki bahasa berbeda. Kemudian disadari bahwa suatu bahasa lain diperlukan bukan hanya untuk sekadar berinteraksi, melainkan juga untuk memenuhi kebutuhan lain seperti mempelajaru ilmu, maka muncullah lembaga-lembaga pendidikan yang juga menyajikan pembelajaran bahasa kedua. Menurut Nurhadi (1990) dalam sejarah perkembangan pembelajaran bahasa ada empat tahap penting yang dapat diamati sejak 1880 sampai dasawarsa 80-an.
a. Tahap Pertama (1880-1920).
Pada tahap ini terjadi rekonstruksi bentuk-bentuk metode yang pernah digunakan atau dikembangkan pada zaman Yunani dan diterapkan di sekolah-sekolah (biasanya sekolah biara). Selain itu, dikembangkan juga metode bunyi (phonetic method) yang juga berasal dari Yunani.
b. Tahap kedua (1920-1940).
b. Tahap kedua (1920-1940).
Pada tahap ini di Amerika dan Kanada terbentuk forum belajar bahasa asing yang kemudian menghasilkan aplikasi metode-metode yang bersifat kompromi yang merupakan perluasan dari metode-metode pengajaran membaca yang sudah ada, dikaitkan dengan tujuan-tujuan pengajaran bahasa yang lebih khusus.
c. Tahap ketiga (1940-1970).
c. Tahap ketiga (1940-1970).
Munculnya tahapan ini dilatarbelakangi oleh situasi peperangan (Perang Dunia II), orang-orang berikhtiar mencasi metode belajar bahasa asing yang paling cepat dan efisien untuk dapat berkomunikasi dengan pihak-pihak yang bertikai. Tahap ini secara teori dibagi menjadi tiga periode, yaitu ;
Periode 1940-1950, ditandai dengan lahirnya metode American Army Method yang lahir dari markas militer Amerika untuk keperluan ekspansi perang. Dalam dunia linguistic muncul juga pendekatan baru yaitu pendekatan linguistik yang merupakan imbas dari lahirnya pandangan strukturalis dalam bidang kebahasaan. Periode 1950-1960, ditandai dengan munculnya metode audiolingual di Amerika dan metode audiovisual di Inggris dan Prancis, sebagai tanda langsung dari keberhasilan American Army Method. Dalam sejarah pembelajaran bahasa periode ini ditandai juga dengan munculnya minat terhadap kajian Psikolinguistik yang ditandai dengan terbitnya buku Osgood dan Sebeok yang berjudul Psycholinguistic : A Survey of Theory and Research Problem (1954)
Periode 1960-1970, merupakan awal runtuhnya metode audiolingual dan audiovisual karena hasil studi psikolinguistik dan pandangan Noam Chomsky menyatakan bahwa kedua metode ini bersandar pada teori stimulus-respons atau model tubian dan imitasi yang dalam pembelajaran bahasa tidak mempunyai landasan teori yang logis.
d. Tahap keempat (1970-1980).
d. Tahap keempat (1970-1980).
Merupakan periode yang paling inovatif dalam sejarah pembelajaran bahasa. Konsep dan hakikat belajar bahasa dirumuskan kembali; kemudian diarahkan pada pengembangan sebuah model pembelajaran yang efektif dan efisien yang dilandasi oleh teori yang kokoh. Akhir periode ini ditandai dengan munculnya suatu pendekatan yang sekarang dikenal dengan nama pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa. Dalam kurikulum 1994 yang sudah diganti Kurikulum Tingkat Satuan Pendidiksn (KTSP) pendekat an komunikatif inilah yang diberlakukan dalam pembelajaran bahasa.
B. Jenis-Jenis Pembelajaran Bahasa
a. Audiolingual
a. Audiolingual
Jenis pembelajaran ini sangat mengutamakan pengulangan, bahasa yang diajarkan dicurahkan pada lafal kata, dan pelatihan pola kalimat berkali-kali secara intensif. Langkah-langkah yang dilakukan apabila menggunakan jenis pembelajaran ini adalah
(a) Penyajian dialog atau teks pendek yang dibacakan pengajar berulang-ulang dan siswa menyimak tanpa melihat teks yang dibaca
(b) Peniruan dan penghafalan teks secara serentak
(c) Penyajian kalimat dilatihkan dengan pengulangan
(d) Pembentukan kalimat lain yang sesuai dengan yang dilatihkan
(a) Penyajian dialog atau teks pendek yang dibacakan pengajar berulang-ulang dan siswa menyimak tanpa melihat teks yang dibaca
(b) Peniruan dan penghafalan teks secara serentak
(c) Penyajian kalimat dilatihkan dengan pengulangan
(d) Pembentukan kalimat lain yang sesuai dengan yang dilatihkan
b. Komunikatif
Pembelajaran dispesifikkan ke dalam tujuan konkret yang merupakan produk akhir. Maksud dari produk akhir adalah sebuah informasi yang dapat dipahami, ditulis, diutarakan, atau disajikan ke dalam nonlinguistis.
c. Pembelajaran Langsung
c. Pembelajaran Langsung
Belajar bahasa yang baik adalah belajar langsung menggunakan bahasa secara intensif dalam komunikasi. Tujuan jenis pembelajaran ini adalah penggunaan bahasa secara lisan agar siswa dapat berkomunikasi secara alamiah seperti penggunaan B1 di masyarakat. Siswa diberi latihan-latihan untuk mengasosiasikan kalimat dengan artinya melalui demonstrasi, peragaan, gerakan, serta mimik secara langsung.
d. Partisipatori
d. Partisipatori
Dalam jenis pembelajaran ini siswa dituntut untuk lebih aktif,dinamis, dan berlaku sebagai subjek. Namun, bukan berarti pengajar harus pasif, tetapi juga harus aktif dalam memfasilitasi belajar siswa dengan suara, gambar,tulisan dinding, dan sebagainya.
e. Tematik
e. Tematik
Semua komponen materi pembelajaran diintegrasikan ke dalam tema yang sama dalam satu unit pertemuan. Yang perlu dipahami adalah bahwa tema bukanlah tujuan tetapi alat yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tema tersebut harus diolah dan disajikan secara kontekstualitas, kontemporer,konkret, dan konseptual.
f. Quantum Learning
f. Quantum Learning
Merupakan metode pendekatan belajar yang bertumpu dari metode Freiredan Lozanov. QL mengutamakan kecepatan belajar dengan cara partisipatori peserta didik dalam melihat potensi diri dalam kondisi penguasaan diri. Jenis pembelajaran ini mengacu pada kemampuan otak kanan dan otak kiri siswa.
C. Faktor-Faktor Penentu dalam Pembelajaran Bahasa Kedua
a. Faktor Motivasi
a. Faktor Motivasi
Dalam pembelajaran bahasa kedua ada asumsi yang menyatakan bahwa orang yang di dalam dirinya ada keinginan, dorongan, atau tujuan yang ingin dicapai dalam belajar bahasa kedua cenderung akan lebih berhasil dibandingkan dengan orang yang belajar tanpa dilandasi oleh suatu dorongan, tujuan, atau motivasi itu. Motivasi dalam pembelajaran bahasa kedua memiliki dua fungsi; fungsi integratif dan fungsi instrumental. Motivasi berfungsi integratif apabila dorongan untuk belajar bahasa kedua karena ingin berkomunikasi dengan masyarakat penutur bahasa tersebut.
Sedangkan motivasi berfungsi instrumental apabila dorongan untuk belajar bahasa kedua karena ingin memperoleh pekerjaan atau mobilitas sosial pada lapisan atas masyarakat.
b. Faktor Usia
b. Faktor Usia
Ada anggapan bahwa dalam pembelajaran bahasa kedua bahwa anak-anak lebih baik dan lebih berhasil dalam pembelajaran bahasa kedua dibandingkan orang dewasa (Bambang Djunaidi,1990). Anak-anak lebih berhasil daripada orang dewasa dalam
pemerolehan sistem fonologi atau pelafalan, sedangkan orang dewasa maju lebih cepat dalam permulaan masa belajar.
c. Faktor Penyajian Formal.
pemerolehan sistem fonologi atau pelafalan, sedangkan orang dewasa maju lebih cepat dalam permulaan masa belajar.
c. Faktor Penyajian Formal.
Peyajian pembelajaran bahasa secara formal tentu memiliki pengaruh terhadap kecepatan dan keberhasilan dalam memperoleh Bahasa kedua karena berbagai faktor dan variabel telah dipersiapkan dan diadakan dengan sengaja. Demikian juga keadaan lingkungan pembelajaran Bahasa kedua secara formal, di dalam kelas sangat berbeda dengan lingkungan pembelajaran Bahasa kedua secara naturalistik atau alami.
d. Faktor Bahasa Pertama
d. Faktor Bahasa Pertama
Bahasa pertama telah lama dianggap menjadi penggangu di dalam proses pembelajaran bahasa kedua. Hal ini karena biasa terjadi pada seorang pembelajar secara sadar atau tidak melakukan transfer unsur-unsur bahasa pertamanya ketika menggunakan Bahasa kedua. Akkibatnya, terjadilah yang disebut interferensi, alih kode, campur kode, atau kekhilafan (error). Pengaruh Bahasa pertama dalam bentuk transfer ketika berbahasa kedua akan besar sekali apabila si pembelajar tidak terus-menerus diberikan stimulus bahasa kedua.
e. Pengaruh Lingkungan
e. Pengaruh Lingkungan
Kualitas lingkungan bahasa sangat penting bagi seorang pembelajar untuk dapat berhasil dalam memperlajari bahasa baru. Yang dimaksud lingkungan bahasa adalah segala hal yang didengar dan dilihat oleh pembelajar sehubungan dengan Bahasa kedua yang dipelajari. Lingkungan bahasa ini dapat dibedakan atas; lingkungan formal seperti di kelas dalam proses belajar-mengajar dan lingkungan informal atau natural/alamiah. Dalam lingkungan formal kemampuan yang diharapkan adalah penguasaan ragam bahasa formal atau bahasa baku, untuk digunakan dalam situasi dan keperluan formal. Sedangkan dalam lingkungan informal yang diharapkan adalah kemampuan atau penguasaan akan ragam bahasa informal untuk digunakan dalam situasi atau keperluan formal. Namun, kemampuan berbahasa informal lebih dikuasai dari kemampuan berbahasa formal karena kesempatan untuk berbahasa informal jauh lebih luas daripada kesempatan untuk berbahasa formal.
D. Transfer dan Interferensi
Dalam pembelajaran bahasa kedua, bahasa pertama “dapat menganggu” penggunaan bahasa kedua pembelajar. Pembelajar akan cenderung mentransfer unsur bahasa pertamanya ketika melaksanakan penggunaan bahasa kedua. Akibatnya terjadilah apa yang dalam kajian sosiolinguistik disebut interferensi. Interferensi ini dapat terjadi pada semua tataran bahasa: fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon.
Contoh interferensi pada tataran fonologi terjadi pada penutur bahasa Indonesia berasal dari Bali yang selalu mengucapkan fonem apikoalveolar [t] menjadi bunyi apikoalveolar retrofleks [t]. Contoh interferensi pada bidang morfologi antara lain terdapat dalam pembentukan kata dengan afiks. Banyak penutur bahasa Indonesia menggunakan sufiks dalam pembentukan kata bahasa Indonesia seperti neonisasi, tendanisasi, dan turinisasi. Bentuk-bentuk tersebut merupakan penyimpangan dari sistematik morfologi bahasa Indonesia sebab untuk membentuk nomina proses dalam bahasa Indonesia ada konfiks pe-an. Jadi bentuk yang benar adalah peneonan, penendaan, dan penurian. Contoh interferensi pada bidang sintaksis yang diambil dari seorang bilingual Jawa- Indonesia dalam berbahasa Indonesia. Kata sendiri dalam dalam bahasa Jawa adalah dhewe; Aku dhewe sing teko (ku sendiri yang datang). Namun, kata dhewe yang terdapat sesudah kata sing dan kelas adjektiva memiliki arti ‘paling’ seperti dalam konstruksi; sing dhuwur dhewe (yang paling tinggi).
D. Transfer dan Interferensi
Dalam pembelajaran bahasa kedua, bahasa pertama “dapat menganggu” penggunaan bahasa kedua pembelajar. Pembelajar akan cenderung mentransfer unsur bahasa pertamanya ketika melaksanakan penggunaan bahasa kedua. Akibatnya terjadilah apa yang dalam kajian sosiolinguistik disebut interferensi. Interferensi ini dapat terjadi pada semua tataran bahasa: fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon.
Contoh interferensi pada tataran fonologi terjadi pada penutur bahasa Indonesia berasal dari Bali yang selalu mengucapkan fonem apikoalveolar [t] menjadi bunyi apikoalveolar retrofleks [t]. Contoh interferensi pada bidang morfologi antara lain terdapat dalam pembentukan kata dengan afiks. Banyak penutur bahasa Indonesia menggunakan sufiks dalam pembentukan kata bahasa Indonesia seperti neonisasi, tendanisasi, dan turinisasi. Bentuk-bentuk tersebut merupakan penyimpangan dari sistematik morfologi bahasa Indonesia sebab untuk membentuk nomina proses dalam bahasa Indonesia ada konfiks pe-an. Jadi bentuk yang benar adalah peneonan, penendaan, dan penurian. Contoh interferensi pada bidang sintaksis yang diambil dari seorang bilingual Jawa- Indonesia dalam berbahasa Indonesia. Kata sendiri dalam dalam bahasa Jawa adalah dhewe; Aku dhewe sing teko (ku sendiri yang datang). Namun, kata dhewe yang terdapat sesudah kata sing dan kelas adjektiva memiliki arti ‘paling’ seperti dalam konstruksi; sing dhuwur dhewe (yang paling tinggi).
Referensi:
Chaer, Abdul. (2015). Psikolinguistik : Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Sagendra, Beti. (2014). Belajar dan Pembelajaran Bahasa. Semarang: Linggayoni
Publishing.
Sagendra, Beti. (2014). Belajar dan Pembelajaran Bahasa. Semarang: Linggayoni
Publishing.
Post a Comment