Perubahan Bunyi
A. Perubahan Fonem
Perubahan fonem ini dapat terjadi dalam sebuah kata tanpa mengubah makna kata yang bersangkutan. Terdapat dua jenis perubahan fonem yaitu a) perubahan letak fonem dalam sebuah kata yang disebut metatesis. Metatesis ada dua yaitu metatesis vokal dan konsonan. b) perubahan fonem karena salah tafsir terhadap bunyi-bunyi fonem tertentu (dibicarakan dalam hiperkorek).
1.a Metatesis Vokal
Terjadi karena kebiasaan yang salah dalam mengucapkan sebuah kata pengaruh posisi lidah, yang memproduksi bunyi vokal, saling berdekatan dan pengaruh ucapan bahasa daerah atau dialek-dialek tertentu. Contoh :
/i/ dan /e/ : Hakikat menjadi hakekat
Nasihat menjadi nasehat
Pihak menjadi pehak
/o/ dan /u/ : Tombak menjadi tumbak
/e/ dan /i/ : Tewas menjadi tiwas
Keju menjadi kiju
/u/ dan /o/ : Telur menjadi telor
1.b Metatesis konsonan
Gejala ini biasanya disebabkan pengaruh penyederhanaan ucapan kata-kata asing dalam bahasa Indonesia. Disebut juga gejala transposisi yaitu pertukaran letak fonem dalam sebuah kata tanpa mengubah makna kata semula. Contoh :
Padma menjadi padam
Pratyaja menjadi percaya
Drohaka menjadi durhaka
Kecil menjadi cilik
Lekuk menjadi keluk
B. Penghilangan Fonem
Gejala ini biasanya disebabkan oleh gejala penyederhanaan ucapan kata-kata itu. Dibedakan atas aferesis, sinkop, apokop, dan haplologi.
1. Aferesis
Merupakan gejala penghilangan satu atau beberapa fonem pada awal kata. Contohnya kata upuwasa dan adhyaksa. Kedua kata tersebut kita kenal sebagai puasa dan jaksa. Dalam bahasa Indonesia kita juga mengenal penyederhanaan ini. Biasanya fonem yang dihilangkan ditandai menggunakan tanda apostrof (‘) contohnya abang menjadi ’bang, emas menjadi ’mas, engkau menjadi ’kau, aku menjadi ’ku.
2. Sinkop
Merupakan gejala penghilangan satu atau beberapa fonem pada posisi tengah dari sebuah kata. Contoh kata niyata dan utpatti berubah menjadi nyata dan upeti. Contoh lainnya misalnya kata rahasia menjadi rasia, tahadi menjadi tadi.
3. Apokop
Merupakan gejala penghilangan fonem pada posisi akhir. Misalnya figure menjadi figur, sadism menjadi sadis, pelangit menjadi pelangi, separoh menjadi separo, bapak menjadi bapa.
4.Haplologi
Merupakan gejala penghilangan satu silabe pada posisi tengah sebagai gejala pemendekan kata. Contoh : budhidaya menjadi budaya, mahardhika menjadi merdeka, ceritera menjadi cerita, kelemarin menjadi kemarin, tahadi menjadi tadi, sahaya menjadi saya.
C. Penambahan Fonem
Gejala
penambahan fonem dalam sebuah kata ini tidak mengubah makna kata. Terdiri atas
protesis, epentesis, anaptiksis, dan paragog.
1. Protesis
Merupakan gejala bahasa dimana sebuah kata mendapat tambahan fonem pada posisi awal. Contoh stri menjadi istri, smara menjad asmara, utang menjadi hutang, ujud menjadi wujud, imbau menjadi himbau.
2. Epentesis
Merupakan gejala penambahan satu atau beberapa fonem pada posisi tengah sebuah kata. Contoh upama menjadi umpama, akasa menjadi angkasa, kapak menjadi kampak, tahyul menjadi tahayul.
3. Anaptiksis
Merupakan penambahan bunyi [ә] pada posisi tengah sebuah kata. Contoh indra menjadi indera, mantra menjadi mantera, samudra menjadi samudera, glass menjadi gelas, class menjadi kelas.
4. Paragog
Merupakan gejala penambahan fonem pada akhir kata. Contoh lamp (Bld) menajdi lampu, ina menjadi nang, adi menjadi adik.
D. Analogi
Analogi ialah proses mengubah bentuk kata menjadi bentuk lain berdasarkan bentuk-bentuk yang sudah ada. Dalam bahasa Sansekerta terdapat kata dewa ‘hiang laki-laki’ dan dewi ‘hiang perempuan. Contoh lain dalam bahasa Indonesia seperti saudara-saudari, siswa-siswi, pemuda-pemudi, mahasiswa-mahasiswi. Sufiks –wan dipakai untuk menyatakan jenis kelamin laki-laki. Berdasarkan bentuk kata hartawan dan rupawan dibentuk pula kata-kata baru dalam bahasa Indonesia seperti olahragawan, negarawan, dan peragawan. Sufiks –wati dipakai pula menyatakan jenis kelamin perempuan. Dengan demikian kita jumpai pula bentuk seperti peragawati. wartawati, hartawati.
Dalam bahasa Inggris kita jumpai pula perbedaan bentuk kata actor dan actress, director dan directrees. Dengan demikian berarti bentuk aktor, aktris, direktur dan direktris adalah bentuk kata yang dipinjam utuh dari bahasa tersebut. Jadi tidak berdasarkan analogi seperti –wan dan –wati di atas. Akan tetapi, bahasa Indonesia secara umum tidak mengenal bentuk maskulin dan feminim, maka bentuk analogi seperti di atas sebaiknya dibatasi. Dalam bahasa Indonesia kita jumpai pula bentuk sedari yang artinya sama dengan ‘sejak dari’. Berdasarkan bentuk ini kemudian dapat pula dibentuk kata lain yang hampir atau sama artinya dengan kata semula seperi contoh berikut.
Masa menjadi semasa
Waktu menjadi sewaktu
masih menjadi semasih
lagi menjadi selagi
E. Hiperkorek
Hiperkorek yaitu cara penulisan kata yang sudah benar, dibenarkan lagi sehingga menjadi salah. Akhirnya yang salah itulah yang dipakai dalam ucapan dan penulisan sehari-hari. Gejala ini dapat dikatakan sebagai analogi yang salah terhadap bunyi-bunyi yang berasal dari bahasa asing, maupun terhadap artikulasi alat bicara yang memproduksi bunyi-bunyi tersebut. Kesalah tafsiran mengenai bunyi-bunyi itu akhirnya mempengaruhi proses pembentukan kata yang menyimpang dari kaidah-kaidah umum yang berlaku. Gejala ini dapat diklasifikasikan menjadi hiperkorek vokal dan hiperkorek konsonan.
E.1 Hiperkorek Vokal
Hiperkorek ini terjadi karena pengaruh hukum sandi atau peleburan bunyi. Disamping itu dapat pula disebabkan oleh analogi yang salah terhadap bunyi vokal atau diftong bahasa asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia. Hiperkorek ini dibagi menjadi monoftongisasi dan diftongisasi.
a) Monoftongisasi
Gejala ini berasal dari pengaruh hukum sandi dimana bunyi [au] dan [ua] dilebur menjadi bunyi [o]. begitu pula bunyi [ia] dan [ai] dilebur menjadi [e] seperti contoh berikut:
Pulau menjadi pulo
kabupatian menjadi kabupaten
Kerbau menjadi kerbo
pantai menjadi pante
Sajian menjadi sajen
rantai menjadi rante
taubat menjadi tobat
taufan menjadi topan
b) Diftongisasi :
Kebalikan dari monoftongisasi adalah diftongisasi. Orang sering pula menjadikan bunyi vokal menjadi diftong seperti contoh berikut:
Anggota menjadi anggauta
Sentosa menjadi sentausa
Teladan menjadi tauladan
E.2 Hiperkorek Konsonan
Hiperkorek konsonan terutama disebabkan karena salah tafsir mengenai artikulasi alat bicara yang menghasilkan bunyi-bunyi tertentu, terutama bunyi-bunyi yang tidak terdapat dalam bahasa sendiri. Disamping itu kadang-kadang juga dapat disebabkan karena pengaruh gaya bahasa yang ingin meniru ucapan kata bahasa aslinya.
a.Konsonan /b/ dan /p/
Bunyi /b/ bilabial bersuara, dianggap bunyi /p/ bilabial tak bersuara terutama dalam beberapa kata, perbedaan kedua bunyi ini boleh dikatakan tidak kentara lagi. Dalam hal ini kedua bunyi tersebut bersifat arkhifonem. Akibatnya dalam penulisan pun sering terdapat kekeliruan seperti terlihat pada contoh berikut :
sabtu menjadi saptu
adab menjadi adap
lembab menjadi lembap
b.Konsonan /p/ dan /f/
Dalam bahasa Melayu tidak dijumpai fonem /f/ yang ada adalah fonem /p/. Sebaliknya dalam bahasa Arab tidak ada fonem /p/ yang ada adalah fonem /f/. Dalam bahasa Melayu fonem /f/ biasanya dilafalkan dengan fonem /p/ sehingga kata-kata Arab berlafalkan /f/ berubah menjadi /p/ seperti pada contoh berikut.
Faham menjadi paham
Hafal menjadi (h)apal
Fasal menjadi pasal
Maaf menjadi maap
c.Konsonan /f/ dan /v/
Bunyi /f/ labiodental tak bersuara dan bunyi /v/ labiodentals bersuara keduanya merupakan fonem asing dalam bahasa Melayu. Dalam bahasa Indonesia kedua bunyi itu dianggap sebagai satu bunyi dan diucapkan sebagai bunyi tak bersuara. Kata variasi, vokal, lava, universitas sering diucapkan fariasi, fokal, lafa, unifersitas. Dalam sistem penulisan Bahasa Indonesia ditetapkan bahwa penulisan kata serapan dari bahasa asing sedapat mungkin hendaknya mendekati bentuk aslinya. Misalnya kata fabric menjadi pabrik, factor menjadi faktor, family menjadi famili, figure menjadi figur. Sebaliknya kata visa, Vatican, dan valid ditulis seperti aslinya, bukan fisa, fatican, dan falid.
Jadi dalam bahasa Indonesia bunyi /f/ dan /v/ hanya dianggap sebagai satu bunyi saja, maka dalam pemakaiannya (tulisan) sering dikacaukan orang.
d.Konsonan /t/ dan /d/
Bunyi /t/ apikoalveolar tak bersuara sering dianggap bunyi /d/ apikoalveoalar bersuara. Sebab dalam beberapa kata kedua bunyi ini juga bersifat arkhifonem. Contoh:
derajat menjadi derajad
ahad menjadi ahat
kodrat menjadi kodrad
Bunyi lain yang juga bersifat arkhifonem adalah konsonan /s/ dan /z/ seperti pada kata azas menjadi asas.
e.Konsonan /s/ dan /sy/
Dalam bahasa melayu tidak terdapat fonem /sy/ (Arab) sehingga pengucapan fonem /sy/ sering dilafalkan dengan fonem /s/ contoh musyawarah menjadi musawarah, masyarakat menjadi masarakat, syukur menjadi sukur. Dalam bentuk tertulis sah menjadi syah, surga menjadi syurga, insaf menjadi insyaf.
f.Konsonan /z/ dan /j/
Bunyi /z/ dalam bahasa Melayu pada mulanya berasal dari bahasa Arab seperti kata ziarah, izin, zamrud, zaman dan zakat. Kemudian kosa kata bahasa Indonesia juga menyerap dari berbagai bahasa asing seperti zebra, zeus, zoology dan lain-lain. Pengkacauan ini muncul dalam contoh-contoh berikut Zaman menjadi jaman, Zamrud menjadi jamrud, Ziarah menjadi jiarah. Anehnya hal ini tidak terjadi pada serapan bahasa asing lainnya.
g.Konsonan /k/ dan /kh/
Dalam bahasa Arab terdapat bunyi-bunyi /kh/ seperti khalik, khabar, khayal, ikhtisar, dan akhir. Bunyi /kh/ dalam artikulasi bahasa Indonesia lebih dekat kepada bunyi /k/. Oleh sebab itu dalam kosa kata bahasa Indonesia kita jumpai kata-kata seperti
Khalik menjadi kalik
Khabar menjadi kabar
Khayal menjadi kayal
Ikhtisar menjadi iktisar
Akhir menjadi akir
Selain perubahan /kh/menjadi/k/ menurut Badudu (1974:40) dalam bahasa Indonesia terdapat pula kecenderungan untuk mengubah ke bunyi /h/. Hal ini karena pengaruh bahasa Sunda yang biasa menulis /kh/ menjadi /h/. Berdasarkan hal tersebut maka perubahan gejala bahasanya dapat digambarkan sebagai berikut:
Khalik kalik halik
Khabar kabar habar
Khayal kayal hayal
Ikhtisar iktisar ihtisar
Akhir akir ahir
Post a Comment