Wacana Kritis Lingkungan (Linguistik Kritis)
Linguistik kritis (critical linguistics) merupakan kajian ilmu bahasa yang bertujuan mengungkap relasi-relasi antara kuasa tersembunyi (hidden power) dan proses-proses ideologis yang muncul dalam teks-teks lisan atau tulisan. Fowler sang pelopor secara terang-terangan mengatakan bahwa pikiran-pikiran Halliday mendasari pengembangan linguistik ini. Untuk menganalisisnya, diperlukan analisis linguistik yang tidak semata-mata deskriptif.
Linguistik kritis amat relevan digunakan untuk menganalisis fenomena komunikasi yang penuh dengan kesenjangan, yakni adanya ketidaksetaraan relasi antar-partisipan, seperti komunikasi dalam politik, relasi bahasa dengan lingkungan, relasi antara atasan-bawahan, komunikasi dalam wacana media massa, serta relasi antara laki-laki dan perempuan dalam politik gender. Menurut Fowler model linguistik itu sangat memerhatikan penggunaan analisis linguistik untuk membongkar misrepresentasi dan diskriminasi dalam pelbagai modus wacana publik.
Pandangan instrumental Halliday menjadi landasan pengembangan linguistik kritis. Linguistik kritis lahir dari tulisan-tulisan dalam Language and Control yang di dalamnya berisi sejumlah deskripsi linguistik instrumental. Istilah linguistik instrumental dimunculkan sebagai penjabaran pandangan Halliday tentang konsep instrumental dalam linguistik fungsional-sistemik. Menurut Fowler, linguistik fungsional-sistemik mempunyai dua pengertian: (1) linguistik fungsional berangkat dari premis bahwa bentuk ba-hasa merespon fungsi-fungsi penggunaan bahasa dan (2) linguistik fungsional berangkat dari pandangan bahwa bentuk linguistik akan merespon fungsi-fungsi linguistik itu. Linguistik seperti juga bahasa memiliki fungsi-fungsi berbeda dan tugas-tugas ber-beda. Dengan demikian, dalam aplikasinya, seperti sudah dikemukakan sebelumnya, kajian bahasa haruslah berfungsi untuk memahami sesuatu yang lain.
Menurut Halliday, struktur sosial hadir dalam bentuk-bentuk interaksi semiotis dan menjadi nyata melalui keganjilan dan kekacauan dalam sistem semantis. Dalam penggunaan bahasa politik, misalnya, tampak muncul adanya fenomena kekaburan dalam bahasa yang merupakan bagian dari ekspresi dinamis dan tegangan sistem sosial. Kekaburan itu dipilih dalam rangka mewujudkan ketaksaan, pertentangan atau kebencian, ketidaksempurnaan, ketidaksamaan, serta perubahan sistem sosial dan struktur sosial.
Dalam interaksi yang nyata sehari-hari, keganjilan dan kekacauan dalam sistem semantis itu menjadi nyata. Para linguis kritis percaya bahwa komunikasi yang tercipta akibat kekacauan itu adalah relasi komunikasi yang timpang, di mana para partisipan komunikasi tidak memiliki fungsi dan akses yang sama. Linguistik digunakan untuk menyistematisasikan dan mentransformasikan realitas. Oleh karena itu, dimensi kesejarahan, struktur sosial, dan ideologi adalah sumber utama pengetahuan dan hipotesis dalam kerangka kerja kritisisme linguistik. Pandangan tentang Teks adalah Proses Sosiosemantis. Halliday berpendapat bahwa sebuah teks merupakan sebuah peristiwa sosiologis, sebuah perjumpaan semiotis melalui makna-makna yang berupa sistem sosial yang sedang saling dipertukarkan. Anggota masyarakat adalah seorang pemakna. Dalam pertukaran makna itu, terjadi perjuangan semantis (semantic contest) antara individu-individu yang terlibat. Karena sifatnya yang perjuangan itu, makna akan selalu bersifat ganda, tidak ada makna yang bersifat tunggal begitu saja. Dengan demikian, pilihan bahasa pada hakikatnya adalah perjuangan atau pertarungan untuk memilih kode-kode bahasa tertentu.
Jejak pandangan Halliday tersebut dapat dilacak pada pandangan Menz dan Birch tentang pilihan bahasa. Menurut mereka, makna dan nilai dari pilihan bahasa bukan menjadi milik individu yang unik, tetapi diproduksi dalam perjuangan atau perebutan komunikatif (communicative struggle) dan interaksi aktual yang ditentukan secara ideologis dan dimotivasi secara politis. Merujuk pada pandangan ini, aktor yang memproduksi teks bukanlah individu yang merdeka, tetapi ia merupakan individu yang diatur oleh dimensi-dimensi sosiokultural dan institusional yang determinatif. Individu-individu sering ber-ada di bawah kesadaran dalam melakukan pilihan bahasa itu.
Senada dengan pandangan Menz, menurut Birch, pilihan bahasa dibuat menurut seperangkat kendala (constraints) politis, sosial, kultural, dan ideologi. Ada kekuatan di luar individu yang ikut menen tukan bentuk bahasa tertentu yang akan di-gunakan. Hal itu sering terjadi secara bawah sadar. Implikasinya adalah bahwa masyarakat dapat dimanipulasi, dikehendaki dalam aturan yang baik (good order), dan dinilai peran dan status bawahan serta atasan (infe-rior-superior) melalui sistem strategi sosial yang melibatkan aspek-aspek: kuasa, aturan, subordinasi, solidaritas, kohesi, antagonisme, kesenangan, dan sebagainya yang semuanya merupakan bagian integral dari kontrol terhadap masyarakat.
Konsep sosiosemantis di atas juga dapat dilacak pada pandangan Fowler tentang ketidaknetralan kode kebahasaan karena menjalankan fungsi representasi. Kode kebahasaan atau lingual tidak meref-leksikan realitas secara netral. Kode lingual itu menafsirkan, mengorganisasikan, dan mengklasifikasikan subjek-subjek wacana. Wacana tertentu selalu membentuk teori tentang bagaimana dunia itu disusun. Hal itulah yang disebut pandangan dunia atau ideologi . Bahasa tidak hanya sebagai pengetahuan yang internal dan pasif. Sebaliknya, bahasa adalah aktivitas yang dibawa dalam berbicara, menyimak, menulis, dan membaca yang aktual dan intensif setiap hari. Dalam konteks itu, peringatan Fowler perlu dicamkan, yakni akal sehat itu bukan sesuatu yang alamiah, tetapi produk dari konvensi sosial . Oleh karena itu, akal sehat itu perlu dikritisi.
Dengan rumusan Halliday bahwa bahasa melayani ekspresi, bahasa memiliki representasi, atau bahasa memiliki fungsi ideasional tempat penutur atau penulis mewujudkan pengalaman dari dunia nyata ke dalam bahasa. Pengalaman manusia, apa yang kita ketahui, dan apa yang kita butuhkan selain sudah dikodekan dalam sumber mak-na yang bersifat personal, juga produk dari posisi kita dalam relasi-relasi sosioekonomis.
Pandangan tentang kesatuan teks dengan konteksnya. Halliday mengemukakan bahwa teks itu selalu dilingkupi konteks situasi dan konteks budaya. Konteks situasi adalah keseluruhan lingkungan, baik lingkungan tutur (verbal) maupun ling-kungan tempat teks itu diproduksi (diucapkan atau ditulis). Di atas konteks situasi terdapat konteks budaya yang melingkupi teks dan konteks situasi. Untuk memahami teks dengan sebaik-baiknya, diperlukan pemahaman terhadap konteks situasi dan konteks budaya.
Halliday berpendapat bahwa bahasa sangat terkait dengan satu segi yang penting dalam pengalaman manusia, yakni segi struktur sosial. Secara tegas, Halliday merumuskan bahwa bahasa adalah produk proses sosial. Pandangan Halliday itu semakin diperjelas dan dieksplisitkan oleh Fairclough, yakni pandangan-nya tentang hubungan timbal balik antara struktur mikro yakni teks dan struktur makro yakni aspek sosial dan budaya yang bersifat determinatif. Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa wacana kritis lingkungan(critical ecolinguistic) adalah analisis bahasa dalam penggunaannya terhadap lingkungan dengan menggunakan paradigma bahasa kritis yang dikaitkan dengan fenomena-fenomena yang terjadi pada relasi bahasa dan lingkungan.
Referensi:
Fill, Alwin and Muhlhausler, Peter. 2001. The Ecolinguistic Reader, Languange, Ecology and Enviroment. New York: Continuum
Post a Comment